Tuesday, February 22, 2011

"Ya Rasul, Perkenankanlah Aku Berkunjung Kepadamu."


Kemarin siang, 21 Februari 2011, ketika penulis sedang asyik menyiapkan dan menyusun sebuah ensiklopedia di rumah di Baleendah, Bandung, tiba-tiba telepon genggam penulis bunyi. Tak lama kemudian, suara santun yang sangat penulis kenali menyapa, “Assalamu‘alaikum, Ustadz…”
“Wa‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Apa kabar, Mbak Siti?”
“Alhamdulillah sehat. Ustadz, bisa gak hari Rabu, atau paling lambat Jumat nanti, paspor Ustadz sudah di tangan saya. Insya Allah Maret nanti Ustadz berangkat ke Tanah Suci dan Turki. Karena itu, visa dua negara itu perlu segera diurus,” jawab Mbak Siti Khodijah dari Khalifah Tour.

Tentu saja, ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. pun segera “mewarnai” hati, pikiran, dan bibir penulis. Dan, tak terasa, tiba-tiba bibir penulis bergumam, “Ya Rasul, perkenankanlah aku berkunjung kembali kepadamu…”

Kemudian, tiba-tiba benak penulis “melayang-layang” menuju Kota Nabi dan terkenang perjalanan penulis ke kota itu pada bulan Maret tahun lalu, pada saat menapakkan kaki di Masjid Nabawi. Kala itu, selepas melintasi plaza utara Masjid Nabawi dengan langkah-langkah pelan, penulis lantas memasuki pelataran masjid seraya merenungkan makna jati diri dan perjalanan hidup penulis di dunia yang fana ini. Kian menyadari pelbagai kedhaifan, kekurangan, dan kekhilafan diri, tiba-tiba penulis gumam lirih, “Ya Allah! Apakah makna kehadiran seorang hamba-Mu yang dhaif ini di tengah “belantara” miliaran umat-Mu? Ya Allah! Karuniakanlah kasih dan cinta-Mu kepada hamba-Mu ini, agar sisa-sisa hidupnya bermakna. Ya Allah! Sampaikan shalawat dan salam kepada Rasul-Mu!”

Begitu berada di dalam Masjid Nabawi, lewat Bâb Al-Salâm, para jamaah pria yang bersama penulis pun mengambil posisi mereka masing-masing di Raudhah yang penuh dengan jamaah. Penulis sendiri mengambil posisi sebuah tempat tak jauh dari mimbar Rasul Saw. Selepas melaksanakan shalat tahiyyah al-masjid, tiba-tiba penulis kembali terkenang pesan Al-Ghazali kepada setiap Muslim ketika ia sedang berada di Masjid Nabawi. Betapa indah pesan itu. Bagaimanakah pesan Al-Ghazali itu?

“Bila Anda telah tiba di Masjid Nabawi,” demikian pesan Al-Ghazali dalam karya besarnya Ihya’ ‘Ulûm Al-Dîn, “hendaknya Anda ingat, masjid itu adalah tempat lapang yang dipilih Allah Swt. bagi Nabi-Nya, kaum Muslim angkatan pertama, dan kelompok orang-orang istimewa. Juga, hendaknya Anda ingat, seluruh hal yang diwajibkan Allah Swt. pertama-tama ditegakkan di tempat yang lapang itu. Selain itu, tempat yang lapang itu menghimpun makhluk-makhluk Allah yang paling utama. Baik apakah semasa mereka masih hidup maupun selepas berpulang. Karena itu, hendaknya Anda benar-benar berharap, kiranya Allah Swt. melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda, dengan masuknya Anda ke dalamnya. Dan, kini, masuklah Anda ke dalam masjid dengan langkah dan sikap tenang dan mengagungkannya. Betapa layak tempat itu membangkitkan kedamaian dalam kalbu orang yang beriman.”

Usai melaksanakan shalat tahiyyah al-masjid dan berdoa beberapa lama di Raudhah, kami kemudian keluar dari “Taman Surga” itu dan kemudian mengikuti barisan panjang yang melintasi Makam Rasulullah Saw. dan dua sahabat tercintanya, Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Dengan langkah-langkah sangat pelan, kami pun kian dekat dengan makam itu.

Kemudian, ketika kian dekat dengan makam dan melihat aneka ragam perilaku kaum Muslim yang sedang bergerak pelan menuju makam itu dan di depannya, penulis pun kembali ingat pesan Al-Ghazali tentang tata krama berziarah ke makam Rasul Saw., “Ketika menziarahi Rasulullah Saw., hendaknya kita berdiri di hadapan beliau sebagaimana telah dikemukakan di muka. Dengan kata lain, hendaknya kita menziarahi beliau selepas berpulang seperti halnya menziarahi beliau ketika masih hidup. Juga, hendaknya kita memandang beliau dengan penuh hormat. Tak menyentuh dan tak memeluk tubuh beliau. Tapi, berdiri agak jauh dari beliau bagaikan berdiri di hadapan beliau. Seperti itulah yang selayaknya kita lakukan. Menyentuh dan memeluk orang lain yang berada di depan seseorang merupakan kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.

Perlu diketahui, Rasulullah Saw. tahu, Anda datang, tegak, dan menziarahi beliau. Salam dan shalawat Anda pun sampai kepada beliau. Karena itu, bayangkanlah dalam benak Anda, sosok mulia beliau yang terletak dalam lubang makam di hadapan Anda dan hadirkanlah keagungan kedudukan beliau dalam kalbu Anda. Dituturkan dari beliau bahwa ‘Allah Swt. mewakilkan, di makam beliau, seorang malaikat yang menyampaikan kepada beliau salam seseorang dari umat beliau yang mengirimkan salam kepada beliau.’

Hal itu bagi seseorang yang tidak sedang berziarah ke makam beliau. Karena itu, dapat dibayangkan, bagaimana halnya dengan seseorang yang berpisah dengan tempat asalnya dan melintasi pelbagai tempat dan negara, karena ingin menemui beliau serta merasa cukup dengan menyaksikan makam beliau yang mulia, karena tak mendapatkan kesempatan menyaksikan wajah beliau yang mulia. Nabi Saw. berpesan, ‘Barang siapa mengucapkan shalawat kepadaku sekali, niscaya Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya sepuluh kali.’ Ini adalah balasan bagi seseorang yang mengucapkan shalawat kepada beliau. Bisa dibayangkan, bagaimana halnya bagi seseorang yang hadir dengan tubuhnya untuk menziarahi beliau?”

Demikianlah pesan Al-Ghazali kepada kaum Muslim yang berziarah ke Makam Rasulullah Saw.

Kemudian, seraya melangkah sangat pelan di antara antrian orang-orang yang menuju Makam Rasulullah Saw., kedua mata penulis pun “berlari”. Ke sana dan ke mari. Tak bosan-bosannya kedua mata penulis menatap dan mencermati segala sesuatu yang ada di area yang terletak di seputar Raudhah dan makam itu. Satu demi satu. Tiba-tiba, kedua mata penulis menatap mimbar beliau yang menjadi salah satu pembatas Raudhah. “Bukankah di mimbar itulah beliau, manakala sedang tidak melakukan perjalanan ke luar kota, setiap Kamis selepas shalat subuh (bila di bulan Ramadhan selepas shalat asar) memberikan pesan dan arahan kepada para sahabat?” gumam penulis sangat pelan.

Melihat mimbar Rasulullah Saw. yang terdiri dari tiga tingkat dan dibuat dari kayu itu, penulis pun teringat catatan Prof. Dr. Husain Mu’nis tentang mimbar itu. Menurut mantan guru besar Universitas Kairo dan Universitas Kuwait yang merah gelar doktornya dari sebuah universitas terkemuka di Swiss itu, tatkala Rasulullah Saw. mendirikan Masjid Nabawi, pada mulanya mimbar beliau hanyalah tanah yang ditinggikan yang diletakkan di samping mihrab. Kemudian, seperti halnya dikemukakan Ibn Al-Atsir dalam karyanya Asad Al-Ghâbah, pada 6 atau 7 atau 8 atau 9 H sebuah mimbar kayu dibuat untuk beliau dan diletakkan di masjid beliau. Sedangkan Al-Diyarbakri dalam karyanya tentang biografi beliau, Al-Khamîs fî Sîrah Anfas Al-Nafîs, dan Burhanuddin Al-Halabi, dalam karyanya Al-Sîrah Al-Halabiyyah, mengemukakan bahwa yang membuat mimbar beliau adalah seorang Koptik atau Romawi bernama Bacum atau Bacul. Mimbar tersebut terdiri dari dua tangga dan sebuah tempat duduk beliau. Jelas, mimbar kayu ini sebagai pengganti mimbar pertama beliau. Di sini, kita menyaksikan kelahiran mimbar kayu.

Mimbar tersebut tetap dalam keadaan demikian hingga masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Lantas, suatu ketika, penguasa pertama Dinasti Umawiyyah di Damaskus, Suriah itu membuat untuk dirinya sebuah mimbar bergerak dari kayu yang terdiri dari enam tangga dan sebuah tempat duduk. Selepas itu, tatkala ia pergi ke Makkah, ia membawa serta mimbar tersebut, seakan mimbar itu merupakan simbol kekuasaannya. Mimbar itu kemudian ia tinggalkan di Masjid Al-Haram dan tetap di sana hingga masa pemerintahan Harun Al-Rasyid, penguasa ke-5 Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Jejak langkah yang dilakukan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan tersebut kemudian diikuti beberapa penguasa Dinasti Umawiyyah, kala mereka sedang melakukan perjalanan.

Kemudian, ketika kedua kaki penulis beringsut pelan ke depan dan kedua mata penulis asyik mencermati dan menatap lama Mimbar Nabi Saw., tiba-tiba penulis tersadarkan oleh sebuah pesan Rasulullah Saw. yang dikemukakan dalam sebuah lagu indah yang diciptakan Djaka Bimbo, Sam Bimbo, dan Taufiq Ismail serta disenandungkan Bimbo, “Hidup dan Pesan Nabi”:

Hidup ini bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke titik terakhir
Hidup bukan bulatan bola
Yang tiada ujung yang tiada pangkal

Hidup ini melangkah terus
Tak pernah kembali ke masa lalu
Setiap langkah hilangkan jatah
Menikmati hidup nikmati dunia

Pesan Nabi tentang mati
Jangan takut mati karena pasti terjadi
Setiap insan pasti mati
Hanya soal waktu

Pesan Nabi tentang mati
Janganlah minta mati datang kepadamu
Dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati

Tiga rahasia Ilahi
Yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran, kedua pernikahan
Ketiga kematian

Penuhi hidup dengan cinta
Ingatkan diri saat untuk berpisah
Tegakkan shalat lima waktu
Dan ingatkan diri saat dishalatkan

Pesan Nabi jangan takut mati
Meski kau sembunyi dia menghampiri
Takutlah pada kehidupan setelah kau mati
Renungkanlah itu

Kemudian ketika telah berada di samping Makam Rasulullah Saw., yang dijaga tiga petugas (‘askar), perasaan penulis pun menjadi sangat bercampur aduk. Antara sangat bahagia dan sangat malu. Sangat bahagia, karena penulis masih diberi kesempatan Allah Swt. berziarah kembali ke makam beliau. Merasa sangat malu, karena merasa betapa diri penulis masih acap melakukan dan sangat sarat dengan pelbagai kekurangan, kesalahan, kealpaan, noda, dan dosa. Sejenak kemudian, seraya melangkah sangat pelan, penulis pun mengucapkan salam dan shalawat dengan nada suara pelan kepada beliau, dan kemudian menyampaikan salam dan doa kepada dua sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab.

2 comments:

Maylendra Masni Basri said...

Subhallah...

Terharu dan berlinang air mata saya membaca tulisan pak Ustadz...

jazakallah Ustadz..

Btw. Izin copas puisi " Hidup dan pesan Nabi ".nya ya pak..

Maylendra Masni Basri said...

Subhanallah...maaf salah ketik..