Tuesday, January 18, 2011
Mengingatkan Sahabat yang Penguasa
Tadi pagi, Selasa 18 Januari 2011, ketika membuka dan menyimak pelbagai berita di koran dan internet, tentang pertemuan antara presiden negeri tercinta dan sejumlah tokoh lintas agama, entah kenapa tiba-tiba penulis teringat kisah indah berikut:
Nasihat, nasihat, dan nasihat, itulah yang kini diharapkan Abu Ja‘far Al-Manshur selepas menjadi orang nomor satu Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Segera, sebuah nama membersit dalam benaknya. Betapa ia kini ingin bertemu dengan seorang sahabat akrabnya kala masih remaja itu. Sahabatnya yang pernah menimba ilmu bersamanya itu kini telah menjadi seorang ulama, ahli ilmu kalam, dan orator terkemuka Bashrah. Karena itu, penguasa kedua Dinasti ‘Abbasiyyah itu pun segera mengirim utusan untuk mengundang ulama terkemuka dan mufti Bashrah bernama lengkap ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab Al-Taimi ke Baghdad Dar Al-Salam.
“Apa sejatinya yang diinginkan penguasa itu?” gumam ulama berdarah Persia dan lahir pada 80 H/700 M itu kala menerima undangan itu. “Bukankah aku kini jauh darinya. Lagi pula, selepas ia memegang tampuk pemerintahan, aku kini tak ingin mengunjunginya. Memang, dahulu ia adalah seorang sahabat karibku. Allah Maha Mengetahui, selama ini aku senantiasa berusaha menjauhi para penguasa laksana seseorang yang senantiasa menjauhi penderita penyakit kudis. Memang, mendekati mereka juga memiliki dampak positif. Karena, lewat kunjungan itu, dosa-dosa mereka dapat diredam manakala mereka mau melaksanakan nasihat dan kritik yang dikemukakan kepada mereka.”
Akhirnya, ‘Amr bin ‘Ubaid memutuskan akan menemui Abu Ja‘far Al-Manshur. Menurut pengamatannya, sahabatnya yang satu itu kini telah berubah menjadi seorang penguasa otoriter, karena seluruh sikap dan tindakannya hanya untuk memantapkan dan melanggengkan kekuasaan yang kini dalam genggaman tangannya. Ia merasa berkewajiban mengingatkan sahabatnya itu dan tak memedulikan akibatnya.
Setibanya ‘Amr bin ‘Ubaid di istana nan megah dan mewah yang didirikan Abu Ja‘far Al-Manshur di Baghdad Dar Al-Salam, ia pun disambut dengan penuh keakraban dan penghormatan oleh sahabatnya itu. Dan, selepas berbagi sapa beberapa lama, sang penguasa pun berucap kepadanya, “Wahai Abu ‘Utsman! Berilah aku nasihat.”
‘Amr bin ‘Ubaid pun menatap lama wajah sang penguasa, dengan tatapan yang mengungkapkan segenap penentangan dan pengingkaran yang bergelora dalam hatinya. Namun, perasaannya itu kemudian ia redam dengan ketenangan dan kesejukan yang berpendar dari wajahnya. Akhirnya, ia menjawab dengan ucapan basmalah dan firman Allah Swt., “Apakah engkau tak memerhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap kaum ‘Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan tinggi menjulang yang (kota di mana pun) belum pernah dibangun seperti itu di negeri-negeri lain. (Juga, terhadap) kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir‘aun yang sewenang-wenang di negerinya. Lalu, mereka berbuat banyak kerusakan di negeri itu. Karena itu, Tuhanmu pun menimpakan kepada mereka azab yang pedih. Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS Al-Fajr [89]: 6-14)
‘Amr bin ‘Ubaid mengulang-ulang firman Allah Swt. itu, dengan tujuan mengingatkan sahabatnya yang kini suka bertindak sewenang-wenang itu. Mendengar firman Allah Swt. yang diulang-ulang itu, akhirnya Abu Ja‘far Al-Manshur memahami arah maksud sahabatnya yang ulama itu. Ia pun tak kuasa menahan lelehan air matanya. Melihat keadaan sang penguasa yang demikian itu, ‘Amr bin ‘Ubaid lantas berucap kepadanya. “Wahai Amir Al-Mukminin! Sungguh, Allah Swt. telah menganugerahkan dunia seluruhnya kepadamu. Karena itu, belilah dirimu dengan sebagian dunia itu. Ketahuilah, apa yang kini engkau raih itu dulunya milik orang lain. Lantas, ia diserahkan kepadamu. Demikian pula kelak ia akan berlalu darimu dan beralih kepada orang selepas dirimu. Aku ingatkan engkau, simaklah malam yang memunculkan pagi. Itulah pertanda kiamat!”
“Wahai Abu ‘Utsman!” sergah seseorang yang hadir dalam pertemuan itu. “Ringankanlah beban Amir Al-Mukminin! Ucapanmu itu membuat kian berat beban yang disangganya!”
“Siapa engkau?” sahut ‘Amr bin ‘Ubaid seraya menatap tajam wajah orang itu.
“Apa engkau tak mengenalnya, wahai Abu ‘Utsman?” tanya Abu Ja‘far Al-Manshur.
“Tidak! Aku tak peduli, apakah aku mengenalnya atau tidak!”
“Ia adalah sahabatmu, Sulaiman bin Majalid!”
Mendengar nama itu disebut, ‘Amr bin ‘Ubaid pun berucap dengan nada ketus, “Celaka engkau, Sulaiman! Engkau merasa sedih mendengar nasihatku kepada Amir Al-Mukminin! Lantas, engkau berusaha menghalang-halangi antara dia dan orang yang menasihatinya. Wahai Amir Al-Mukminin! Orang seperti inilah yang menjadikan dirimu sebagai tangga untuk merengkuh nafsunya. Engkau tak ubah orang yang mengambil dua ekor domba bertanduk. Sedangkan orang-orang selainmu yang memeras susunya. Takutlah kepada Allah Swt.! Karena engkau akan menjadi mayat sendirian, dihisab sendirian, dan dibangkitkan dari alam kubur sendirian. Mereka sedikit pun tak kuasa memberikan pertolongan kepadamu di saat menghadap Allah Swt.!”
“Wahai Abu ‘Utsman,” sergah Abu Ja‘far Al-Manshur. “Aku hanya mengangkat sahabat-sahabatmu saja sebagai para pembantuku. Aku ingin menolong mereka. Bukan yang lain.”
“Wahai Amir Al-Mukminin!” sahut ‘Amr bin ‘Ubaid. “Tegakkan kebenaran, tentu engkau akan mendapatkan pengikut dari kalangan para pejuang kebenaran!”
Usai berucap demikian, ‘Amr bin ‘Ubaid kemudian melihat seorang anak muda yang mengenakan pelbagai atribut kebesaran dan kemewahan. Manakala ia mengetahui anak muda itu adalah Al-Mahdi, putra Abu Ja‘far Al-Manshur yang belum lama diangkat sebagai putra mahkota, ‘Amr pun berucap dengan nada suara sangat geram, “Wahai Amir Al-Mukminin! Demi Allah, engkau telah memberikan untuknya sebuah nama yang tak pantas dengan perbuatannya. Engkau telah mengenakan kepadanya sebuah busana yang tak pantas dikenakan oleh orang yang tak lurus seperti ia. Engkau telah membebankan atas dirinya suatu urusan pemerintahan yang menurutnya paling membahagiakan dalam hidupnya, sedangkan sejatinya paling berat disangganya.”
“Apa engkau memiliki keperluan, wahai Abu ‘Utsman,” sergah sang khalifah yang berusaha mengalihkan perbincangannya dengan sahabatnya yang satu itu.
“Ya!”
“Apa keperluanmu?”
“Bukankah aku datang ke sini atas undanganmu?”
“Benar! Kalau engkau tak datang, tentu kita tak akan bertemu.”
“Karena engkau menanyakan kepadaku perihal keperluanku, karena itu kujawab bahwa keperluanku kini adalah berlalu darimu!”
Usai berucap demikian, ‘Amr bin ‘Ubaid pun meninggalkan istana.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment