Thursday, October 1, 2015

KECANTIKAN ISTRI DAN KEINDAHAN REMBULAN PURNAMA

Istriku! Engkau akan kucerai bila malam ini tidak tampil lebih cantik dari bulan purnama!”

Demikian ucap ‘Isa bin Musa bin Muhammad kepada istrinya suatu malam. ‘Isa bin Musa, kala itu, adalah putra mahkota yang disiapkan sebagai pengganti Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak kala itu. Tentu saja istri  ‘Isa bin Musa, ketika mendengar ucapan suaminya yang demikian, sangat terkejut dan terpukul. Maka, dengan menahan perasaan sedih, dia pun menjawab, “Suamiku, tidak sadarkah engkau, sejatinya dengan kata-katamu yang demikian, berarti telah engkau  jatuhkan talak atas diriku. Tentu engkau tahu dan sadar, meski berhias secantik apa pun, kecantikanku tidak akan kuasa mengungguli keindahan dan kecantikan bulan purnama.”

Mendengar ucapan istrinya yang demikian, malam itu ‘Isa bin Musa benar-benar merasa bersalah dan menyesali tindakannya. Ya, benar-benar merasa bersalah atas keteledoran dirinya. Juga, merasa bersalah karena telah mengucapkan kata-kata yang ternyata membangkitkan masalah dengan istrinya. Sebagai seorang putra mahkota (namun kemudian digantikan Al-Mahdi dengan imbalan harta kekayaan yang sangat melimpah), tentu tidak semestinya dia bertindak gegabah demikian. Akibatnya, malam itu dia tidur sendirian dengan perasaan gelisah, resah, dan tidak karuan.

Selepas merenung, merenung, dan merenung, ‘Isa bin Musa akhirnya memutuskan akan menemui Abu Ja‘far Al-Manshur, pamannya yang penguasa  Dinasti ‘Abbasiyah kala itu. Harapannya, sang penguasa kuasa mencarikan jalan pemecahan atas masalah yang sedang menimpa dirinya.

Benar saja, keesokan harinya, ‘Isa bin Musa tanpa membuang waktu segera menghadap Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa Dinasti ‘Abbasiyah kala itu. Tentu saja, dengan maksud untuk menuturkan kejadian yang menimpa  dirinya itu. Selepas mengucapkan salam dan berbagi sapa sejenak dengan orang nomor satu Dinasti ‘Abbasiyah itu, ‘Isa bin Musa pun menuturkan kejadian itu. Ketika mengakhiri penuturannya, dia berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Jika perceraian itu benar-benar terjadi, betapa pedih dan hancur hati saya. Saya sejatinya masih sangat mencintai istri saya.”

Mendengar keluhan demikian, hati Abu Ja‘far Al-Manshur pun tersentuh dan termenung lama. Perceraian antara sang putra mahkota dan istrinya benar-benar tidak dia harapkan. Karena itu, dia pun segera memerintahkan seorang pejabat agar mengundang beberapa ahli hukum Islam untuk dimintai pandangan mereka perihal kasus ucapan ‘Isa bin Musa itu.

Selepas para ahli hukum Islam itu datang, mereka pun membahas secara cermat kasus itu. Akhirnya, mereka seiring pendapat, ucapan ‘Isa bin Musa itu sama dengan menjatuhkan talak atas istrinya. Namun, kala itu, ada seorang ulama yang tidak memberikan komentar apa pun atas kasus itu. Dia hanya diam saja. Melihat sikapnya yang demikian, Abu Ja‘far Al-Manshur pun penasaran. Kemudian, dengan penuh takzim, dia bertanya kepada ulama itu, “Tuan Guru, mengapa engkau tidak memberikan pendapat? Bagaimanakah pendapatmu perihal kasus ini?”

Ulama dan Tuan Guru yang dimaksud penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah dan pembangun Kota Baghdad Dar Al-Salam, ternyata, tidak lain adalah Abu Hanifah Al-Nu‘man.

Abu Hanifah Al-Nu‘man, siapakah ulama dan Tuan Guru itu?

Salah seorang ahli hukum Islam yang  tokoh pendiri salah satu mazhab fikih ini bernama lengkap Abu  Hanifah Al-Nu‘man  bin  Tsabit bin Zutha Al-Ta’imi. Dia lahir  di  Kufah, Irak pada 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin  ‘Abdul Malik  dari Dinasti  Umawiyah,  dalam  lingkungan keluarga  berdarah  mawlâ (mantan budak). Ayahandanya, Tsabit bin  Zutha,  adalah seorang pedagang  sutra yang kelak juga memengaruhi  pikirannya.  Sedangkan nenek   moyangnya  adalah orang  Persia  yang  berasal   dari   Kabul, Afghanistan,  dan  dibawa ke Kufah sebagai  tawanan  perang.  Selepas merdeka, dia memeluk Islam di bawah perlindungan Bani Taimullah.
Ketika kecil, Abu Hanifah belajar di bawah bimbingan Al-Sya‘bi, seorang ahli hukum Islam terkemuka di Irak kala itu. Kala itu, sang guru telah  melihat tanda-tanda keistimewaan muridnya yang  satu  ini. Sehingga,  dia  menasihati muridnya agar belajar  lebih  tekun  dan pergi  belajar  kepada ulama-ulama besar. Nasihat itu dia  patuhi.  Dia lantas belajar kepada ke ‘Atha‘ bin Rabi‘ah dan belajar hadis kepada Nafi‘, mantan budak ‘Abdullah  bin ‘Umar. Sedangkan kepada Hammad  bin Sulaiman, dia belajar ilmu fikih selama 18 tahun.

Tokoh yang haus ilmu yang juga seorang pedagang yang berhasil itu juga  sempat  belajar  kepada beberapa  sahabat  Nabi Muhammad  Saw. Antara lain Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Aufa, ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Abdullah bin Al-‘Abbas, Suhail, dan Abu Thufail. Karena wawasannya yang luas, dia mendapat gelar Bahr Al-‘Ilm (Laut Ilmu). Tak  aneh  bila pada masa akhir pemerintahan  Dinasti  Umawiyah, karena pengetahuan dan wawasannya yang luas, dia diminta Yazid bin ‘Umar, Gubernur Kufah kala itu, untuk menjabat  Kepala  Kas Negara (Bait Al-Mâl). Tetapi, dia menolak  tawaran  itu, karena   khawatir   jabatan   itu   akan   mengubah   sikap   dan kecenderungannya.  Di  samping itu, dia juga khawatir  jabatan  itu akan  menggeser dan memalingkan kehidupannya dari ilmu agama  dan ibadah.  Karena  tawaran itu ditolak, sang  gubernur  memintanya menjadi hakim. Sekali lagi, dia tolak tawaran itu. Akibatnya,  dia pun dijebloskan ke dalam bui. Dan, dia berpulang  di Baghdad dalam usia 70  tahun  pada 150  H/767 M, diantar ribuan anak manusia yang mencintainya  dan menghormatinya. Dia meninggalkan beberapa karya tulis, antara  lain  Al-Musnad, Al-Makhârij, Kitâb Al-Fiqh Al-Akbar, Kitâb Al-Risâlah,  dan Kitâb Al-Washiyah.

Nah, begitu mendengar pertanyaan Abu Ja‘far Al-Manshur yang demikian, tanpa banyak memberikan komentar ulama itu kemudian membaca ayat Al-Quran berikut, “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, juga demi Bukit Sinai serta demi kota (Makkah) yang aman ini, sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik.” (QS Al-Tîn [95]: 1-4).

Mendengar ayat Al-Quran itu, Abu Ja‘far Al-Manshur segera menyadari bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terindah dan terbaik, jauh lebih indah ketimbang rembulan kala purnama. Karena itu, begitu menyadari dan memahami arah jawaban ulama itu, dia pun dengan penuh semangat berucap kepada ‘Isa bin Musa, “Isa bin Musa! Allah Swt. telah memberikan jalan keluar atas masalah yang sedang engkau hadapi. Ayat yang dibacakan Tuan Guru itu adalah jawaban masalah yang sedang engkau hadapi. Sekarang, pergilah kepada istrimu. Sampaikan kepadanya, kabar gembira ini.”

Sebelum ‘Isa bin Musa bermohon diri, Abu Ja‘far Al-Manshur memerintahkan seorang pejabat untuk menulis surat kepada istri ‘Isa bin Musa yang berisi penjelasan bahwa ucapan suaminya itu bukan talak. Dan, selepas itu, dia menyampaikan rasa terima kasihnya yang tidak terhingga kepada Tuan Guru yang berwawasan luas itu.@



No comments: