Monday, July 18, 2016

GUS, IKUTILAH JEJAK LANGKAH KAKEKMU...!

Ya Allah, karuniakanlah limpahan cinta dan kasih sayang-Mu kepada Mbah Maimun...”

Demikian gumam pelan bibir saya, ketika saya melihat foto Al-Mukarram K.H. Maimun Zubair (alias Mbah Maimun), seorang kiai sepuh asal Sarang, Rembang, Jawa Tengah, di facebook salah seorang sahabat tadi malam. Dan, entah kenapa, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” ke tahun 2007, ketika saya bertemu pertama kali dengan Mbah Maimun, dan hingga kini belum pernah bertemu kembali dengan beliau.

Kala itu, saya sedang mendampingi jamaah sebuah travel dari Bandung untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kami sedang mabît di Mina, saya lihat banyak jamaah dari berbagai maktab mendatangi sebuah tenda di belakang tenda tempat kami mabît. Ketika saya tahu bahwa mereka ternyata berusaha sowan kepada Mbah Maimun, saya pun ikut antri bersama mereka untuk sowan kepada beliau. Meski saya belum pernah bertemu sama sekali dengan beliau, tapi saya sedikit tahu tentang “jati diri” beliau. Dan, Mbah Maimun akrab dengan keluarga kami di Cepu, Jawa Tengah.

Kemudian, ketika antrian saya sampai di hadapan beliau, beliau pun saya peluk. Lama. Masih dalam pelukan saya, Mbah Maimun bertanya kepada saya dengan suara pelan, “Njenengan niku sinten. Kulo kok kadose kenal wajah njenengan. Anda itu siapa. Saya kok kayaknya kenal dengan wajah Anda.”
Mbah, kawulo Ahmad Rofi’ Usmani, saking Bandung. Mbah, saya Ahmad Rofi’ Usmani, dari Bandung.”
Saking Bandung kok saged boso Jawi. Dari Bandung kok bisa bahasa Jawa.”
Inggih, Mbah, asal kawulo saking Cepu, dados saged boso Jawi. Iya, Mbah, asal saya dari Cepu, karena itu saya bisa bahasa Jawa.”
O, saking Cepu. Pirso Mbah Yai Usman. O, dari Cepu. Tahu Mbah Kiai Usman?”
Inggih, Mbah, kawulo wayahipun. Iya, Mbah, saya cucunya.”

Begitu mendengar jawaban terakhir tersebut, Mbah Maimun ganti memeluk lama saya sambil mengelus-elus punggung saya. Kemudian, ucap beliau dengan suara pelan, “Masya Allah, njenengan niku wayahipun Mbah Yai Usman to. Pantesan, kok kawulo rasanipun sampun kenal dangu kaliyan njenengan. Njenengan pinarak wonten mriki mawon, nggih. Ngancani kawulo. Masya Allah, Anda itu cucunya Mbah Kiai Usman to. Pantesan, kok saya rasanya sudah kenal lama dengan Anda. Anda duduk di sini saja, ya. Menemani saya.”

Sebenarnya, saya ingin menolak permintaan Mbah Maimun. Tetapi, merasa tidak tepat menolak permintaan beliau, saya pun duduk di samping beliau. Akibatnya? Saya pun kecipratan kehormatan beliau sebagai kiai sepuh, alias saya dapat “kramat gantung”: orang-orang yang menghadap beliau pun mengambil tangan kanan saya dan menciumnya, selepas mereka mencium tangan beliau. Melihat hal yang demikian, bibir saya pun bergumam pelan, “Wah gawat. Aku ini bukan siapa-siapa, kok mendapat penghormatan demikian ini.”

Melihat orang-orang yang mau sowan kepada Mbah Maimun kian mengular panjang, akhirnya saya pun berpamitan dengan beliau. Semula, beliau tidak mengizinkan saya berlalu. Tetapi, dengan berbagai alasan, beliau akhirnya mengizinkan saya pamit. Sambil memeluk saya, beliau berucap, “Gus, kawulo ndongaaken, njenengan saged kados Mbah Yai Usman: saged ndamel pesantren ingkang manfaat kangge umat. Gus, saya doakan, Anda bisa seperti Mbah Kiai Usman: bisa mendirikan pesantren yang bermanfaat bagi umat.”

Deg, betapa hati dan pikiran saya bingung dan gelisah mendengar pesan Mbah Maimun yang demikian. Pertama, panggilan "gus" membuat saya merasa bahwa saya tidak layak mendapatkan panggilan demikian. Lagi pula, meski putra dan cucu seorang kiai, namun sejak muda saya lebih suka tidak dikenal sebagai keturunan kiai. Saya lebih suka disebut dengan panggilan “Rofi’” saja, tanpa imbuhan apapun. Kedua, kala itu, saya tidak tertarik untuk menekuni dunia pendidikan, apalagi mendirikan pesantren. Saya lebih suka jadi tukang kluyuran yang tidak dikenal orang.

Namun, apa yang terjadi kemudian? Mungkin, karena doa Mbah Maimun yang ikhlas dan “mandi”, entah kenapa setahun kemudian Allah Swt. membukakan hati saya dan istri saya untuk mulai merintis Pesantren Mini kami yang kini kian berkembang.

Matur nuwun, Mbah Maimun,” demikian gumam pelan bibir saya dini hari tadi, sambil memandangi Pesantren Mini kami yang kini kian banyak murid dan santrinya.


No comments: