Thursday, December 17, 2009

Sekali Lagi tentang Tahun Hijriah


Tak terasa, mulai esok hari kita akan menapaki tahun baru kaum Muslim, yaitu Tahun Hijriah. Menurut torehan sejarah Islam, penanggalan dalam Islam yang menjadikan tahun peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw. ke Madinah sebagai tahun pertama ini mulai diberlakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin Al-Khaththab, khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. Kala itu, kawasan Islam kian membentang luas. Akibatnya, urusan administrasi kenegaraan pun kian memerlukan penanganan yang lebih teratur.

Beberapa tahun selepas menerima amanah kekhalifahan itu, ‘Umar bin Al-Khaththab pun mengadakan permusyawaratan dengan sejeumlah sahabat terkemuka, untuk membicarakan penentuan awal hitungan tahun Islam. Dalam pertemuan itu (yang terjadi pada 17 H/628 M. Ada juga yang menyatakan, peristiwa itu terjadi pada tahun ke-16 H atau 18 H) akhirnya mereka menerima usul ‘Ali bin Abu Thalib yang mengambil peristiwa hijrah Nabi Saw. sebagai awal hitungan penanggalan Islam (tahunnya saja, bukan bulan dan tahunnya). Menurut catatan sejarah, di antara para pakar tiada kesepakatan tentang tanggal yang pasti tentang kedatangan beliau ke Madinah. Namun, yang banyak diikuti adalah yang menyatakan bahwa kedatangan beliau ke kota itu pada Jumat, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H. Hari Senin sebelumnya, 8 Rabi‘ Al-Awwal, beliau tiba di Quba’ dan mendirikan sebuah masjid di sana. Tanggal 12 Rabi‘ Al-Awwal itu bertepatan dengan 24 September 622 M.

Mungkin, di sini timbul pertanyaan: mengapa peristiwa Hijrah Rasul Saw. itu yang dipilih sebagai patokan? Ini karena peristiwa itu merupakan titik terang perkembangan Islam. Lagi pula, dalam peristiwa itu terkandung banyak nilai yang diperlukan kaum Muslim dalam menapaki kehidupan dunia dan akhirat.

Di sini mungkin timbul pertanyaan lain: akuratkah Tahun Hijriah yang didasarkan pada peredaran Bulan mengelingi Bumi (Qamariyyah)? Menurut Prof. Dr. Thomas Jamaluddin (seorang profesor peneliti di LAPAN, Indonesia), dalam sebuah tulisannya yang menarik, memang benar perhitungan Tahun Hijriah didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam hal ini perlu diketahui, yang digunakan adalah kala edar sinodis yang lamanya 29,53059 hari. Sehingga, dalam satu bulan ada 29 atau 30 hari. Selain itu juga disepakati, bulan-bulan ganjil sebagai berikut: 1 (Muharram), 3 (Rabi‘ Al-Awwal), 5 (Jumada Al-Ula), 7 (Rajab), 9 (Ramadhan), dan 11 (Dzulqa‘dah) mempunyai 30 hari. Sedangkan bulan-bulan genap: 2 (Shafar), 4 (Rabi‘ Al-Akhir), 6 (Jumada Al-Tsaniyyah), 8 (Sya‘ban), 10 (Syawwal), dan 12 (Dzulhijjah) mempunyai 29 hari. Hal ini berarti dalam 12 bulan terdapat 354 hari. Dengan kata lain, lebih pendek 11 hari daripada Tahun Matahari (Syamsiyyah). Tetapi, sebenarnya setelah 354 hari bulan kembali ke fase bulan baru. Dua belas lunasi (kedatangan bulan baru) sebenarnya terdiri dari 354,36708 hari. Kelebihan 0,36708 hari itu bila dijumlahkan dalam 30 tahun kira-kira menjadi 11 hari. Karena itu, agar hitungan tahun dan lunasi sebenarnya sesuai, perlu ditambahkan 11 hari dalam 30 tahun itu. Ini berarti harus ada 11 tahun kabisat yang mempunyai 355 hari. Satu hari tambahan ini diberikan pada bulan terakhir, Dzulhijjah, sehingga mengandung 30 hari. Aturan untuk menentukan tahun kabisat ditentukan dengan membagi angka Tahun Hijriah dengan 30. Tahun kabisat bila sisa pembagian itu: 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29. Dengan aturan-aturan seperti itu, dalam 30 tahun mengandung 10.631 hari. Sedangkan lunasi sebenarnya selama 30 tahun (360 lunasi) adalah 10.631,0124 hari. Jadi, perbedaannya dalam 30 tahun hanya 0,0124 hari. Ini berarti lunasi sebenarnya dan hitungan Tahun Hijriah akan berbeda 1 hari setelah 2419 tahun (= 1/0,0124 x 30 tahun).

Dengan kata lain, kalender Hijriah memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Dan, dengan datangnya tahun baru 1431 H, penulis mengucapkan, “Selamat Tahun Baru Hijriah, kiranya Allah Swt. senantiasa memberkahi dan meridhai langkah-langkah kita dalam menapaki tahun 1431 H. Amiin”.

No comments: