Wednesday, October 14, 2015

RENUNGAN AWAL TAHUN HIJRIAH 1437:
Kenapa Kami Suka “Kluyuran”

Mau jalan-jalan lagi ya? Sekeluarga ya?”

Demikian ucap kakak sulung saya kepada saya, sebelum saya sekeluarga bertolak ke Jepang antara 6-12 Oktober yang lalu. “He, he, he. Iya, Mbak.  Kan saya sama Mona (putri sulung kami) belum pernah ke sana. Kalau istri dan Naila (putri bungsu kami) kan sudah pernah ke sana.”
“Ke mana saja?”
“Mona dan Naila yang merancang dan memimpin kami. Mereka yang tahu, ke mana kami akan melangkah. Seperti dua tahun yang lalu ketika kami ke Korea.”
“Selamat jalan, ya. Semoga mendapatkan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat.”
“Terima kasih, Mbak.”

“Kluyuran” alias jalan-jalan, memang, sudah menjadi kegiatan kami sejak bertahun-tahun yang lalu. Saya sudah mulai “kluyuran” sejak tahun 1978. Istri sejak sekitar tahun 1989. Sedangkan putri sulung kami sejak tahun 2001, juga putri bungsu kami. Meski saya yang paling lama, tapi “prestasi” saya kalah sama “prestasi” istri. Saya baru mengunjungi empat benua. Istri sudah melalangbuana ke lima benua. Putri sulung dan bungsu kami bersaing: yang sulung sudah menjejakkan kaki di 25 provinsi Indonesia, yang bungsu 16 provinsi. Yang sulung sudah menengok seluruh negara Asean, yang bungsu juga sama minus Filipina, di samping Eropa, Hong Kong, China, Macau, dan Korea. Tentu saja di luar kegiatan beribadah ke Tanah Suci.

Mengapa kami suka “kluyuran”?

Bagi kami, “kluyuran” memang mengasyikkan: selain menimba ilmu, mendapatkan pengalaman baru, mengenal lebih dekat dengan berbagai bangsa dengan kultur dan kebiasaan serta pencapaian mereka, kami bisa saling berbagi ilmu dan pengalaman sambil jalan-jalan.  Dalam berbagi ilmu, kami memiliki “keunggulan” yang tidak sama. Saya memiliki latar belakang pendidikan keagamaan, istri memiliki latar belakang medis, putri sulung kami memiliki latar belakang teknik industri dan teknik perminyakan, dan putri bungsu kami memiliki latar belakang teknik informatika dan manajemen telekomunikasi. Sehingga, dapat dikatakan, saya ini masuk dalam “kelompok minoritas”: mereka bertiga memiliki latar belakang pendidikan eksakta, sedangkan saya beda sendiri, berlatar belakang pendidikan pesantren. Dengan latar belakang pendidikan yang beragam tersebut, kami bisa melihat setiap persoalan dengan sudut pandang yang kaya.

Di sisi lain, mulai dua tahun yang lalu, ketika kami “kluyuran” ke Korea, dalam hal pendanaan, perancangan skedul perjalanan, pengurusan visa, pengurusan bagasi dan “komandan” perjalanan kami serahkan sepenuhnya kepada dua putri kami. Saya dan istri menempati posisi pengikut yang patuh pada arahan mereka. Hal itu karena dua putri kami, dengan latar belakang pendidikan yang membekali mereka dengan penguasan teknologi, lebih cepat mengantisipasi dan menghadapi segala hal yang terjadi di perjalanan. Contoh, sistem transportasi di Seoul dan Tokyo dengan mudah dapat mereka pecahkan dan hadapi. Karena itu, dalam perjalanan bersama mereka, saya kini mendapat tugas sebagai “chef”, ya tukang masak. Sayalah yang menyiapkan bekal makanan dan memasaknya setiap subuh sebelum kami “kluyuran”. Tugas yang menyenangkan, tapi membuat tubuh saya kian tambun.

Selain mendapatkan berbagai manfaat tersebut, entah kenapa, kerap kali ide awal buku-buku yang saya tulis lahir di tengah perjalanan. Misal, Ensiklopedia Tokoh Muslim, yang saya tulis, lahir ketika saya sedang “kluyuran” di Istanbul. Malah, ide awal pendirian Pesantren Mini kami muncul ketika kami sedang bersilaturahmi di rumah seorang sahabat di Kajang, Kuala Lumpur. Malah, ide pendirian Diabetic Center di rumah sakit tempat istri kerja (dua bulan yang lalu meraih predikat sebagai Diabetic Center terbaik tingkat nasional), di bawah komandan istri,  muncul ketika istri “kluyuran” di Bangkok. Ide-ide itu kemudian kami kembangkan dan laksanakan dengan sebaik-baiknya.

Tentu, masih banyak manfaat lain yang kami dapatkan lewat perjalanan. Apa pun halnya, perjalanan sekeluarga kini menjadi bagian dari acara kami sekeluarga. Dan, perjalanan, dengan cara kami, tidak selalu berbiaya tinggi dan lewat perjalanan, seperti diperintahkan Rasulullah Saw., kami berusaha “memungut hikmah yang terserak di mana-mana.”  Dan, akhirnya, “Selamat Tahun Baru 1437 H, Semoga Allah Swt. Senantiasa Memberkahi dan Meridhai Kita Semua.” Salam.


No comments: