Tuesday, November 15, 2016

WAHAI IMAM AL-SYAFI‘I, AKU MERINDUKANMU

Entah kenapa, dini hari tadi, saya merasa resah dan gelisah. Dan, kemudian tiba-tiba saya merindukan kehadiran Imam Al-Syafi'i, seorang pendiri Mazhab Syafi'i: sebuah mazhab fikih yang hingga kini tersebar di berbagai kawasan Dunia Islam. Karena itu, sejak dini hari tadi, saya  membuka banyak tulisan tentang perjalanan hidup dan pemikiran beliau

Mungkin, kerinduan saya yang demikian itu membara karena perasaan jenuh karena membaca berbagai perbedaan pendapat yang kini sedang "membara" di media sosial. Perbedaan pendapat yang kerap membangkitkan emosi. Dan, selepas membuka sederet tulisan tentang tokoh kelahiran Gaza, Palestina itu, akhirnya saya mendapatkan sebuah catatan tentang sikap beliau dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi pada masanya, "Imam Al-Shafii never got furious while debating with anyone, because he was not interested in scoring points or winning people's admiration, but rather in reaching the truth. And if his opponent were right, he would not find difficulty accepting his view."

Membaca catatan demikian itu, entah kenapa, hati saya menjadi tenteram dan tidak resah lagi.

Siapakah Imam Al-Syafii?

Pendiri Madzhab Syafi‘i dan pengasas ilmu usul fikih ini lahir pada 150 H/767 M lahir di Gaza, Palestina dengan nama lengkap Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin Al-Sa’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hisyam bin Al-Muththalib bin ‘Abd Manaf Al-Qurasyi Al-Muththalibi Al-Makki. Ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdullah bin Al-Hasan bin Al-Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib. Ketika anak itu berumur dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Maka, ibunya membawanya ke ‘Asqalan, dan kemudian ke Makkah. Selepas agak besar, ia diantarkan sang ibu ke Masjid Al-Haram untuk menimba ilmu. Di sini, ia belajar kepada sejumlah ulama di Kota Suci itu kala itu, antara lain Isma‘il bin Qustanthin, Sa‘d bin Salim Al-Qaddah, Daud bin ‘Abdurrahman Al-‘Aththar, Muslim bin Khalid Al-Zanji dan Sufyan bin ‘Uyainah. Dengan segera ia berhasil menguasai berbagai ilmu yang diajarkan.

Lantas, ketika Imam Al-Syafi‘i berusia 20 tahun, ia meminta izin kepada sang ibu untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas, pengasas Mazhab Maliki, di Madinah Al-Munawwarah. Ibunya mengizinkan. Berangkatlah ia ke Kota Nabi. Begitu bertemu dengan anak muda itu, sang Imam benar-benar terkesan dengan kepribadian, kecerdasan, dan perilakunya. Selain kepada sang guru, ia juga menimba ilmu kepada sejumlah ulama terkemuka di Kota Nabi kala itu. Antara lain ‘Abdullah bin Nafi‘, Muhammad bin Sa‘id, Ibrahim bin Abu Yahya Al-‘Ashami, dan ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Al-Darudi.

Selepas tiga tahun menjadi murid Malik bin Anas, si anak muda meminta izin kepada gurunya untuk melanjutkan kelananya guna menguak lebih jauh dunia ilmu pengetahuan. Ia pun pergi ke Kufah, Persia, Syam, dan kembali ke Makkah. Lantas, selepas Malik bin Anas berpulang, ia melanjutkan kelananya ke Yaman. Dari negeri terakhir itu ia kemudian kembali ke Makkah lagi.

Perjalanan panjang berikutnya mengantarkannya menjadi imam besar yang dalam menetapkan hukum memadukan antara metode Hijaz dan metode Irak, yakni memadukan antara lahiriah teks-teks landasan hukum Islam dengan ratio. Selanjutnya, ia melakukan perjalanan ke Mesir, lewat Harran dan Syam. Ia tiba di Mesir pada Senin, 26 Syawwal 198 H/19 Juni 814 M. Dan, akhir perjalanan kelananya di dunia yang fana ini berakhir pada Jumat, 30 Rajab 204 H/20 Januari 820 M di Al-Qarafah Al-Shughra, Fusthath, Mesir.

Selain sebagai pengasas Madzhab Syafi‘i, tokoh yang menyatakan bahwa “perhiasan yang paling indah yang dipakai para ulama adalah kedamaian hati (qanâ‘ah), kepapaan, dan ridha” ini juga dipandang sebagai peletak batu pertama usul fikih. Sebab, para ahli fikih sebelumnya berijtihad tanpa mempunyai batas-batas yang jelas. Dengan karyanya berjudul Al-Risâlah, ia membuat batas dan tata aturan yang jelas dalam berijtihad. Di samping itu, ia meninggalkan sejumlah karya tulis selain Al-Risâlah. Antara lain adalah Al-Umm, sebuah karya di bidang fikih yang dihimpun Al-Bulqini (berpulang pada 805 H/1403 M), dan Al-Fiqh Al-Akbar fî Al-Tauhîd.

"Wahai Imam, andai engkau hadir di antara kami saat ini, mungkin kami dapat berpikir dan bersikap lebih bening dan jernih," gumam bibir saya ketika mendengar lantunan azan Shubuh tadi pagi dan mengakhiri "kluyuran" saya di dunia maya.


No comments: