Perasaan bahagia dan senantiasa ingin mendekatkan diri kepada Sang Khalik adalah suasana hati yang acap menyergap kalbu dan benak sebagian besar Muslim yang melakukan perjalanan ke Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah. Karena itu, tak aneh jika tak lama setelah melepas lelah di Al-Haram Hotel, jamaah Khalifah Tour segera menuju Masjid Nabawi, karena waktu subuh di Kota Nabi saat itu adalah pada pukul 04.07 waktu setempat. Dengan langkah-langkah penuh semangat dan khidmat, kami pun meninggalkan Al-Haram Hotel yang lokasinya hanya sekitar 100 meter dari masjid, untuk menunaikan shalat subuh di Masjid Nabawi. Selepas melintasi Oberoi Hotel, pintu gerbang untuk jamaah perempuan ketika saat shalat pun telah berada di hadapan jamaah. Jamaah perempuan pun memasuki pintu itu. Sedangkan jamaah laki-laki berbelok ke arah pintu-pintu yang lain.
Begitu menatap Masjid Nabawi, saya segera tersadar, masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi‘ Al-Awwal 1 H/September 622 itu kini tampak sangat cantik dan megah. Apalagi suasana dini hari yang segar membuat hati dan benak saya disergap suasana keagamaan dan selubung misteri ilahiah yang menyelimuti masjid yang didirikan Nabi Muhammad Saw. di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tersebut. Hati dan benak saya tiba-tiba kembali diliputi penuh rasa syukur kepada Allah Swt., juga rasa bahagia tak terkira, hingga tak terasa air mata pun meleleh. Bayang-bayang Rasulullah Saw. dan sederet para sahabat pun hadir satu demi satu di benak saya. Entah kenapa, tiba-tiba saya menunduk sangat malu, karena merasa betapa sangat kecil sumbangan saya terhadap agama yang saya peluk: Islam.
Kemudian, dengan langkah-langkah pelan, saya pun memasuki pelataran masjid seraya merenungkan makna jati diri dan perjalanan hidup saya di dunia yang fana ini. Semakin menyadari pelbagai kedhaifan, kekurangan, dan kekhilafan diri, tak terasa air mata pun semakin tak terbendung dan serasa akan tumpah semuanya. Tiba-tiba sebuah gumam lirih pun terucap, “Ya Allah! Apakah makna kehadiran seorang hamba-Mu yang dhaif ini di tengah “belantara” miliaran umat-Mu? Ya Allah! Karuniakanlah kasih dan cinta-Mu kepada hamba-Mu ini, agar sisa-sisa hidupnya bermakna. Ya Allah! Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasul-Mu!”
Begitu menatap Masjid Nabawi, saya segera tersadar, masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi‘ Al-Awwal 1 H/September 622 itu kini tampak sangat cantik dan megah. Apalagi suasana dini hari yang segar membuat hati dan benak saya disergap suasana keagamaan dan selubung misteri ilahiah yang menyelimuti masjid yang didirikan Nabi Muhammad Saw. di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tersebut. Hati dan benak saya tiba-tiba kembali diliputi penuh rasa syukur kepada Allah Swt., juga rasa bahagia tak terkira, hingga tak terasa air mata pun meleleh. Bayang-bayang Rasulullah Saw. dan sederet para sahabat pun hadir satu demi satu di benak saya. Entah kenapa, tiba-tiba saya menunduk sangat malu, karena merasa betapa sangat kecil sumbangan saya terhadap agama yang saya peluk: Islam.
Kemudian, dengan langkah-langkah pelan, saya pun memasuki pelataran masjid seraya merenungkan makna jati diri dan perjalanan hidup saya di dunia yang fana ini. Semakin menyadari pelbagai kedhaifan, kekurangan, dan kekhilafan diri, tak terasa air mata pun semakin tak terbendung dan serasa akan tumpah semuanya. Tiba-tiba sebuah gumam lirih pun terucap, “Ya Allah! Apakah makna kehadiran seorang hamba-Mu yang dhaif ini di tengah “belantara” miliaran umat-Mu? Ya Allah! Karuniakanlah kasih dan cinta-Mu kepada hamba-Mu ini, agar sisa-sisa hidupnya bermakna. Ya Allah! Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasul-Mu!”
Begitu berada di dalam Masjid Nabawi, jamaah pria Khalifah Tour pun mengambil posisi mereka masing-masing. Saya sendiri mengambil posisi sebuah tempat tidak jauh dari Raudhah yang telah penuh sesak dengan jamaah. Selepas melaksanakan shalat tahiyyat masjid, tak lama kemudian azan subuh pun membahana. Betapa sahdu mendengarkan seruan untuk melaksanakan shalat di Masjid Nabawi yang kini dilengkapi dengan 10 menara dan 27 kubah yang bisa bergerak membuka dan menutup secara otomatis sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengatur sirkulasi udara alami ini menjadi seluas 165.000 meter persegi dengan kapasitas 257.000 jamaah itu. Kemudian, ketika iqamah diserukan, jamaah dari pelbagai bangsa yang memenuhi masjid pun tegak.
Beberapa saat kemudian, Imam pun mulai membaca Surah Al-Fatihah dengan suara yang sangat menyentuh hati. Hati dan benak saya merasa seakan ayat-ayat agung itu sedang dihadapkan kepada diri saya. Kesahduan bacaan secara tartil sang Imam tak terasa membuat air mata saya kembali menetes. Sejak pertama kali menunaikan ibadah di Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi pada 1978, saat shalat dan mendengarkan bacaan Al-Quran imam shalat di kedua masjid itulah yang membuat saya senantiasa tak dapat menahan air mata.
Lantas, ketika Sang Imam membaca Surah Al-Jumuah, “Senantiasa bertasbih kepada Allah, Raja Yang Mahasuci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Al-Sunnah). Dan, sungguh, mereka sebelumnya benar-benar dalam keadaan sangat sesat,” hingga usai membuat saya semakin tak kuasa menahan air mata yang butir demi butir dan tetes demi tetes semakin membasahi kedua pipi saya. Seluruh tubuh terasa gemetar mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Sang Imam dengan sepenuh kesadaran dan penjiwaan. Seakan, ayat-ayat itu sedang ditujukan kepada saya. Dan, tiba-tiba, satu demi satu bayangan orang-orang yang telah sangat berjasa dalam mengantarkan saya dapat menguasai bahasa Al-Quran sehingga saya dapat memahami makna ayat-ayat yang sedang dibacakan Sang Imam: kedua orang tua, K.H. AZ. Dahlan dan Hajjah Mabruroh, K.H. Abu Ammar Kudus, KH. Ali Maksum Yogyakarta, Dr. Maghfur Usman, dan Prof. Dr. Ahmad Shalaby Mesir, memenuhi seluruh benak saya. Seraya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang menyergap seluruh kesadaran, saya pun mendoakan mereka kiranya Allah Swt. menerima amal mereka.
Kemudian, di rakaat kedua, ketika Sang Imam membacakan Surah Al-Taghabun (Hari Ditampakkan Kesalahan-Kesalahan), air mata pun semakin tak terbendung. Deretan dosa, kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang pernah saya lakukan satu demi satu hadir di benak. Tak kuasa menanggung “seluruh bercak dan noda hitam” tersebut, hati dan benak saya, diaminkan oleh seluruh tubuh, pun menjerit dan kemudian berdoa, “Ya Allah! Ampunilah hamba-Mu ini. Hanyalah Engkau Zat yang mengampuni seluruh dosa dan kesalahan. Terimalah permohonan ampun dan maaf hamba-Mu yang dhaif ini!”
No comments:
Post a Comment