WAHAI IMAM AL-SYAFI‘I, AKU MERINDUKANMU
Entah kenapa, dini hari tadi, saya merasa resah dan gelisah. Dan,
kemudian tiba-tiba saya merindukan kehadiran Imam Al-Syafi'i, seorang pendiri
Mazhab Syafi'i: sebuah mazhab fikih yang hingga kini tersebar di berbagai
kawasan Dunia Islam. Karena itu, sejak dini hari tadi, saya membuka banyak tulisan tentang perjalanan
hidup dan pemikiran beliau
Mungkin, kerinduan saya yang demikian itu membara karena
perasaan jenuh karena membaca berbagai perbedaan pendapat yang kini sedang
"membara" di media sosial. Perbedaan pendapat yang kerap
membangkitkan emosi. Dan, selepas membuka sederet tulisan tentang tokoh
kelahiran Gaza, Palestina itu, akhirnya saya mendapatkan sebuah catatan tentang
sikap beliau dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi pada masanya, "Imam
Al-Shafii never got furious while debating with anyone, because he was not
interested in scoring points or winning people's admiration, but rather in
reaching the truth. And if his opponent were right, he would not find
difficulty accepting his view."
Membaca catatan demikian itu, entah kenapa, hati saya menjadi
tenteram dan tidak resah lagi.
Siapakah Imam Al-Syafii?
Pendiri Madzhab Syafi‘i dan pengasas ilmu usul fikih ini lahir
pada 150 H/767 M lahir di Gaza, Palestina dengan nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad
bin Idris bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin Al-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin
Hisyam bin Al-Muththalib bin ‘Abd Manaf Al-Qurasyi Al-Muththalibi Al-Makki. Ibunya
bernama Fathimah binti ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Husain bin
‘Ali bin Abu Thalib. Ketika anak itu berumur dua tahun, ayahnya meninggal
dunia. Maka, ibunya membawanya ke ‘Asqalan, dan kemudian ke Makkah. Selepas
agak besar, ia diantarkan sang ibu ke Masjid Al-Haram untuk menimba
ilmu. Di sini, ia belajar kepada sejumlah ulama di Kota Suci itu kala itu,
antara lain Isma‘il bin Qustanthin, Sa‘d bin Salim Al-Qaddah, Daud bin ‘Abdurrahman
Al-‘Aththar, Muslim bin Khalid Al-Zanji dan Sufyan bin ‘Uyainah. Dengan segera
ia berhasil menguasai berbagai ilmu yang diajarkan.
Lantas, ketika Imam Al-Syafi‘i berusia 20 tahun, ia meminta izin
kepada sang ibu untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas, pengasas Mazhab
Maliki, di Madinah Al-Munawwarah. Ibunya mengizinkan. Berangkatlah ia ke Kota
Nabi. Begitu bertemu dengan anak muda itu, sang Imam benar-benar terkesan
dengan kepribadian, kecerdasan, dan perilakunya. Selain kepada sang guru, ia
juga menimba ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka di Kota Nabi kala itu. Antara
lain ‘Abdullah bin Nafi‘, Muhammad bin Sa‘id, Ibrahim bin Abu Yahya
Al-‘Ashami, dan ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Al-Darudi.
Selepas tiga tahun menjadi murid Malik bin Anas, si anak muda
meminta izin kepada gurunya untuk melanjutkan kelananya guna menguak lebih jauh
dunia ilmu pengetahuan. Ia pun pergi ke Kufah, Persia, Syam, dan kembali ke
Makkah. Lantas, selepas Malik bin Anas berpulang, ia melanjutkan kelananya ke
Yaman. Dari negeri terakhir itu ia kemudian kembali ke Makkah lagi.
Perjalanan panjang berikutnya mengantarkannya menjadi imam besar
yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metode Hijaz dan metode Irak,
yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan ratio.
Selanjutnya, ia melakukan perjalanan ke Mesir, lewat Harran dan Syam. Ia
tiba di Mesir pada Senin, 26 Syawwal 198 H/19 Juni 814 M. Dan, akhir perjalanan
kelananya di dunia yang fana ini berakhir pada Jumat, 30 Rajab 204 H/20 Januari
820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir.
Selain sebagai pengasas Madzhab Syafi‘i, tokoh yang menyatakan
bahwa “perhiasan yang paling indah yang dipakai para ulama adalah kedamaian
hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” ini juga dipandang sebagai peletak
batu pertama usul fikih. Sebab, para ahli fikih sebelumnya berijtihad tanpa
mempunyai batas-batas yang jelas. Dengan karyanya berjudul Al-Risâlah,
ia membuat batas dan tata aturan yang jelas dalam berijtihad. Di samping itu,
ia meninggalkan sejumlah karya tulis selain Al-Risâlah. Antara lain
adalah Al-Umm, sebuah karya di bidang fikih yang dihimpun Al-Bulqini
(berpulang pada 805 H/1403 M), dan Al-Fiqh Al-Akbar fî Al-Tauhîd.
"Wahai Imam, andai engkau hadir di antara kami saat ini,
mungkin kami dapat berpikir dan bersikap lebih bening dan jernih," gumam
bibir saya ketika mendengar lantunan azan Shubuh tadi pagi dan mengakhiri
"kluyuran" saya di dunia maya.