GUS, IKUTILAH JEJAK LANGKAH KAKEKMU...!
“Ya Allah, karuniakanlah limpahan cinta dan kasih
sayang-Mu kepada Mbah Maimun...”
Demikian gumam pelan bibir saya, ketika saya melihat foto
Al-Mukarram K.H. Maimun Zubair (alias Mbah Maimun), seorang kiai sepuh asal Sarang,
Rembang, Jawa Tengah, di facebook salah seorang sahabat tadi malam. Dan, entah
kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke tahun 2007, ketika saya
bertemu pertama kali dengan Mbah Maimun, dan hingga kini belum pernah bertemu
kembali dengan beliau.
Kala itu, saya sedang mendampingi jamaah sebuah travel
dari Bandung untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kami sedang mabît di
Mina, saya lihat banyak jamaah dari berbagai maktab mendatangi sebuah
tenda di belakang tenda tempat kami mabît. Ketika saya tahu bahwa mereka
ternyata berusaha sowan kepada Mbah Maimun, saya pun ikut antri bersama
mereka untuk sowan kepada beliau. Meski saya belum pernah bertemu sama
sekali dengan beliau, tapi saya sedikit tahu tentang “jati diri” beliau. Dan, Mbah
Maimun akrab dengan keluarga kami di Cepu, Jawa Tengah.
Kemudian, ketika antrian saya sampai di hadapan beliau,
beliau pun saya peluk. Lama. Masih dalam pelukan saya, Mbah Maimun bertanya
kepada saya dengan suara pelan, “Njenengan niku sinten. Kulo kok kadose
kenal wajah njenengan. Anda itu siapa. Saya kok kayaknya kenal dengan wajah
Anda.”
“Mbah, kawulo Ahmad Rofi’ Usmani, saking Bandung.
Mbah, saya Ahmad Rofi’ Usmani, dari Bandung.”
“Saking Bandung kok saged boso Jawi. Dari Bandung
kok bisa bahasa Jawa.”
“Inggih, Mbah, asal kawulo saking Cepu, dados saged
boso Jawi. Iya, Mbah, asal saya dari Cepu, karena itu saya bisa bahasa
Jawa.”
“O, saking Cepu. Pirso Mbah Yai Usman. O, dari
Cepu. Tahu Mbah Kiai Usman?”
“Inggih, Mbah, kawulo wayahipun. Iya, Mbah, saya
cucunya.”
Begitu mendengar jawaban terakhir tersebut, Mbah Maimun
ganti memeluk lama saya sambil mengelus-elus punggung saya. Kemudian, ucap beliau
dengan suara pelan, “Masya Allah, njenengan niku wayahipun Mbah Yai Usman
to. Pantesan, kok kawulo rasanipun sampun kenal dangu kaliyan njenengan.
Njenengan pinarak wonten mriki mawon, nggih. Ngancani kawulo. Masya Allah,
Anda itu cucunya Mbah Kiai Usman to. Pantesan, kok saya rasanya sudah kenal
lama dengan Anda. Anda duduk di sini saja, ya. Menemani saya.”
Sebenarnya, saya ingin menolak permintaan Mbah Maimun.
Tetapi, merasa tidak tepat menolak permintaan beliau, saya pun duduk di samping
beliau. Akibatnya? Saya pun kecipratan kehormatan beliau sebagai kiai sepuh,
alias saya dapat “kramat gantung”: orang-orang yang menghadap beliau pun
mengambil tangan kanan saya dan menciumnya, selepas mereka mencium tangan
beliau. Melihat hal yang demikian, bibir saya pun bergumam pelan, “Wah gawat.
Aku ini bukan siapa-siapa, kok mendapat penghormatan demikian ini.”
Melihat orang-orang yang mau sowan kepada Mbah Maimun
kian mengular panjang, akhirnya saya pun berpamitan dengan beliau. Semula,
beliau tidak mengizinkan saya berlalu. Tetapi, dengan berbagai alasan, beliau
akhirnya mengizinkan saya pamit. Sambil memeluk saya, beliau berucap, “Gus,
kawulo ndongaaken, njenengan saged kados Mbah Yai Usman: saged ndamel pesantren
ingkang manfaat kangge umat. Gus, saya doakan, Anda bisa seperti Mbah Kiai
Usman: bisa mendirikan pesantren yang bermanfaat bagi umat.”
Deg, betapa hati dan pikiran saya bingung dan gelisah
mendengar pesan Mbah Maimun yang demikian. Pertama, panggilan "gus"
membuat saya merasa bahwa saya tidak layak mendapatkan panggilan demikian. Lagi
pula, meski putra dan cucu seorang kiai, namun sejak muda saya lebih suka tidak
dikenal sebagai keturunan kiai. Saya lebih suka disebut dengan panggilan
“Rofi’” saja, tanpa imbuhan apapun. Kedua, kala itu, saya tidak tertarik untuk
menekuni dunia pendidikan, apalagi mendirikan pesantren. Saya lebih suka jadi
tukang kluyuran yang tidak dikenal orang.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Mungkin, karena doa
Mbah Maimun yang ikhlas dan “mandi”, entah kenapa setahun kemudian Allah Swt.
membukakan hati saya dan istri saya untuk mulai merintis Pesantren Mini kami
yang kini kian berkembang.
“Matur nuwun, Mbah Maimun,” demikian gumam pelan
bibir saya dini hari tadi, sambil memandangi Pesantren Mini kami yang kini kian
banyak murid dan santrinya.
No comments:
Post a Comment