IBU NYAI
“Ya Allah, ampunilah, kasihilah, maafkkanlah, jadikanlah
kuburnya berpendar, dan jadikanlah surga sebagai tempat yang abadi bagi Ibu
Nyai Hajjah Siti Fatma. Juga, karuniakanlah kesabaran, kesehatan, dan kemampuan
memelihara diri kepada Gus Mus, amin.”
Entah kenapa, doa yang demikian itu tiba-tiba
menggerakkan dua bibir saya tadi pagi, ketika saya membaca di facebook Gus Mus
bahwa beliau serta putri-putri dan putra beliau sedang menyiapkan sebuah buku
kenangan berjudul “Ibuku Kekasihku”. Rencananya, buku tersebut akan diterbitkan
pada hari ke-40 berpulangnya istri tercinta Gus Mus. Dan, usai berdoa,
tiba-tiba benak saya pun “melayang-layang” dan kemudian kisah sederet ibu nyai
(istri seorang kiai) bermunculan dalam benak saya.
Ternyata, menjadi seorang ibu nyai tidaklah mudah dan
tidak pula ringan. Ketika seorang perempuan menyatakan siap untuk menikah
dengan seorang “calon” dan seorang kiai, sejatinya ia telah “melontarkan
dirinya” dalam sebuah medan perjalanan dan perjuangan hidup yang tidak ringan.
Sebab, menjadi istri seorang kiai kerap kali harus siap hidup pas-pasan, siap
setiap waktu ditinggal sang suami untuk melayani masyarakat, siap setiap waktu
mendampingi dan berbagi dengan sang suami dalam menghadapi berbagai masalah
keluarga, masyarakat, dan negara, dan juga siap sewaktu-waktu kehilangan sang
suami tercinta dan lain-lain sebagainya.
Oleh karena itu, tidak setiap perempuan siap dan kuat
menjadi seorang Ibu Nyai. Suatu saat, ada seorang calon dokter yang menikah
dengan putra seorang kiai terkemuka yang memimpin pesantren besar di Jawa Timur.
Perempuan yang putri seorang profesor terkemuka tersebut menikah dengan
suaminya di luar negeri. Namun, apa yang terjadi kemudian ketika mereka berdua
kembali ke Tanah Air? Perempuan yang kini menjadi seorang dokter tersebut kaget
dengan kedudukannya sebagai seorang Ibu Nyai dan tidak tahan menjadi pendamping
hidup yang tangguh suaminya sebagai seorang kiai muda. Akhirnya, perempuan itu
memilih berpisah baik-baik dengan suaminya.
Di sisi lain, ketika seorang Ibu Nyai berpulang ke
hadirat Allah Swt. lebih dahulu daripada suaminya, ternyata tidak setiap kiai
tahan dalam menghadapi “goncangan” yang terjadi. Kiai juga seorang manusia:
kadang merasakan sangat kesepian ketika istri tercintanya telah tiada. Malah,
ada yang kelabakan: berbulan-bulan kebingungan seperti kisah Pak Habibie
selepas Ibu Ainun berpulang. Akhirnya, atas persetujuan putra dan putrinya,
kiai tersebut menikah kembali: mengikuti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang
mendorong para suami yang istrinya berpulang untuk segera menikah kembali,
untuk menghindari hal-hal yang tidak terpuji.
“Mbak Ienas, Mbak Almas, dan putra-putri Gus Mus lainnya,
dampingi dan kasihi Abah kalian ya. Abah tentu sangat kehilangan Ibu Hajjah
Siti Fatma, meski Gus Mus tidak menampakkan kehilangan yang dalam tersebut,”
demikian gumam bibir saya sambil merenungi lama “catatan-catatan pendek” yang
disajikan Gus Mus dalam facebooknya, selepas beliau hidup tanpa bersama Ibu
Hajjah Siti Fatma lagi di dunia yang fana ini.
No comments:
Post a Comment