Selepas dua hari berada di Madinah Al-Munawwarah, pada siang hari itu, Selasa 3 Juli 2007, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, jamaah Khalifah Tour yang telah mengenakan pakaian ihram, dibawah komando Tour Leader: Mas Cecep Saiful Hidayat, telah siap di lobi Al-Haram Hotel, Madinah Al-Munawwarah, untuk melaksanakan ibadah umrah di Makkah. Seperti diketahui, ibadah umrah berarti berkunjung ke Masjid Al-Haram dengan melaksanakan rukun-rukunnya, yaitu dengan melakukan ihram dari miqat, melaksanakan tawaf di seputar Ka‘bah sebanyak tujuh kali, sa‘i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, tahallul, dan secara tertib. Berbeda dengan ibadah haji, ibdah umrah tidak dibatasi waktu. Dengan kata lain, ibadah ini dapat dilaksanakan kapan saja, tidak terbatas di bulan-bulan haji saja. Ibadah ini sendiri ada dua macam: umrah wajib dan umrah sunnah. Umrah wajib adalah umrah yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan umrah sunnah adalah umrah yang dilakukan bukan dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Dengan kata, lain umrah ini berdiri sendiri. Umrah terakhir ini dapat dilakukan sembarang waktu.
Tidak lama kemudian, Bus Dallah dengan no. lambung 720 pun bergerak meninggalkan Al-Haram Hotel dan menuju Bi’r ‘Ali, miqat jamaah yang berasal dari arah Madinah. Seperti diketahui, miqat adalah batas memulai melaksanakan ihram ini, agar ibadah haji dan umrah seseorang sah menurut syariah Islam. Miqat ini ada dua macam. Pertama, miqat zamani yang berkaitan dengan batas waktu. Kedua, miqat makani yang berkaitan dengan batas tempat. Dari segi batas waktu, memulai ihram untuk ibadah haji dapat dilakukan dari awal bulan Syawwal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzul Hijjah. Dengan kata lain, selama dua bulan sepuluh hari. Karena itu, jika seseorang melaksanakan ihram untuk haji sebelum rentang waktu tersebut atau sesudahnya, maka ibadah hajinya tidak sah. Sementara dari segi batas tempat, hal itu tergantung dari arah datangnya jamaah haji menuju Makkah. Bi’r ‘Ali (Dzul Hulaifah) adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari Madinah. Letaknya sekitar 12 kilometer dari pusat kota Madinah, di jalan raya menuju Makkah. Rabigh, adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari Mesir, Suriah, dan yang searah. Letaknya sekitar 204 kilometer di barat laut Makkah. Dzatu ‘Irqin adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Irak. Letaknya sekitar 94 kilometer di utara Makkah. Qarn Al-Manazil adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Nejd, Riyadh, Abu Dhabi atau Muscat. Letaknya sekitar 94 kilometer di timur Makkah, di jalan raya menuju Thaif. Dan Yalamlam adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Yaman. Letaknya lebih kurang 54 kilometer dari arah selatan Makkah.
Sekitar sepuluh menit dari Al-Haram Hotel, Bus Dallah yang kami naiki tiba di Bi’r ‘Ali. Di situ, ada sederet bus sedang parkir dan menanti jamaah yang akan melaksanakan ibadah umrah. Selepas melaksanakan shalat sunnah dan berniat ihram, segera gema talbiyyah di bawah arahan muthawwif, Mas Abdussalam Baidhawi, memenuhi seluruh sudut bus yang kami naiki. Bus pun segera melaju menuju Makkah yang jaraknya sekitar 450 kilometer dari Madinah. Pemandangan di luar bus lebih banyak diwarnai batu-batu hitam dan padang pasir nan kerontang. Segera saja terbayang dalam benak saya, bagaimana beratnya perjalanan yang dilakukan Rasululullah Saw. yang ketika itu berusia sekitar 58 tahun dan para sahabat ketika melaksanakan umrah. Seperti diketahui, beliau dan sekitar 2.000 para sahabat, pada masa Islam, pertama kali melaksanakan umrah (yang dikenal dengan sebutan umrah qadha’) pada Dzul Qa‘dah 7 H/Maret 629 M. Ini sebagai pengganti ibadah umrah yang terhalang setahun sebelumnya, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyyah. Saya sendiri tidak dapat membayangkan, bagaimana beratnya beban yang ditanggung seseorang ketika melintasi jarak 450 kilometer kala itu. Apalagi saat itu di bulan Maret, kala musim panas di negeri itu mulai “unjuk rasa”. Menurut catatan sejarah, beliau memang lebih suka menyusuri jalur yang tidak jauh dari pantai Laut Merah. Mungkin, suhu udara yang lebih “bersahabat” merupakan salah satu pertimbangan. Di samping itu, perbekalan di sepanjang pantai lebih mudah didapat ketimbang jika mengambil jalur memintas padang pasir yang sangat kerontang dan kawasan bukit-bukit batu hitam tanpa tetumbuhan.
Tidak lama kemudian, Bus Dallah dengan no. lambung 720 pun bergerak meninggalkan Al-Haram Hotel dan menuju Bi’r ‘Ali, miqat jamaah yang berasal dari arah Madinah. Seperti diketahui, miqat adalah batas memulai melaksanakan ihram ini, agar ibadah haji dan umrah seseorang sah menurut syariah Islam. Miqat ini ada dua macam. Pertama, miqat zamani yang berkaitan dengan batas waktu. Kedua, miqat makani yang berkaitan dengan batas tempat. Dari segi batas waktu, memulai ihram untuk ibadah haji dapat dilakukan dari awal bulan Syawwal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzul Hijjah. Dengan kata lain, selama dua bulan sepuluh hari. Karena itu, jika seseorang melaksanakan ihram untuk haji sebelum rentang waktu tersebut atau sesudahnya, maka ibadah hajinya tidak sah. Sementara dari segi batas tempat, hal itu tergantung dari arah datangnya jamaah haji menuju Makkah. Bi’r ‘Ali (Dzul Hulaifah) adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari Madinah. Letaknya sekitar 12 kilometer dari pusat kota Madinah, di jalan raya menuju Makkah. Rabigh, adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari Mesir, Suriah, dan yang searah. Letaknya sekitar 204 kilometer di barat laut Makkah. Dzatu ‘Irqin adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Irak. Letaknya sekitar 94 kilometer di utara Makkah. Qarn Al-Manazil adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Nejd, Riyadh, Abu Dhabi atau Muscat. Letaknya sekitar 94 kilometer di timur Makkah, di jalan raya menuju Thaif. Dan Yalamlam adalah batas tempat bagi jamaah yang datang dari arah Yaman. Letaknya lebih kurang 54 kilometer dari arah selatan Makkah.
Sekitar sepuluh menit dari Al-Haram Hotel, Bus Dallah yang kami naiki tiba di Bi’r ‘Ali. Di situ, ada sederet bus sedang parkir dan menanti jamaah yang akan melaksanakan ibadah umrah. Selepas melaksanakan shalat sunnah dan berniat ihram, segera gema talbiyyah di bawah arahan muthawwif, Mas Abdussalam Baidhawi, memenuhi seluruh sudut bus yang kami naiki. Bus pun segera melaju menuju Makkah yang jaraknya sekitar 450 kilometer dari Madinah. Pemandangan di luar bus lebih banyak diwarnai batu-batu hitam dan padang pasir nan kerontang. Segera saja terbayang dalam benak saya, bagaimana beratnya perjalanan yang dilakukan Rasululullah Saw. yang ketika itu berusia sekitar 58 tahun dan para sahabat ketika melaksanakan umrah. Seperti diketahui, beliau dan sekitar 2.000 para sahabat, pada masa Islam, pertama kali melaksanakan umrah (yang dikenal dengan sebutan umrah qadha’) pada Dzul Qa‘dah 7 H/Maret 629 M. Ini sebagai pengganti ibadah umrah yang terhalang setahun sebelumnya, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyyah. Saya sendiri tidak dapat membayangkan, bagaimana beratnya beban yang ditanggung seseorang ketika melintasi jarak 450 kilometer kala itu. Apalagi saat itu di bulan Maret, kala musim panas di negeri itu mulai “unjuk rasa”. Menurut catatan sejarah, beliau memang lebih suka menyusuri jalur yang tidak jauh dari pantai Laut Merah. Mungkin, suhu udara yang lebih “bersahabat” merupakan salah satu pertimbangan. Di samping itu, perbekalan di sepanjang pantai lebih mudah didapat ketimbang jika mengambil jalur memintas padang pasir yang sangat kerontang dan kawasan bukit-bukit batu hitam tanpa tetumbuhan.
Dalam peristiwa umrah yang gagal itu, yang terjadi pada 6 H/628 M itu, Rasulullah Saw. bersama sekitar 1.500 sahabat berangkat menuju Kota Suci itu untuk membalas pengepungan kaum musyrik Makkah atas Madinah di tahun sebelumnya. Di samping itu, juga untuk melaksanakan ibadah umrah dan mengunjungi Baitullah. Semula, kaum musyrik Makkah berusaha menghadang gerakan rombongan beliau dan para sahabat agar mereka tidak memasuki Kota Suci itu. Namun, akhirnya kedua belah tersebut bertemu di Hudaibiyyah, sebuah tempat yang kini terletak di wilayah Syumaisi (sekitar dua kilometer dari batas Tanah Haram), sekitar 25 kimoleter di jalan menuju Jeddah dari arah Makkah, dan di antara mereka tercapai kesepakatan yang tertuang dalam “Perjanjian Hudaibiyyah”. Berdasar berjanjian ini, Nabi Saw. dan rombongannya tahun itu terpaksa membatalkan maksud mereka untuk melaksanakan ibadah umrah. Mereka baru diperkenankan melakukan ibadah itu pada tahun berikutnya.
Selain itu, berdasarkan perjanjian tersebut, juga disepakati bahwa orang Islam Madinah tidak boleh mengambil kembali orang Islam yang tinggal di Makkah. Juga, tidak boleh menghalangi siapa pun di antara kaum Muslim yang ingin tinggal di Makkah. Sebaliknya, bila ada orang Makkah yang ingin tinggal di Madinah, kaum Muslim harus menyerahkannya kembali kepada kaum musyrik Makkah. Tapi, bila ada kaum Muslim yang ingin tinggal di Makkah, pihak Makkah tidak harus mengembalikannya ke Madinah. Perjanjian itu sendiri, ternyata, lebih menguntungkan kaum Muslim. Sebab, dengan tercapainya perjanjian ini, Islam menjadi lebih tersiar ke berbagai kawasan. Tanpa ada hambatan dan tanpa kekerasan!
Dalam ibadah umrah tersebut, dengan perasaan sangat gembira dan bahagia setelah tujuh tahun tidak melihat Ka‘bah beliau dan para sahabat tidak membawa apa-apa kecuali pedang yang disarungkan. Sementara orang kafir mengungsi keluar kota. Dengan peristiwa ini terbuktilah kebenaran firman Allah, “Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sungguh kalian pasti akan memasuki Masjid Al-Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kalian tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kalian ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS Al-Fath [48]: 27).
Selepas menempuh perjalanan selama sekitar enam jam, jamaah Khalifah Tour tiba Makkah Al-Mukarramah sekitar jam setengah sepuluh malam. Rombongan ini kemudian dibagi dua, sebagian menginap di Hilton Hotel dan sebagian yang lain di Dar Al-Salaam Hotel, untuk beristirahat sejenak dan kemudian melaksanakan tawaf dan sa’i. Sujud syukur kembali saya lakukan, setibanya di salah satu kamar Dar Al-Salaam Hotel, atas pelbagai nikmat, kesehatan, dan kesempatan untuk berumrah yang dikaruniakan Allah Swt.