KECANTIKAN ISTRI DAN KEINDAHAN REMBULAN PURNAMA
“Istriku! Engkau akan
kucerai bila malam ini tidak tampil lebih cantik dari bulan purnama!”
Demikian ucap ‘Isa bin
Musa bin Muhammad kepada istrinya suatu malam. ‘Isa bin Musa, kala itu, adalah putra mahkota yang disiapkan sebagai
pengganti Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah di Irak kala
itu. Tentu saja istri
‘Isa bin Musa, ketika mendengar ucapan
suaminya yang demikian, sangat
terkejut dan terpukul. Maka, dengan menahan perasaan sedih, dia pun menjawab, “Suamiku, tidak sadarkah
engkau, sejatinya dengan kata-katamu yang demikian, berarti telah engkau jatuhkan talak atas diriku. Tentu engkau tahu dan sadar, meski berhias secantik apa pun, kecantikanku tidak akan kuasa
mengungguli keindahan dan kecantikan bulan purnama.”
Mendengar
ucapan istrinya yang demikian, malam itu ‘Isa bin Musa benar-benar merasa
bersalah dan menyesali tindakannya.
Ya, benar-benar merasa bersalah atas keteledoran dirinya. Juga, merasa bersalah karena telah mengucapkan kata-kata yang ternyata membangkitkan masalah
dengan istrinya. Sebagai seorang putra mahkota (namun kemudian digantikan Al-Mahdi
dengan imbalan harta kekayaan yang sangat
melimpah), tentu tidak semestinya dia bertindak gegabah
demikian. Akibatnya, malam itu dia tidur sendirian dengan perasaan gelisah,
resah, dan tidak karuan.
Selepas
merenung, merenung, dan merenung, ‘Isa
bin Musa akhirnya memutuskan akan menemui Abu Ja‘far
Al-Manshur, pamannya yang penguasa Dinasti ‘Abbasiyah kala itu. Harapannya, sang penguasa kuasa
mencarikan jalan pemecahan atas masalah yang sedang menimpa dirinya.
Benar
saja, keesokan harinya, ‘Isa bin Musa tanpa membuang waktu segera menghadap Abu Ja‘far
Al-Manshur, penguasa Dinasti
‘Abbasiyah kala itu. Tentu saja, dengan maksud untuk
menuturkan kejadian yang menimpa dirinya
itu. Selepas mengucapkan salam dan berbagi sapa sejenak dengan orang nomor satu
Dinasti ‘Abbasiyah itu, ‘Isa bin Musa pun menuturkan kejadian itu. Ketika
mengakhiri penuturannya, dia berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Jika perceraian
itu benar-benar terjadi, betapa pedih dan hancur hati saya. Saya sejatinya masih sangat
mencintai istri saya.”
Mendengar
keluhan demikian, hati Abu Ja‘far Al-Manshur pun tersentuh dan termenung
lama. Perceraian antara sang putra mahkota dan istrinya
benar-benar tidak dia harapkan. Karena itu, dia pun segera memerintahkan
seorang pejabat agar mengundang beberapa ahli hukum Islam untuk dimintai pandangan mereka perihal
kasus ucapan ‘Isa bin Musa itu.
Selepas
para ahli hukum Islam itu datang, mereka pun membahas secara cermat kasus itu. Akhirnya, mereka
seiring pendapat, ucapan ‘Isa bin Musa itu sama dengan menjatuhkan talak atas istrinya. Namun, kala itu, ada seorang
ulama yang tidak memberikan komentar apa pun atas kasus itu. Dia hanya diam
saja. Melihat sikapnya yang demikian, Abu Ja‘far Al-Manshur pun penasaran. Kemudian, dengan
penuh takzim, dia bertanya kepada ulama itu, “Tuan Guru, mengapa engkau tidak memberikan pendapat? Bagaimanakah
pendapatmu perihal kasus ini?”
Ulama
dan Tuan Guru
yang dimaksud penguasa ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah dan pembangun Kota Baghdad Dar Al-Salam, ternyata,
tidak lain adalah Abu Hanifah Al-Nu‘man.
Abu Hanifah Al-Nu‘man, siapakah ulama
dan Tuan Guru itu?
Salah seorang ahli hukum
Islam yang tokoh pendiri salah satu
mazhab fikih ini bernama lengkap Abu Hanifah
Al-Nu‘man bin Tsabit bin Zutha Al-Ta’imi. Dia lahir di
Kufah, Irak pada 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin ‘Abdul Malik
dari Dinasti Umawiyah, dalam
lingkungan keluarga berdarah mawlâ (mantan budak). Ayahandanya,
Tsabit bin Zutha, adalah seorang pedagang sutra yang kelak juga memengaruhi pikirannya.
Sedangkan nenek moyangnya
adalah orang Persia yang
berasal dari Kabul, Afghanistan, dan
dibawa ke Kufah sebagai tawanan perang.
Selepas merdeka, dia memeluk Islam di bawah perlindungan Bani Taimullah.
Ketika
kecil, Abu Hanifah belajar di bawah bimbingan Al-Sya‘bi, seorang ahli hukum Islam terkemuka di
Irak kala itu. Kala itu, sang guru telah melihat tanda-tanda keistimewaan muridnya
yang satu ini. Sehingga, dia menasihati muridnya agar
belajar lebih tekun
dan pergi belajar kepada ulama-ulama besar. Nasihat itu dia patuhi.
Dia lantas belajar kepada ke
‘Atha‘ bin Rabi‘ah dan belajar hadis kepada Nafi‘, mantan budak ‘Abdullah bin ‘Umar. Sedangkan kepada Hammad bin Sulaiman, dia belajar ilmu fikih selama 18 tahun.
Tokoh
yang haus ilmu yang juga seorang pedagang yang berhasil itu juga sempat
belajar kepada beberapa sahabat
Nabi Muhammad Saw. Antara lain
Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Aufa, ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Abdullah bin Al-‘Abbas,
Suhail, dan Abu Thufail. Karena wawasannya yang luas, dia mendapat gelar Bahr Al-‘Ilm (Laut Ilmu).
Tak aneh
bila pada masa akhir pemerintahan
Dinasti Umawiyah, karena
pengetahuan dan wawasannya yang luas, dia diminta Yazid bin ‘Umar, Gubernur Kufah kala itu,
untuk menjabat Kepala Kas
Negara (Bait Al-Mâl). Tetapi, dia menolak tawaran itu, karena
khawatir jabatan itu
akan mengubah sikap
dan kecenderungannya. Di samping itu, dia juga khawatir
jabatan itu akan menggeser dan memalingkan kehidupannya dari
ilmu agama dan ibadah. Karena
tawaran itu ditolak, sang
gubernur memintanya menjadi
hakim. Sekali lagi, dia tolak tawaran itu.
Akibatnya, dia pun dijebloskan ke
dalam bui. Dan, dia berpulang di Baghdad dalam usia
70 tahun
pada 150 H/767 M, diantar ribuan
anak manusia yang mencintainya dan
menghormatinya. Dia meninggalkan beberapa karya tulis, antara lain Al-Musnad, Al-Makhârij, Kitâb Al-Fiqh
Al-Akbar, Kitâb Al-Risâlah, dan Kitâb Al-Washiyah.
Nah, begitu mendengar pertanyaan Abu Ja‘far
Al-Manshur yang demikian, tanpa banyak memberikan komentar
ulama itu kemudian membaca ayat Al-Quran berikut, “Demi (buah) Tin dan
(buah) Zaitun, juga demi Bukit Sinai serta demi kota (Makkah) yang aman ini,
sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik.” (QS
Al-Tîn [95]: 1-4).
Mendengar
ayat Al-Quran itu, Abu Ja‘far Al-Manshur segera menyadari bahwa manusia adalah
makhluk Allah yang terindah dan
terbaik, jauh lebih indah ketimbang rembulan kala purnama.
Karena itu, begitu menyadari dan
memahami arah jawaban ulama itu, dia pun dengan penuh semangat berucap
kepada ‘Isa bin Musa, “Isa bin Musa! Allah Swt. telah memberikan jalan keluar atas masalah
yang sedang engkau hadapi. Ayat yang dibacakan Tuan Guru itu adalah jawaban
masalah yang sedang engkau hadapi. Sekarang, pergilah kepada istrimu. Sampaikan kepadanya, kabar gembira ini.”
Sebelum
‘Isa bin Musa bermohon diri, Abu Ja‘far Al-Manshur memerintahkan seorang
pejabat untuk menulis surat kepada istri ‘Isa bin Musa yang berisi penjelasan
bahwa ucapan suaminya itu bukan talak. Dan, selepas itu, dia menyampaikan rasa terima kasihnya yang tidak
terhingga kepada Tuan Guru yang berwawasan luas itu.@
No comments:
Post a Comment