Tuesday, December 15, 2009

"Bintang dari Timur"


Thala’al badru ‘alainâ
Min Tsaniyyatil Wadâ’
Wajabasy-syukru ‘alainâ
Mâ da’â lillahi dâ’


“Mas, itu suara Ummu Kultsum, ya?” tanya istri penulis tadi pagi, selepas melaksanakan shalat subuh, ketika mendengar lagu indah dari album “Al-Tsulatsiyyah Al-Muqaddasah” dari laptop penulis yang penulis sambungkan ke sebuah tape compo.
“Ya, kenapa?” jawab penulis. Penasaran.
“Lagu itu kok menggetarkan hati saya…” jawab istri penulis. “Lagu itu indah sekali. Apalagi diiringi orkestra. Bolehkah lagu itu saya pakai untuk mengiringi sebuah acara yang akan digelar 1 Muharram nanti?”

“Alhamdulillah…”, gumam pelan penulis karena mendengar ucapan dia yang demikian. Tidak biasanya dia menyenangi lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum. Karena itu, tentu saja, penulis segera mengizinkan. Selain mengizinkan, penulis merasa lega. Mengapa? Ini karena biasanya dia begitu antipati terhadap lagu-lagu Ummu Kultsum, seorang penyanyi tenar asal Mesir yang penulis gandrungi. Dia pun sejatinya sangat hapal, setiap hari selepas melaksanakan shalat subuh hingga malam hari, penulis senantiasa menulis dengan diiringi oleh bacaan al-Qur’an murattal oleh seorang qari’ kesohor asal Kuwait, Mishari bin Rashid Al-‘Afashi, atau lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum, atau lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ebeit G. Ade. Walau acap mendengarkan lagu-lagu Ummu Kultsum, entah kenapa, hingga kini dia tetap antipati terhadap lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum, kecuali dua lagu: Wulid Al-Hudâ dan Al-Tsulâtsiyyah Al-Muqaddasah (yang berisi lagu yang dia dengarkan tadi pagi).

Memang, merupakan kebiasaan penulis, ketika sedang menulis atau membaca buku, senantiasa diiringi bacaan Al-Qur’an atau lagu-lagu. Kebiasaan itu telah tumbuh semenjak penulis menimba ilmu di Yogyakarta antara 1972-1977. Kemudian, ketika penulis menimba ilmu di Mesir antara 1978-1984, kegemaran mendengarkan bacaan Al-Qur’an kian membuncah. Kala itu, pemerintah Mesir (lewat Radio Mesir, Shaut Al-Qahirah) menyediakan satu channel khusus selama 24 jam untuk program Al-Qur’an. Selain mendengarkan bacaan Al-Qur’an, kesenangan penulis mendengarkan lagu-lagu kian membara karena hampir setiap hari senantiasa mendengarkan lagu-lagu yang disiarkan oleh Shaut Al-Qahirah sepanjang 24 jam. Sejak itulah, penulis mulai menggandrungi lagu-lagu yang disenandungkan oleh Ummu Kultsum. Kegandrungan itu, ternyata, tidak pernah sirna hingga dewasa. Siapakah Ummu Kultsum? Bagaimanakah perjalanan hidupnya?

Menurut catatan yang ada, penyanyi, penulis lagu, dan aktris tenar asal Mesir ini lahir pada Rabu, 18 Shafar 1322 H/4 Mei 1904 M di Soumale, dekat Tammay Al-Zahayra, Sembellawein, Daqahliyyah, Mesir. Tanggal kelahiran putri pasangan suami-istri Syaikh Ibrahim Al-Sayyid Al-Baltaji dan Fatma Ibrahim Al-Baltaji ini ada beberapa versi. Pemerintah Mesir pun memberikan dua tanggal lahir: Sabtu, 17 Rajab 1316 H/31 Desember 1898 M dan Sabtu, 23 Syawwal 1322 H/31 Desember 1904 M. Sejak kecil, penyanyi yang mendapatkan sebutan “Kaukab Al-Syarq” (Bintang dari Timur) ini telah menunjukkan bakat menyanyinya yang menonjol. Segera, bakat itu “tercium “ oleh seorang pemetik ‘ûd (kecapi Arab) tenar di Kairo kala itu, Zakariyya Ahmad, yang bermaksud mengundang Ummu Kultsum ke Kairo. Tapi, undangan ke Kairo itu baru diterima Ummu Kultsum pada 1341 H/1923 M. Itu pun dari seorang pemetik ‘ûd lain, yaitu Amin Beik Al-Mahdi. Pemetik ‘ûd terakhir itulah yang mengenalkan Ummu Kultsum ke lingkungan budaya di Kairo.

Segera, penyanyi yang suaranya dikagumi pula oleh Maria Callas, Jean-Paul Sartre, Marie Laforêt, Salvador Dalí, Nico Bono, dan Led Zeppelin ini berkenalan dengan Ahmad Rami, seorang penyair terkemuka Mesir yang kelak akan menggubah 137 lagu untuk sang penyanyi. Tidak hanya itu. Ahmad Rami juga “mengenalkan’ kepadanya sastra Perancis (yang pernah ia kaji selama menjadi mahasiswa di Universitas Sorbonne, Paris) dan sastra Arab. Selain itu, ia juga dikenalkan dengan seorang virtuoso dan komposer, Muhammad Al-Qasabji. Sang komposer itulah yang mengenalkan Ummu Kultsum dengan Istana Teater Arab. Begitu penampilan pertamanya di istana itu berhasil, pada 1351 H/1932 M dan atas dukungan Al-Qasabji, namanya pun menjadi tenar. Sehingga, tak lama kemudian pelbagai undangan untuk tampil datang dari pelbagai kota di Dunia Arab: Damaskus, Baghdad, Beirut, dan Tripoli. Kemudian, pada 1371 H/1952 M, ketika di negerinya terjadi perubahan rezim pemerintahan dan Gamal Abdel Nasser naik ke pentas kekuasaan, penyanyi yang banyak di antara lagu-lagunya digubah oleh Zakariyya Ahmad, Bairam Al-Tunsi, Riyadh Al-Sunbathi, dan Ahmad Syauqi ini pernah sempat dilarang tampil. Tapi, segera larangan itu dicabut, karena rezim itu menyadari pengaruh penyanyi yang memiliki ciri khas: dua atau tiga lagu ia senandungkan selama sekitar enam jam (selepas memasuki masa lanjut usia, lama lagu-lagunya diperpendek menjadi selama sekitar dua atau tiga jam).

Sejak 1387 H/1967 M, istri Dr. Hassan Al-Hafnawi, seorang dokter penyakit kulit, ini menderita radang ginjal (nephritis). Penyanyi yang, meminjam ungkapan Virginia Danielson dalam Harvard Magazine, “memiliki keindahan suara seperti suara Joan Sutherland atau Ella Fitzgerald, daya pikat terhadap publik seperti daya pikat yang dimiliki Eleanor Rosevelt, dan para penggemar seperti para penggemar Elvis Presley” ini berpulang di Kairo pada Senin, 21 Muharram 1395 H/3 Februari 1975 M. Lagu-lagunya, antara lain, adalah Aghadan Alqâk, Alf Lailah wa Lailah, Arûh li Min, Al-Athlâl, Amal Hayâti, Ba‘îd ‘Annak, Al-Hub Kulluh, Inta Al-Hub, Inta ‘Umrî, Hâdzihi Lailatî, Hadîts Al-Rûh, dan Wulid Al-Hudâ.

Penulis sendiri tidak tahu, kenapa menggandrungi lagu-lagu Ummu Kultsum. Terutama dua lagunya, Wulid Al-Hudâ dan Al-Tsulâtsiyyah Al-Muqaddasah. Karena hati penulis begitu tergetar ketika mendengarkan lagu Wulid Al-Hudâ, yang digubah oleh seorang penyair terkemuka Mesir, Ahmad Syauqi (1287-1351 H/1870-1932 M), lagu itu pun penulis jadikan sebagai kutipan pembuka sebuah karya penulis, Muhammad Sang Kekasih, yang diterbitkan oleh Penerbit Mizania, Bandung. Kutipan pembuka indah itu adalah sebagai berikut:

Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u

Telah lahir Sang Nabi, pembawa petunjuk nan cemerlang
Semesta alam pun berpendar sangat benderang
Mulut zaman tiada henti dan senantiasa menggemakan
Senyuman, pujian, serta sanjungan

Jibril dan para malaikat pun mengitarinya senantiasa
Karena berita gembira ‘tuk agama dan dunia sertai kelahirannya
‘Arasy bangga dan surga tak kalah ceria
Sidrah Al-Muntaha dan Mutiara Putih pun berdendang ria

No comments: