KETIKA SEORANG MUFTI MEMBERIKAN KULIAH
“Saya akan datang! Sejak lama, selepas pulang dari
Jerman, saya ingin mendengarkan kuliah mufti kita yang satu ini.”
Demikian ucap seorang jurnalis yang menggeluti dunia filsafat
dan pemikiran kepada seorang sahabatnya. Perhatiannya, sejak muda usia, memang
tercurah pada dua dunia itu, selain menggeluti profesinya sebagai seorang
jurnalis. Karena itu, ketika ia mendengar mufti negerinya kala itu akan
memberikan “studium generale” kepada para mahasiswa program pascasarjana di
sebuah institut, ia pun dengan penuh semangat menyiapkan diri untuk menghadiri
kuliah yang akan diberikan sang mufti yang mantan rektor sebuah universitas
yang telah berusia sekitar 1.000 tahun itu.
Sebelum sang mufti tiba, sore itu ia sudah berada di
auditorium institut tersebut. Sekitar 150 mahasiswa program pascasarjana telah hadir di situ. Tak lama kemudian, sang
mufti tiba. Sendirian tanpa pengawal atau pun pengiring. Melihat wajah sang
mufti, sejenak ia terpana: betapa wajah itu memendarkan kewibawaan yang
diwarnai kerendahan hati. Wajah sang mufti, dalam pandangannya, tampak
memendarkan cahaya ilmu dan teladan yang menawan. Jenggot panjangnya yang memutih
membuat kewibawaannya kian “bercahaya”, ditopang dengan serban putihnya dan
jubah panjangnya yang berwarna hitam. Waktu saat itu menjelang saat shalat
Maghrib.
Segera, sang mufti duduk di hadapan para mahasiswa: ada
yang masih mengenakan seragam militer,
ada pula yang masih mengenakan baju dinas, dan ada pula mahasiswa yang
mengenakan baju harian. Tak lama kemudian, sang mufti memberikan kuliah tentang
Perjalanan Hidup Nabi Muhammad Saw. (Sîrah Nabawiyyah). Fase demi fase
kehidupan sang Nabi pun dipaparkan sang mufti demikian menawan, dengan bahasa fushah
(baku) yang indah dan nada suara yang santun tapi meyakinkan.
“Tak salah aku hadir pada sore hari ini. Betapa menawan
kuliah yang diberikan mufti yang satu ini. Ilmu beliau memang luas sekali,”
demikian gumam pelan bibir sang jurnalis mendengar kuliah yang diberikan sang
mufti. “Semestinya, demikian inilah gambaran seorang ulama: merendah,
berwibawa, berilmu, dan berwawasan luas.”
Tak lama kemudian saat shalat maghrib tiba. Tak lama
selepas itu salah seorang mahasiswa
berucap kencang, “Ash-shalâh, ya syaikh! Saatnya shalat (maghrib), guru!”
Ternyata, sang guru tetap melanjutkan kuliah yang ia berikan. Malah, paparannya
tentang perjalanan hidup Rasulullah Saw. kian menawan. Paparan demi paparan menawan
disampaikan sang mufti, sehingga waktu bergulir cepat mendekati saat isya’. Menyadari hal itu, seorang mahasiswa
berteriak kencang, “Ash-shalâh, ya syaikh!”
Meski ada teriakan kencang demikian, sang mufti tetap
tidak menghentikan kuliah yang ia sampaikan. Karena itu, sejumlah mahasiswa pun
keluar dari auditorium untuk melaksanakan shalat Maghrib. Dan, ketika saat isya’
tiba, sang mufti pun berucap, “Demikianlah kuliah tentang sirah nabawiyyah yang
dapat saya sampaikan hari ini. Betapa
banyak pelajaran dan teladan indah yang dapat kita ambil. Kiranya kuliah yang
saya paparkan bermanfaat bagi kalian.”
Usai berucap demikian, sang mufti diam sejenak. Dan, ucapnya
selanjutnya, “Para mahasiswa sekalian. Tadi, ketika waktu maghrib tiba dan
salah seorang di antara kalian berucap, “Ash-shalâh, ya syaikh,” tentu
saya mendengarnya dan menyadarinya. Kemudian, ketika waktu isya’ menjelang
masuk, saya juga mendengar teriakan salah seorang di antara kalian. Tetapi,
saya tetap tidak menghentikan kuliah yang saya berikan. Mengapa? Saya ingin
memberikan wawasan kepada kalian, hendaknya kita memahami hukum Islam dengan
pandangan dan tinjauan yang luas. Saya ingin memberikan pandangan kepada
kalian, suatu kegiatan ilmiah seperti ini dapat dijadikan landasan untuk
menjama’ dua shalat. Memang, bisa saja ijtihad saya salah. Namun, ijtihad yang
demikian ini kita perlukan dalam menghadapi perkembangan zaman yang bergerak
demikian cepat. Banyak persoalan yang harus kita hadapi dan pecahkan dengan
pandangan dan wawasan yang luas. Kalian sebagai para mahasiswa pascasarjana
harus bisa memberikan contoh dalam hal ini. Tentu, hal itu harus bertolak dari
niat dan maksud yang benar. Bukan karena didorong hawa nafsu. Wallâhu a’lam
bi al-shawâb, wassalâmu’alaikum.”
Segera, sang mufti berdiri dan meninggalkan auditorium.
Dan, melihat sang mufti berjalan di depannya, dengan langkah pelan, segera si
jurnalis itu pun memburu sang mufti dan kemudian mencium tangan kanannya seraya
berucap, “Terima kasih sekali atas kuliah yang guru sampaikan hari ini!”
No comments:
Post a Comment