Makanan yang Menjadi Obat
Nanti malam, ketika jutaan orang kembali dari kampung halaman, ganti
saya yang mudik bersama istri. Ketika saya mudik, yang paling khawatir adalah
istri. Mengapa? Dia tahu, setiap kali pulang kampung, saya punya kebiasaan
berkunjung ke beberapa sahabat. Nah, di sini “problem”nya. Kala berkunjung ke
rumah beberapa sahabat dan mendapat sajian makanan, saya biasanya menikmati
sajian yang ada dengan lahap. Tapi, tentu, tidak di semua sahabat.
Pernah, beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke rumah Cak Amal
Fathullah, salah seorang sahabat dekat yang kini menjadi seorang kiai terkemuka
di sebuah pondok modern di Ponorogo, Jawa Timur, kala itu dihidangkan sate
ponorogo nan lezat. Menerima sajian demikian, saya pun menikmati sate ponorogo
itu dengan lahap. Melihat hal itu, tiba-tiba istri mencubit tangan saya sambil
berucap, “Mas, apa kata Cak Amal nanti. Malu ah!”
“Biarkan saya menikmati sate ponorogo ini dengan lahap. Saya yakin,
sajian ini halâlan thayyiban. Sajian ini, insya Allah, penuh
berkah. Karena itu, biarkan saya menikmati sajian ini dan meneladani Imam Al-Syafi‘i.”
“Lo, apa kaitannya Imam Al-Syafi‘i dengan sajian ini?”
“Belum tahu ya ceritanya?”
Ya, bagaimana kaitan Imam Al-Syafi‘i, pendiri Mazhab Syafi‘i yang
diikuti ratusan juta umat di Dunia Islam, dengan menikmati sajian dengan lahap?
Berikut ceritanya:
Suatu saat, betapa gembira hati seorang putri Imam Ahmad bin Hanbal.
Kita tahu, Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis, hukum
Islam, dan ilmu kalam
yang juga salah seorang tokoh dari empat
imam mazhab fikih. Kegembiraan
putri ulama yang satu itu dipicu oleh kabar gembira dari sang ayahanda yang akan menerima kunjungan
seorang guru yang kerap ia bincangkan bersama sang putri. Sang putri tahu, ayahandanya kerap menyanjung gurunya
yang lahir di Gaza, Palestina itu, karena keluasan ilmu dan wawasannya. Karena
itu, ia ingin tahu bagaimanakah sejatinya akhlak dan perilaku tokoh yang
pernah menyatakan bahwa
“perhiasan yang paling indah yang dikenakan
ulama adalah kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” itu.
Benar saja, Imam Al-Syafi‘i tidak lama selepas itu
datang berkunjung ke rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ketika larut malam tiba,
ulama yang berpulang Jumat, 30 Rajab 204 H/ 20 Januari 820 M di Al-Qarafah
Al-Shughra, Fusthath, Mesir meminta izin kepada tuan rumah untuk beristirahat.
Selama Imam Al-Syafi‘i
beristirahat malam itu, ternyata putri Imam Ahmad bin Hanbal sengaja begadang
dan mengintip
apa saja yang dilakukan tamu mulia ayahandanya itu. Kemudian, pagi harinya,
seusai melaksanakan shalat subuh, sang putri memberanikan diri bertanya kepada
ayahandanya dengan suara lirih, “Wahai ayahanda! Benarkah ia adalah Imam Al-Syafi‘i
yang kerap
ayahanda bincangkan tentang kebaikan dan ketakwaannya itu?”
“Benar, wahai
putriku,” jawab sang ayahanda penasaran. “Ia memang adalah Imam Al-Syafi‘i, guru ayah, yang kerap kubincangkan denganmu. Ada apa?”
“Wahai ayahanda,”
jawab sang putri tetap dengan suara pelan. “Semalam, saya sengaja tidak memejamkan mata.
Betapa saya ingin sekali tahu perihal perilaku tuan guru yang satu itu. Sejak tuan guru dan tamu ayahanda itu datang, saya senantiasa mencermati seluruh gerak dan lakunya. Ternyata,
selama itu, saya
mengamati tiga hal yang saya sayangkan terhadap diri tuan guru dan tamu ayahanda itu.
Ketika saya menghidangkan makanan, duh, ternyata ia lahap sekali menyantap hidangan yang
disajikan. Ketika ia sedang beristirahat, ternyata ia sama sekali tidak melakukan shalat
malam dan tahajud. Dan, ketika ia menjadi Imam shalat subuh tadi, ternyata ia tidak berwudhu!”
Tentu saja, Imam Ahmad bin Hanbal kaget sekali dan sangat penasaran mendapat penjelasan dari putrinya
tentang Imam besar yang dalam menetapkan
hukum memadukan antara metoda Hijaz dan metoda Irak, yakni memadukan antara
lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan rasio, itu. Karena itu, selepas
berbagi sapa beberapa lama, Imam yang salih dan hidup sederhana itu pun mengemukakan
kepada Imam Al-Syafi‘i
perihal pengamatan putrinya.
Mendengar pertanyaan
demikian, wajah Imam Al-Syafi‘i tidak menunjukkan rasa tidak senang sama sekali. Malah, Imam Al-Syafi‘i menjawab dengan wajah berbinar,
“Wahai Imam Ahmad! Memang saya lahap sekali menyantap hidangan yang
disajikan tersebut. Ini karena saya tahu, makanan yang kalian sajikan adalah
makanan yang halal dan baik. Engkau adalah seorang ulama mulia. Sedangkan
makanan yang disajikan orang mulia dan halal adalah obat. Berbeda dengan
makanan orang pelit yang malah dapat menjadi penyakit. Jadi, saya makan tidaklah
untuk memuaskan selera makan saya. Tapi, saya makan untuk berobat dengan
makanan yang disajikan semalam. Sedangkan berkenaan dengan malam yang saya
lewatkan tanpa shalat malam atau tahajud, semalam seakan saya melihat Al-Quran
dan Sunnah Rasul Saw. ada di depan mata saya. Sehingga, dengan merenungi
keduanya, saya menemukan kesimpulan tujuh puluh dua masalah fikih yang
bermanfaat bagi kaum Muslim. Akibatnya, saya tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakan shalat
malam. Dan, berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sejatinya karena
sepanjang malam saya tidak tidur sama sekali dan tiada sesuatu pun yang membatalkan wudhu saya.
Sehingga, saya shalat subuh dengan wudhu shalat isya.”
Betapa lega Imam Ahmad
bin Hanbal mendengar jawaban Imam Al-Syafi‘i tersebut yang tidak selaras dengan pengamatan
putrinya. Demikian pula putrinya yang mendengarkan penjelasan guru ayahandanya
itu dari balik tirai. Malah, Imam Ahmad bin Hanbal kemudian menekankan
kepada putrinya bahwa hasil perenungan Imam Al-Syafi’i yang bermanfaat bagi
kemaslahatan kaum Muslim itu jauh lebih utama nilainya dibandingkan dengan
shalat malam yang dilakukannya.
Nah, karena itu, jika Anda berkunjung ke rumah seseorang dan mendapat
sajian makanan, sedangkan Anda merasa yakin sajian itu halâlan
thayyiban, nikmati saja sajian itu dengan lahap. Sebab, sajian itu, menurut
Imam Al-Syafi‘i, merupakan obat!
No comments:
Post a Comment