Tuesday, January 11, 2011
Harun Al-Rasyid pun Menyesal Menjadi Penguasa
“Mas, kenapa sih kini kian banyak orang-orang yang ingin menjadi pejabat dan penguasa?” tanya seorang sahabat kepada penulis beberapa hari yang lalu dan sedang menikmati perjalanan di Jawa Tengah. “Apa mereka tidak ingat, sejatinya menjadi seorang penguasa sangat berat tanggung jawabnya. Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Lihatlah jalan-jalan yang penuh lubang itu, apakah mereka mengira di akhirat kelak mereka tak akan dimintai pertanggungjawaban?”
“Entahlah, mungkin bagi mereka menjadi pejabat atau penguasa bebas dari tanggung jawab dan mereka dapat bertindak sesuka hati mereka. Barangkali, bagi mereka, jabatan merupakan “kemewahan” yang semenjak lama mereka dambakan,” jawab penulis sembari “menikmati” pelbagai baliho dan spanduk besar yang bertebaran di pelbagai sudut Provinsi Jawa Tengah itu.
Usai memberikan jawaban demikian, entah kenapa tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” ke Baghdad, Irak dan teringat kisah penyesalan Harun Al-Rasyid menjadi seorang khalifah:
Suatu malam Harun Al-Rasyid, penguasa ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak, memanggil Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, seorang menteri besar Dinasti ‘Abbasiyyah kala itu, dan berucap kepadanya, “Wahai Al-Rabi‘! Malam ini, bawalah aku kepada seseorang yang kuasa menunjukkan kepadaku siapakah sejatinya aku ini. Entah kenapa, kini aku merasa jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan yang telah kurengkuh dan kunikmati selama ini!”
Menerima perintah demikian, Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus lantas membawa Harun Al-Rasyid ke rumah Sufyan bin ‘Uyainah. Mendengar seseorang mengetuk pintu, Sufyan bin ‘Uyainah menyahut, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Mengapakah Amir Al-Mukminin menyusahkan diri? Mengapa tak dikabarkan saja kepada saya, sehingga saya datang sendiri untuk menghadap?”
Mendengar ucapan tersebut, Harun Al-Rasyid pun berucap, “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun penjilat seperti yang lain-lainnya.”
“Bila demikian, wahai Amir Al-Mukminin,” sergah Sufyan bin ‘Uyainah, “Al-Fudhail bin ‘Iyadh adalah orang yang engkau cari. Marilah kita pergi menemuinya.”
Usai berucap demikian, Sufyan bin ‘Uyainah kemudian membaca ayat Al-Quran, “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan saleh?”
Harun Al-Rasyid pun menimpali, “Andai aku menginginkan nasihat yang baik, tentu ayat itu mencukupi bagiku.”
Mereka lantas menuju ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Ketika mereka tiba di rumah Al-Fudhail, mereka lantas mengetuk pintu. Mendengar ketukan di pintu rumahnya, Al-Fudhail bertanya dari dalam, “Siapakah di luar?”
“Amir Al-Mukminin!” seru Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus dengan suara baritonnya yang menggelegar.
“Apakah urusan dia dengan aku dan urusan aku dengan dia?” tanya Al-Fudhail.
“Fudhail! Bukankah merupakan kewajiban setiap rakyat untuk mematuhi pemegang kekuasaan?” seru kembali Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Janganlah kalian mengganggu aku!” jawab Al-Fudhail. Sangat ketus.
“Haruskah aku mendobrak pintu dengan kekuasaan yang aku pegang atau dengan perintah Amir Al-Mukminin?” sahut Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.
“Tiada sesuatu pun yang disebut kekuasaan!” ucap Al-Fudhail. “Jika engkau dengan paksa mendobrak masuk, tahukah apa yang harus engkau lakukan?”
Tanpa meminta izin, Harun Al-Rasyid kemudian masuk ke dalam rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Begitu melihat sang penguasa, Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar ia tak dapat melihat wajah sang penguasa. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya. Al-Fudhail pun menerima uluran tangan itu dan kemudian berucap, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!”
“Wahai Guru! Berilah aku nasihat,” ucap Harun Al-Rasyid dengan suara pelan.
“Harun!” ucap Al-Fudhail, “leluhurmu, pamanda Rasulullah Saw. (maksudnya Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada beliau agar ia dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban beliau? Jawab beliau, ‘Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?’ Dengan jawaban itu Rasul Saw. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasul Saw. menambahkan, ‘Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di hari kebangkitan kelak.’”
“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid. Tetap dengan suara pelan.
“Ketika diangkat sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. Ucap ‘Umar kepada mereka, ‘Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan yang tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.’ Sahut Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah, “Wahai Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap Muslim yang muda usia laksana saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.’”
“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta lagi Harun Al-Rasyid.
“Harun!” ucap Al-Fudhail. “Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah lebih lanjut berucap, ‘Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu.’ Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak, karena di hari kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak ia akan menarik-narik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!”
“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu Hamzah Muhammad bin Ka‘b kemudian tampil memberikan nasihat, “Wahai Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian yang diwajibkan atas diri kita. Andai pada dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatmu berbuka.’”
“Wahai Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, ‘Wahai Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tak menyukai sesuatu itu. Dengan demikian, engkau menyelamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.’”
Mendengar nasihat dan petuah demikian, Harun Al-Rasyid pun tak kuasa menahan lelehan air matanya dan termenung lama. Dan, ia pun sangat menyesali kedudukan dirinya sebagai penguasa!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment