PENITI TANGGUH STRATA SOSIAL
“Bapak, meniko IPK kulo semester meniko. Bapak,
ini IPK saya semester ini.”
Demikian ucap seorang anak muda bertubuh kurus kepada saya
menjelang awal bulan Ramadhan yang lalu,
seraya menyerahkan sebuah stopmap. Ketika stopmap yang berisi penjelasan
tentang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) anak muda itu dari sebuah universitas
kondang di Bandung , ternyata IPK yang ia capai adalah 3,73. “Alhamdulillah,”
gumam pelan bibir saya. “Ia benar-benar berjuang sepenuh hati.”
“Biar saya sampaikan kepada Ibu (maksud saya, istri saya)
dulu, ya.”
“Inggih. Ya.”
Ketika anak muda itu berlalu, segera benak saya pun
melayang-layang ke belakang: sekitar 5 tahun yang lalu. Kala itu, kakak
perempuan anak muda itu, yang ikut kami (saya dan istri) sebagai asisten rumah
tangga, menyampaikan kepada kami bahwa ia memerlukan uang untuk dikirimkan
kepada orang tuanya di sebuah desa di Jawa Tengah. Si kakak, yang menjadi salah
satu tulang punggung ekonomi orang tuanya, beberapa tahun sebelumnya terpaksa
meninggalkan desanya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga kami sekeluarga.
Padahal, ia baru saja menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan nilai yang bagus.
Sayang, kemiskinan keluarganya membuat ia tidak kuasa
melanjutkan pendidikannya. Namun, keinginannya untuk maju patut diacungi
jempol. Sambil bekerja, ia kemudian mengambil kursus menjahit dan mengikuti pendidikan
Paket C. Selain itu, ia juga mengikuti training untuk menjadi calon ustadzah
pengajar Al-Quran. Selepas itu, tetap dengan bekerja bersama kami, ia kemudian
juga kuliah. Karena memiliki otak yang cerdas dan kemauan yang membara,
akhirnya semuanya dapat ia lalui, sehingga kemudian kini ia menjadi seorang
guru Taman Kanak-Kanak dan ustadzah yang mengajar Al-Quran kepada anak-anak di
Pesantren Mini kami serta hidup mandiri.
Sambil menyerahkan uang yang diminta, istri bertanya
kepada si kakak, “Bagaimana kabar adikmu?”
“Piyambake sampun lulus SMP. Namung, piyambake mboten
saged nerusaken sekolahipun. Sak meniko
piyambake ngarit. Dia sudah lulus SMP. Tetapi, ia tidak dapat melanjutkan
sekolahnya. Sekarang ia (kerjanya)
mencari rumput (untuk makan terbak),” jawab si kakak pelan.
“Suruh ia ke sini, jika ia mau. Biar ia melanjutkan
sekolah di sini sambil membantu di sini.”
Alhamdulillah, si adik dibolehkan kedua orang tuanya
untuk melanjutkan sekolahnya di Baleendah. Karena nilai-nilai rapornya bagus,
ia pun diterima di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Baleendah. Sambil belajar di
sekolah tersebut, ia kemudian ikut training untuk menjadi ustadz yang mengajar
Al-Quran untuk anak-anak. Dengan segera ia berhasil lulus training tersebut dan
menjadi salah seorang ustadz di Pesantren Mini kami, seperti kakak
perempuannya. Malah, karena pintar dan tekun, setelah lulus SMK tahun lalu, ia
diterima di Universitas Telkom. Dan, lagi-lagi karena pintar dan tekun, ia selalu
mendapatkan IPK yang tinggi.
Melihat pencapaian dan perjuangannya yang demikian, begitu
ia berlalu, bibir saya pun bergumam pelan, “Allâhumma ij’alhu min ahl al-‘ilm
wa ahl al-khair wa ahl al-tuqâ. Ya, jadikanlah ia termasuk orang-orang yang
Engkau karuniai ilmu pengetahuan, kegemaran berbuat kebaikan, dan ketakwaan.
Amin.”
No comments:
Post a Comment