Tuesday, January 4, 2011

Ketika Cinta Dipandang Sebagai Godaan


"Betapa kaya khazanah kisah-kisah cinta dalam warisan kebudayaan Islam," gumam penulis ketika menikmati sebuah karya berjudul Al-Hub fi Al-Turats Al-'Arabi." Dan, ternyata, tidak hanya Ibn Hazm saja, di antara para pemikir terkemuka Muslim, yang menyusun karya tentang cinta. Nah, salah satu di antara kisah-kisah cinta dalam khazanah tersebut adalah kisah berikut:

“Tuan, di luar ada seorang anak muda ingin menitipkan sepucuk surat,” ucap seorang pelayan, suatu saat, kepada majikannya yang hartawan. “Anak muda itu menunggu di depan rumah.”
“Suruh ia masuk ke dalam rumah dan ambillah suratnya,” sahut sang hartawan.
Si pelayan pun segera menemui anak muda itu dan menerima surat itu. Selepas membaca surat itu yang tertulis dalam bait-bait syair, ia pun berucap, “Oh, ini tentu sepucuk surat dari seorang anak muda yang sedang diterpa cinta.”

Merasa tertarik dengan keluhan yang dikemukakan anak muda tersebut, yang menuturkan kekasihnya yang tersekap dalam “sangkar emas” majikannya, ia pun memerintahkan si pelayan untuk menyilakan si anak muda untuk menemuinya di dalam rumah. Ternyata, anak muda itu telah berlalu. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya di hati sang hartawan. Karena itu, ia kemudian memerintahkan semua pelayan perempuannya agar berkumpul. Selepas mereka semua berkumpul, ia pun menuturkan kejadian tersebut dan kemudian bertanya kepada mereka,”Mengapa ada surat cinta seperti ini sampai kepadaku?”
“Wahai Tuan,” jawab mereka. “Kami pun tak tahu mengapa ada surat seperti itu datang kepada Tuan. Lantas, siapakah yang mengirim surat itu?”
“Seorang anak muda dan ia telah pergi tanpa pamit,” sahut sang hartawan. “Aku mengumpulkan kalian tak lain karena menurut dugaanku ia jatuh cinta kepada salah seorang di antara kalian. Karena itu, barang siapa mengakui anak muda itu adalah kekasihnya, aku rela menyerahkannya kepada anak muda itu dan menikahkannya. Tapi, hendaklah ia membawa surat balasan untuknya.”

Ternyata, tak seorang pelayan pun mengaku. Karena itu, sang hartawan lantas menulis surat kepada anak muda itu dan menyatakan rasa terima kasihnya kepada anak muda itu. Surat itu kemudian diletakkan di suatu tempat di dalam rumahnya. Namun, selepas beberapa hari berlalu, ternyata surat itu masih tetap ada di tempatnya. Tiada seorang pun mengambilnya. Sang hartawan pun semakin kebingungan dan akhirnya bergumam, “Mungkin yang menulis surat itu adalah salah seorang pelayan laki-lakiku. Tapi, bukankah anak muda itu, dalam surat itu, mengemukakan bahwa dirinya adalah seorang yang menjauhi gebyar duniawi dan puas dengan memandang semata kekasihnya?”

Sang hartawan kemudian membuat jebakan untuk memerangkap penulis surat cinta itu. Untuk itu, ia melarang para pelayan perempuan keluar dari dalam rumah. Ternyata, jebakannya berhasil. Hari berikutnya, seorang pelayan laki-laki menyerahkan sepucuk surat. Dalam surat itu, antara lain, si penulis, menggoreskan tintanya sebagai berikut, “Apakah yang dapat Tuan lakukan terhadap nyawa yang telah berada di kerongkongannya dan penyeru kematian senantiasa memicunya? Namun, saya akan tetap berusaha melawannya dengan sekuat daya, sehingga dapat memperlambat lajunya dan akhirnya beranjak dari kerongkongan saya. Sengaja diri ini saya sembunyikan manakala memandang gadis yang saya cintai, karena malu dan agak leluasa ketika terasyikkan oleh pandangan yang menyembuhkan kerinduan manakala melihatnya. Nafsu memang senantiasa menyeru seseorang, karena kebodohannya, untuk berbuat dosa. Tapi, kalbu saya tetap sehat dan tegar menghadapi gempurannya. Demi Allah, andai dikatakan kepada saya, ‘Kemarilah dan puaskanlah nafsumu, untuk mereguk segala kesenangan yang kumiliki!’, tentu akan saya jawab, ‘Tidak! Demi Tuhan yang sangat saya takuti hukuman-Nya, walau kesenangan itu berlipatganda, tetap tak akan saya lakukannya!’ Andai saya tak memiliki rasa malu, tentu akan saya kemukakan buah hati yang saya cintai dan saya ungkapkan pula sambutan cintanya kepada saya. Wassalam.”

Membaca surat dengan isi demikian, sang hartawan pun bergumam pelan, “Dengan apa lagi yang harus kulakukan untuk mengetahui jati diri anak muda ini.” Selepas itu, ia berucap kepada seorang pelayan laki-laki, “Bila ada seorang anak muda membawa surat kepadamu, tahanlah ia dan bawalah ia masuk ke dalam rumah!”
Ternyata, selepas itu, anak muda itu tiada lagi kabar beritanya.

Beberapa lama kemudian sang hartawan naik haji. Dan, ketika ia sedang bertawaf, seorang anak muda bertubuh kerempeng dan berpenampilan kuyu menghampirinya serta lama mencermati dirinya. Selepas ia bertawaf, anak muda itu lantas mengikuti jejak langkahnya dan kemudian mendekatinya seraya berucap pelan kepadanya, “Wahai Tuan, apakah Tuan tak mengenal saya?”
“Siapakah engkau, wahai anak muda?”
“Saya adalah penulis kedua pucuk surat yang Tuan terima.”

Mendengar pengakuan yang demikian, sang hartawan pun tak kuasa menahan dirinya. Ia pun memeluk lama anak muda itu. Dan, kemudian, ucapnya, “Wahai anak muda! Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanku, demi Allah engkau benar-benar membuatku kebingungan dan gelisah. Engkau begitu rapi menyembunyikan identitasmu. Kini, maukah engkau menerima apa yang selama ini kaupinta dariku?”
“Wahai Tuan,” jawab anak muda itu dengan nada suara sopan dan santun. “Kiranya Allah memberkahi dan membahagiakan Tuan. Saya sengaja menemui Tuan tak lain hanyalah untuk meminta dihalalkan Tuan. Sebab, saya telah memandang seorang gadis milik Tuan dengan cara yang menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Cinta memang mengundang timbulnya godaan besar. Saya memohon ampun kepada Allah Yang Mahabesar.”
“Wahai anak muda, aku ingin agar engkau mau bersamaku ke rumahku. Sehingga, aku terhibur olehmu dan silaturahmi di antara kita terjalin erat.”
“Wahai Tuan, sayang tiada jalan untuk itu.”
“Kiranya Allah mengampuni dosamu, anak muda. Sungguh, pelayan yang engkau cintai itu akan kuserahkan kepadamu, berikut dengan uang sebanyak uang sebanyak seratus dinar. Selain itu, setiap tahun engkau akan kukirim dana sebanyak itu.”
“Kiranya Allah memberkahi Tuan. Andai tiada janji yang telah saya ikrarkan kepada-Nya dan pelbagai hal yang telah saya nazarkan untuk saya lakukannya, tentu tiada sesuatu pun di dunia ini yang saya sukai selain sesuatu yang Tuan tawarkan kepada saya ini. Tapi, kini tiada jalan untuk itu. Saya telah menjauhi hal-hal yang bercorak duniawi.”
“Wahai anak muda. Bila engkau menolak pemberianku itu, maukah engkau menuturkan kepadaku, siapakah sejatinya gadis yang engkau cintai. Ini, agar aku dapat menghormatinya, demi engkau, selama hidupku?”
“Wahai Tuan, saya tak akan menyebutkan jati dirinya kepada siapa pun.”

Usai berucap demikian, anak muda itu kemudian berdiri dan pergi meninggalkan sang hartawan. Sang hartawan pun hanya kuasa memandang anak muda itu berlalu dan akhirnya menghilang dari pandangannya.

No comments: