Wednesday, August 14, 2013

Makanan yang Menjadi Obat

Nanti malam, ketika jutaan orang kembali dari kampung halaman, ganti saya yang mudik bersama istri. Ketika saya mudik, yang paling khawatir adalah istri. Mengapa? Dia tahu, setiap kali pulang kampung, saya punya kebiasaan berkunjung ke beberapa sahabat. Nah, di sini “problem”nya. Kala berkunjung ke rumah beberapa sahabat dan mendapat sajian makanan, saya biasanya menikmati sajian yang ada dengan lahap. Tapi, tentu, tidak di semua sahabat.

Pernah, beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke rumah Cak Amal Fathullah, salah seorang sahabat dekat yang kini menjadi seorang kiai terkemuka di sebuah pondok modern di Ponorogo, Jawa Timur, kala itu dihidangkan sate ponorogo nan lezat. Menerima sajian demikian, saya pun menikmati sate ponorogo itu dengan lahap. Melihat hal itu, tiba-tiba istri mencubit tangan saya sambil berucap, “Mas, apa kata Cak Amal nanti. Malu ah!”
“Biarkan saya menikmati sate ponorogo ini dengan lahap. Saya yakin, sajian ini halâlan thayyiban. Sajian ini, insya Allah, penuh berkah. Karena itu, biarkan saya menikmati sajian ini dan meneladani Imam Al-Syafi‘i.”
“Lo, apa kaitannya Imam Al-Syafi‘i dengan sajian ini?”
“Belum tahu ya ceritanya?”

Ya, bagaimana kaitan Imam Al-Syafi‘i, pendiri Mazhab Syafi‘i yang diikuti ratusan juta umat di Dunia Islam, dengan menikmati sajian dengan lahap? Berikut ceritanya:

Suatu saat, betapa gembira hati seorang putri Imam Ahmad bin Hanbal. Kita tahu, Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis, hukum Islam,  dan  ilmu kalam  yang  juga  salah seorang tokoh dari  empat  imam  mazhab fikih. Kegembiraan putri ulama yang satu itu dipicu oleh kabar gembira dari sang ayahanda yang akan menerima kunjungan seorang guru yang kerap ia bincangkan bersama sang putri. Sang putri tahu, ayahandanya kerap menyanjung gurunya yang lahir di Gaza, Palestina itu, karena keluasan ilmu dan wawasannya. Karena itu, ia ingin tahu bagaimanakah sejatinya akhlak dan perilaku tokoh  yang  pernah menyatakan bahwa  “perhiasan  yang  paling indah yang  dikenakan  ulama adalah  kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” itu.

Benar saja, Imam Al-Syafi‘i tidak lama selepas itu datang berkunjung ke rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ketika larut malam tiba, ulama yang berpulang Jumat, 30 Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir meminta izin kepada tuan rumah untuk beristirahat. Selama Imam Al-Syafi‘i beristirahat malam itu, ternyata putri Imam Ahmad bin Hanbal sengaja begadang dan mengintip apa saja yang dilakukan tamu mulia ayahandanya itu. Kemudian, pagi harinya, seusai melaksanakan shalat subuh, sang putri memberanikan diri bertanya kepada ayahandanya dengan suara lirih, “Wahai ayahanda! Benarkah ia adalah Imam Al-Syafi‘i yang kerap ayahanda bincangkan tentang kebaikan dan ketakwaannya itu?”
“Benar, wahai putriku,” jawab sang ayahanda penasaran. “Ia memang adalah Imam Al-Syafi‘i, guru ayah, yang kerap kubincangkan denganmu. Ada apa?”
“Wahai ayahanda,” jawab sang putri tetap dengan suara pelan. “Semalam, saya sengaja tidak memejamkan mata. Betapa saya ingin sekali tahu perihal perilaku tuan guru  yang satu itu. Sejak tuan guru dan tamu ayahanda itu datang, saya senantiasa mencermati seluruh gerak dan lakunya. Ternyata, selama itu, saya mengamati tiga hal yang saya sayangkan terhadap diri tuan guru dan tamu ayahanda itu. Ketika saya menghidangkan makanan, duh, ternyata ia lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan. Ketika ia sedang beristirahat, ternyata ia sama sekali tidak melakukan shalat malam dan tahajud. Dan, ketika ia menjadi Imam shalat subuh tadi, ternyata ia tidak berwudhu!”

Tentu saja, Imam Ahmad bin Hanbal kaget sekali dan sangat penasaran mendapat penjelasan dari putrinya tentang Imam besar yang  dalam menetapkan hukum memadukan antara metoda  Hijaz  dan metoda Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks  landasan hukum  Islam dengan rasio, itu. Karena itu, selepas berbagi sapa beberapa lama, Imam yang salih dan hidup sederhana itu pun mengemukakan kepada Imam Al-Syafi‘i perihal pengamatan putrinya.

Mendengar pertanyaan demikian, wajah Imam Al-Syafi‘i tidak menunjukkan rasa tidak senang sama sekali. Malah, Imam Al-Syafi‘i menjawab dengan wajah berbinar, “Wahai Imam Ahmad! Memang saya lahap sekali menyantap hidangan yang disajikan tersebut. Ini karena saya tahu, makanan yang kalian sajikan adalah makanan yang halal dan baik. Engkau adalah seorang ulama mulia. Sedangkan makanan yang disajikan orang mulia dan halal adalah obat. Berbeda dengan makanan orang pelit yang malah dapat menjadi penyakit. Jadi, saya makan tidaklah untuk memuaskan selera makan saya. Tapi, saya makan untuk berobat dengan makanan yang disajikan semalam. Sedangkan berkenaan dengan malam yang saya lewatkan tanpa shalat malam atau tahajud, semalam seakan saya melihat Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. ada di depan mata saya. Sehingga, dengan merenungi keduanya, saya menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fikih yang bermanfaat bagi kaum Muslim. Akibatnya, saya tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat malam. Dan, berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sejatinya karena sepanjang malam saya tidak tidur sama sekali dan tiada sesuatu pun yang membatalkan wudhu saya. Sehingga, saya shalat subuh dengan wudhu shalat isya.”

Betapa lega Imam Ahmad bin Hanbal mendengar jawaban Imam Al-Syafii tersebut yang tidak selaras dengan pengamatan putrinya. Demikian pula putrinya yang mendengarkan penjelasan guru ayahandanya itu dari balik tirai. Malah, Imam Ahmad bin Hanbal kemudian menekankan kepada putrinya bahwa hasil perenungan Imam Al-Syafi’i yang bermanfaat bagi kemaslahatan kaum Muslim itu jauh lebih utama nilainya dibandingkan dengan shalat malam yang dilakukannya.


Nah, karena itu, jika Anda berkunjung ke rumah seseorang dan mendapat sajian makanan, sedangkan Anda merasa yakin sajian itu halâlan thayyiban, nikmati saja sajian itu dengan lahap. Sebab, sajian itu, menurut Imam Al-Syafi‘i, merupakan obat! 

No comments: