Tuesday, December 1, 2009
Sang Sultan pun Dia Lawan
Menulis, menulis, dan menulis ternyata kadang membuat seseorang lupa akan sesuatu yang pernah ia tulis. Itulah yang terjadi pada diri penulis: beberapa hari lalu penulis mencoba men”search” nama diri sendiri. Tiba-tiba di antara deretan informasi yang muncul, ternyata sebuah buku yang pernah penulis tulis telah terbit. Yaitu buku Mutiara Riyâdhush Shâlihîn, sebuah karya besar Imam Al-Nawawi. Ternyata, kitab itu telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung. Seperti diketahui, karya yang satu ini merupakan sebuah kitab yang menyajikan intisari dari hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis terkemuka, seperti halnya Shahîh Al-Bukhârî dan Shahîh Muslim, dan beberapa kitab hadis lainnya. Ada sebuah kepuasan tersendiri ketika saya menerjemahkan dan mengikhtisarkan kitab yang satu. Mengapa? Selain karena karya ini merupakan sebuah karya besar dan utama, juga karena penulis sendiri pernah tiga kali mengikuti pengajian kitab tersebut yang diberikan oleh K.H. Ali Maksum (alm.), sewaktu penulis masih menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta pada tahun-tahun 1972-1975.
Di sisi lain, seperti pernah penulis kemukakan dalam salah satu tulisan di blog ini, setiap kali merenungkan kitab-kitab hadis yang pernah penulis pelajari, penulis kian menyadari bahwa karya-karya tersebut, selain kesahihannya dapat dipertanggungjawabkan, mampu memberikan pencerahan dan kemanfataan kepada umat selama beratus-ratus tahun tidak lepas dari kebeningan dan keikhlasan niat para pengarang kitab-kitab tersebut, di samping integritas akhlak mereka yang luar biasa. Imam Al-Bukhari, misalnya, setiap kali akan menorehkan penanya dalam menulis sebuah hadis, senantiasa mendahuluinya dengan berwudhu terlebih dahulu. Tampaknya hal itu sederhana. Tapi, sejatinya, hal itu mengungkapkan niat yang bersih dan ikhlas dan integritas yang luar biasa. Tidaklah mudah bagi siapa pun untuk berwudhu setiap kali akan menulis sesuatu. Apalagi kala itu dapat dibayangkan air tidak mudah didapat dan listrik belum ada. Imam Al-Ghazali pun, ketika menyusun Kitab Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn selama sembilan tahun, dia menanggalkan jabatan guru besar dengan segala fasilitas luar biasa yang diberikan oleh Nizham Al-Mulk dan menyendiri di lingkungan yang sunyi di Masjid Umawi, Damaskus, dengan hanya memakai lentera kecil. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Al-Nawawi. Tokoh terakhir yang satu ini pun memiliki integritas yang luar biasa.
Siapakah Imam Al-Nawawi yang penyusun karya besar yang satu ini?
Ulama terkemuka pada abad ke-7 H/13 M ini bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf bin Murri bin Al-Hasan bin Al-Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jum‘ah Al-Nawawi Al-Syafi‘i. Ia lahir pada Ahad, 10 Muharram 631 H yang bertepatan dengan 16 Oktober 1233 M di Nawa, Jawlan di selatan Damaskus, Suriah. Pada 649 H/1251 M, setelah memperdalam berbagai ilmu keislaman, Al-Nawawi muda pun menapakkan kakinya menuju Damaskus. Di kota yang pernah menjadi ibukota Dinasti Umawiah ini, karena keluasan ilmu dan wawasannya, ia diangkat sebagai staf pengajar Perguruan Dar Al-Hadits Al-Asyrafiyah.
Beberapa tahun selepas itu, terjadi sebuah peristiwa yang menarik yang melibatkan diri ulama yang satu ini. Kejadiannya adalah sebagai berikut:
Saat itu pertengahan tahun-tahun 1250-an M. Kala itu, gerak maju pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan, dalam upaya menguasai dunia Islam, seakan tak terbendung lagi. Satu demi satu pelbagai wilayah dunia Islam kala itu jatuh tak berdaya sama sekali dalam cengkeraman pasukan yang terkenal sangat ganas dan brutal di bawah pimpinan putra Tului Khan dan cucu Jengis Khan itu, yang mendapat perintah dari Mangu, saudaranya yang menjabat Khan Besar, untuk melibas dunia Islam. Pada Januari 1256 M pasukan Mongol di bawah komando sang jenderal mulai menyeberangi Sungai Oxus (Amu-Darya). Setelah merontokkan Benteng Alamut, yang menjadi pusat pertahanan sangat tangguh kelompok Hasysyâsyûn (dalam khazanah ilmiah barat disebut kelompok Assasins) yang sangat ditakuti kala itu, pada awal 1258 M pasukan yang terkenal sangat garang dan kejam itu mulai mengepung Baghdad Dar Al-Salam. Akhirnya, kota yang dibangun Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti Abbasiyyah, itu pun diluluhlantakkan pada Ahad, 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M dan penguasa Dinasti Abbasiyyah kala itu, Al-Mu‘tashim, dibunuh.
Kejatuhan Baghdad Dar Al-Salam dengan korban kaum Muslim yang sangat besar, membuat seorang panglima militer Dinasti Saljuq (kelak akan menjadi seorang sultan), termangu dan sangat masygul. Panglima yang satu ini lahir pada 620 H/1223 M, sebagai seorang mamlûk (yang berarti budak, tapi kemudian menjadi nama dinasti), asal Kipchak, Kaukasus, wilayah pegunungan di perbatasan Rusia dan Turki. Kala masih kecil, ia dijual dengan harga murah bersama para budak dan direkrut Al-Malik Al-Shalih (karena itu mendapat sebutan Al-Shalihi) dari Dinasti Ayyubiah di Mesir, untuk diberi pendidikan militer dan dijadikan sebagai pengawal sultan karena mereka dikenal gagah dan kuat. Mereka diberi kedudukan sehingga kedudukan mereka meningkat. Akhirnya, mereka memberontak dan mendirikan Dinasti Mamluk. Sang mamluk yang satu itu sendiri, yang menjadi salah seorang saksi tegaknya Dinasti Mamluk pertama, atau Dinasti Mamluk Bahriah, mulai kariernya dari bawah. Kala Al-Malik Al-Muzhaffar Quthuz berkuasa, ia diangkat sebagai atabeg para serdadu. Namanya mulai berpendar dalam Perang Salib, karena ia berhasil menangkap Raja Louis IX dari Prancis. Selain itu, ia ikut bertanggung jawab dalam peristiwa terbunuhnya Turan Syah, penguasa dari Dinasti Ayyubiyyah.
Selepas merenung, merenung, dan merenung, sang panglima akhirnya menyadari, tidaklah mudah untuk menghadang gerak maju pasukan Mongol di bawah pimpinan Jenderal Hulagu Khan itu. Maka, selepas mendapat masukan-masukan dari pelbagai pihak, tokoh militer yang juga terkenal sebagai seorang yang saleh dan dikenal sangat ketat menjaga syariah itu mengundang seorang ulama di Damaskus. Sang panglima mengharapkan, kiranya sang ulama berkenan menggunakan seluruh pengaruhnya terhadap masyarakat luas untuk mendanai sang panglima dalam upayanya menghadang gerak maju pasukan Mongol yang mulai mengarahkan geraknya menuju Suriah dalam perjalanan untuk menaklukkan Mesir.
Menerima permintaan demikian, ulama dengan kepribadian yang penuh integritas itu memberi nasihat seperti adanya kepada sang panglima, “Wahai panglima! Dulu, Anda budak belian. Sekarang, Anda panglima. Kini, Anda memiliki tidak kurang dari 1.000 budak, yang masing-masing Anda lengkapi dengan pelbagai pakaian kebesaran, untuk kemegahan Anda, penuh bertabur emas. Anda juga mempunyai 100 dayang. Sekujur badan mereka penuh pula dengan hiasan emas dan permata. Kalau Anda bersedia menanggalkan pakaian emas 1.000 budak dan 100 dayang itu, menggantinya dengan baju biasa, selama perang ini, saya akan mempergunakan pengaruh saya kepada rakyat supaya mereka berkorban!”
Akibatnya, sang panglima yang sangat menyukai olah raga polo itu murka dan mengusir sang ulama dari Damaskus. Dan, selepas pertemuan antara sang ulama dengan sang panglima tersebut, baliklah sang ulama yang satu ini ke desa kelahirannya dan menetap di sana sampai berpulang ke hadirat Allah pada Rabu malam, 24 Rajab 676 H/22 Desember 1277 M dalam usia sekitar 45 tahun, dengan meninggalkan sederet karya tulis. Antara lain Raudhah Al-Thâlibîn, Al-Minhâj, Daqâ’iq Al-Minhâj, Al-Manâsik Al-Sughrâ, Al-Isyârât li Bayân Asmâ’ Al-Mubhimât, Al-Tibyân, Al-Adzkâr, Al-Fatâwâ, Tahdzîb Al-Asmâ’ wa Al-Lughah, Syarh Shahîh Muslim, Al-Arba‘ûn Hadîtsan, di samping karya terkenalnya Riyâdh Al-Shâlihîn. Jenazah ulama yang terkenal sangat teliti dan cermat serta tidak meninggalkan keturunan ini dimakamkan di rumah ayahandanya dan kuburnya masih terpelihara hingga kini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment