Sunday, March 7, 2010
Andai Tragedi 1258 M Tak Terjadi
Tadi pagi, ketika membaca tulisan Mustafa Abdurrahman tentang pemilu di Irak, “Pemilu Mengandalkan Isu Non-Agama”, (Kompas, 7 Maret 2010 M), entah kenapa tiba-tiba saya menarik napas panjang. Ya, menarik napas panjang. Bukan karena persoalan pemilu di Irak itu. Tapi, karena tiba-tiba teringat kembali tragedi yang pernah menimpa Baghdad pada 656 H/1258 M. Suatu tragedi yang menelan jutaan manusia dan menghancurkan khazanah budaya yang sangat kaya. Bagaimanakah kisah tragedi itu?
Suatu hari, Baghdad Darussalam bermuram durja. Seorang khalifah yang memerintah kala itu meninggal dunia. Ia kemudian digantikan putranya, Abu Ahmad ‘Abdullah. Selepas menjabat khalifah, Abu Ahmad 'Abdullah bergelar Al-Mu‘tashim Billah. Mungkin, ketika mulai menjabat khalifah, Abu Ahmad 'Abdullah tak mempunyai firasat bahwa ia adalah khalifah terakhir Dinasti ‘Abbasiyyah dan menjadi saksi keruntuhan Baghdad Darussalam, salah satu pusat kebuadayaan kala itu. Sebuah kota yang dibangun Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa ke-2 dinasti itu, pada 145 H/762 M.
Ketika Al-Mu‘tashim Billah mulai bertugas sebagai khalifah, nun jauh di Asia Tengah sedang marak kembali suatu kekuatan yang membuat gentar seluruh penghuni bumi kala itu. Suatu kekuatan berkuda jempolan yang mampu bergulir cepat laksana air bah dan tak mengenal perikemanusiaan. Nasib malang dan memilukan senantiasa menimpa kawasan yang mereka duduki.
Pada 615 H/1218 M, pasukan itu melabrak kawasan-kawasan Transoxiana, Khurasan, dan Persia. Lebih dari sejuta serdadu yang ganas itu memorakporandakan negeri-negeri yang kala itu memiliki kebudayaan yang tinggi. Dua tahun kemudian, giliran Urganj yang diserbu. Bumi hangus dan genosida mewarnai kota itu. Kota itu mereka lumatkan dengan membobol dam-dam Oxus. Di Nessa, mereka memanggang 70.000 anak manusia. Nishapur, ibukota Dinasti Thahiriyyah kala itu, menerima gilirannya pada Shafar 618 H/April 1221 M. Kota itu digilas dan diratakan dengan tanah. Kemudian, seluruh penjuru kota itu dihampari onggokan jerami. Api pun dinyalakan dan bara api pun membakar kota itu selama berhari-hari. Menurut catatan Mirkhond, seorang sejarawan yang mengikuti gerak pasukan itu, pesta api yang membakar kota itu menelan korban “hanya” sekitar 1.747.000 orang. Duh…
Selanjutnya, gerak pasukan itu menuju Herat. Di sini, pembantaian terhadap anak-anak manusia terulang kembali. Sekitar 1.600.000 anak manusia dibunuh. Namun, kala pasukan itu bergerak ke Baghdad, Al-Mustanshir, khalifah yang digantikan Abu Ahmad, yang bergelar Al-Mu‘tashim Billah, berhasil memukul mundur pasukan ganas itu. Kesempatan untuk membalas dendam baru muncul pada masa pemerintahan Al-Mu‘tashim Billah yang kurang mampu memegang kendali pemerintahan. Berbagai pergolakan dan kegoncangan mewarnai masa pemerintahannya. Mungkin karena tak tahan melihat keadaan yang demikian, seorang menteri sang khalifah mengundang pasukan Tartar itu agar datang ke Baghdad. “Pengkhianat,” demikian komentar Ibn Khaldun, Abu Al-Fida’, Al-Maqrizi, dan Al-Sayuthi tentang tindakan sang menteri.
Undangan tak terduga itu diterima Hulagu Khan, wakil panglima pasukan Tartar dan saudara lelaki Kaisar Mangu Khan. Kala itu, ia sedang berada di Persia. Ia pun segera menggerakkan pasukannya menuju Tabriz. Dari kota itu, ia mengirim sepucuk surat kepada Al-Mu‘tashim Billah. Tulis Hulagu Khan, “Ketika kami bertempur melawan Rudwar, kami meminta bantuan kepada Anda. Anda kala itu berjanji akan mengirimkan bala bantuan. Kenyataannya, bala bantuan itu tak kunjung tiba. Kini, kami meminta Anda agar memperbaiki perilaku Anda. Anda jangan bertingkah, karena taruhannya adalah kerajaan dan harta karun Anda!”
Al-Mu‘tashim Billah melawan. Amarah Hulagu Khan pun membara. Selepas Baghdad dikepung selama sekitar 40 hari, kota itu akhirnya bertekuk lutut. Sulit diuraikan tindakan brutal dan ganas apa yang dilakukan Hulagu Khan dan pasukannya kala kota itu jatuh ke tangan mereka pada Ahad, 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M. “Penghancuran Baghdad oleh Hulagu memerlukan pena seorang pakar seperti halnya Edward Gibbon,” begitu tulis Ameer Ali dalam A Short History of the Saraccens tentang tragedi Bagdad itu.
Banyak analisis telah disajikan tentang kejatuhan Baghdad lama itu. Kerap dikemukakan, kejatuhan kota itu di tangan pasukan Tartar merupakan awal kemunduran kaum Muslim. Saya sendiri kerap merenung, andai tragedi itu tak terjadi, apa yang akan terjadi? Akankah Dunia Islam dan kaum Muslim tidak akan mengalami kemunduran? Akankah “harta karun” ilmu pengetahuan yang dibakar dan dibuang ke Sungai Eufrat dan Tigris akan tetap ditelaah dan dikaji orang? Akankah…, akankah…, dan akankah…? Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
pernahkah anda bertanya " mengapa Hulagu Khan jauh2 datang ke Baghdad yang berjarak sekitar 4000km?" apakah pernah anda melihat lebih kedalam, dalam hal ini latar belakang Hulagu Khan menyerang dan meratakan Baghdad yang anda bilang kaya raya? jikalau harta yang anda akan kemukakan...negeri diperbatasan mereka itu pun bisa mereka serang (China), tidak perlu jauh2 ke Baghdad.
Post a Comment