Wednesday, June 22, 2011

Ketika Duka Itu Tiba


Entah kenapa, tadi pagi, ketika sedang menyiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke Timur Tengah pada akhir minggu ini, tiba-tiba benak dan hati saya tersentak. Kemudian, tiba-tiba tidak terasa air mata menetes pelan, teringat Rasul Saw. Ya, teringat beliau yang berpulang di awal bulan Juni. Tepatnya pada 8 Juni 632 M. Air mata menetes karena menyesal, mengapa pada hari beliau berpulang saya tak teringat sama sekali kepada beliau dan baru hari ini ingat kalau beliau berpulang pada bulan Juni seraya bergumam, “Wahai Rasul, maafkan umatmu yang satu ini. Ternyata, kesibukan duniawi lebih menyilaukan dirinya, hingga ia melupakan engkau di hari ketika engkau bertemu dengan Kekasihmu.”

Rasulullah Saw. berpulang di bulan Juni? Bagaimanakah kisah hari-hari terakhir beliau di dunia yang fana ini?

Dua bulan selepas menunaikan ibadah Haji Perpisahan (Wadâ‘), Rasulullah Saw. jatuh sakit. Tapi, beliau tetap melaksanakan tugas seperti biasa. Beliau juga pergi ke Uhud dan mendoakan syuhada yang dimakamkan di sana. Ternyata, selepas hari demi hari berlalu, kondisi kesehatan beliau tidak kian membaik. Walau demikian, beliau terus melaksanakan shalat berjamaah hingga beliau menjadi begitu lemah dan tak kuasa bergerak. Beliau perintahkan Abu Bakar Al-Shiddiq untuk menjadi imam. Abu Bakar melaksanakannya selama beberapa hari. Empat hari sebelum wafat, di waktu subuh, beliau agak sembuh dan dalam keadaan tenang. Panas demam yang menimpa tubuh beliau sudah mulai turun. Sehingga, seolah karena obat yang diberikan keluarganya telah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu beliau dapat pula keluar rumah pergi ke masjid dengan berikat kepala dan bertopang pada ‘Ali bin Abu Thalib, menantu dan saudara sepupu tercinta beliau, dan dan Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, sepupu beliau.

Abu Bakar Al-Shiddiq kala itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Begitu kaum Muslim yang sedang melaksanakan shalat itu melihat Rasulullah Saw. datang, karena rasa gembira yang luar biasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam sembahyang itu. Tapi, beliau memberi isyarat agar mereka meneruskan shalatnya. Bukan main gembira beliau gembira melihat semua itu.

Abu Bakar Al-Shiddiq merasa apa yang telah mereka lakukan itu, dan yakinlah ia bahwa mereka tak akan berlaku demikian itu kecuali untuk Rasulullah Saw. Ia pun surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada beliau. Tapi, beliau mendorongnya dari belakang agar ia tetap menjadi imam. Beliau sendiri kemudian duduk di samping Abu Bakar dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya.

Usai shalat, Rasulullah Saw. kemudian menghadap kepada khalayak ramai, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai keluar masjid, “Allah memberi karunia kepada hamba-Nya satu pilihan, antara dunia dan akhirat. Dia memilih yang terakhir.”

Rasulullah Saw. lantas diam dan orang-orang juga diam tak bergerak. Tapi, Abu Bakar Al-Shiddiq segera mengerti, yang dimaksud beliau dengan kata-kata terakhir itu adalah dirinya. Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya persahabatannya dengan beliau, ia tak dapat menahan air mata dan menangis sambil berkata, “Tidak. Malah, engkau akan kami tebus dengan jiwa kami dan anak-anak kami!”

Khawatir rasa terharu Abu Bakar Al-Shiddiq akan menular kepada yang lain, Rasulullah Saw. lantas memberi isyarat kepadanya, “Sabarlah, Abu Bakar!”

Kemudian Rasulullah Saw. berucap lagi, “Aku peringatkan kepada saudara sekalian, wahai kaum Muslim, agar berbuat baik kepada kaum Anshar. Mereka benar-benar telah melaksanakan tugas dengan baik. Kaum Muslim secara umum akan bertambah jumlahnya, Tapi kaum Anshar akan berkurang. Dan, jadilah mereka garam dalam makanan. Kesengsaraan telah menimpa bangsa-bangsa sebelum kalian, yang menyembah kuburan para Nabi dan orang-orang suci mereka. Aku larang kalian melakukan hal itu. Aku banyak berutang budi kepada Abu Bakar. Bila aku memanggil seseorang sebagai kawanku, maka dialah Abu Bakar. Tapi, persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya. Wahai anak putriku tercinta, Fathimah, dan wahai bibiku tercinta, Shafiyyah, kerjakanlah sesuatu untuk akhirat, karena aku tak dapat membantumu terhadap kehendak Allah.”

Ini merupakan pidato terakhir Rasulullah Saw. Dan, melihat tanda-tanda kesehatan beliau yang kian membaik, bukan main gembiranya kaum Muslim, sampai-sampai Abu Bakar datang menghadap beliau dengan mengatakan, “Wahai Rasul! Aku lihat engkau kini dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah giliran Habibah binti Kharijah. Bolehkah aku mengunjunginya?”

Rasulullah Saw. pun mengizinkan. Abu Bakar Al-Shiddiq pun berangkat ke Sunh-di luar kota Madinah-tempat tinggal istrinya, Habibah binti Kharijah. Abu Bakar, seperti diketahui, setibanya di Madinah, kemudian dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, dari Bani Al-Harits dari suku Khazraj. Akhirnya, ia menikah dengan Habibah, putri Kharijah. Dan, dari perkawinan ini kemudian lahir Ummu Kultsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakar ketika ia sedang dalam kandungan Habibah. Sedangkan keluarga Abu Bakar yang lain tak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh. Ummu Ruman binti ‘Amir dan putrinya, ‘A’isyah, serta keluarga Abu Bakar yang lain tinggal di dalam Kota Madinah, di sebuah rumah berdekatan dengan rumah Abu Ayyub Al-Anshari, tempat Rasulullah Saw. tinggal.

Namun, ternyata sakit Rasulullah Saw. semakin berat. Pada pagi hari Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 11 H/8 Juni 632 M, beliau merasa agak baik. Ketika waktu dhuha semakin beranjak, beliau menerima kedatangan putri tercintanya, Fathimah Al-Zahra’. Begitu melihat sang putri, yang lahir di Makkah, wajah beliau berbinar-binar. Segera pula beliau mempersilakan ibunda dua putra: Al-Hasan dan Al-Husain, dan dua putri: Ummu Kultsum dan Zainab itu duduk di samping beliau seraya berkata, “Selamat datang, putriku!”

Selepas berbagi sapa, Rasulullah Saw. kemudian membisikkan sesuatu kepada sang putri. Usai mendengar bisikan sang ayah, tiba-tiba putri keempat Rasulullah Saw. yang berhijrah ke Madinah bersama ‘Ali bin Abu Thalib atau Zaid bin Haritsah itu menangis tersedu. Ketika beliau melihat kesedihan sang putri, beliau lalu membisikkan sesuatu lagi kepadanya sehingga ia tersenyum-senyum.

Usai berbincang-bincang dengan sang putri, Rasulullah Saw. beristirahat. Melihat beliau beristirahat, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, istri beliau yang sangat penasaran melihat “peristiwa aneh” di depan mata kepalanya itu, segera mendekati Fathimah Al-Zahra’ dan bertanya kepadanya, “Fathimah! Sejatinya apa yang dibisikkan oleh Rasulullah Saw. kepadamu, sehingga engkau tiba-tiba menangis dan setelah beliau membisikkan sesuatu lagi kepadamu tiba-tiba pula engkau tersenyum-senyum?”

“Aku tak kan menyebarkan rahasia yang dibisikkan oleh Rasulullah Saw.,” jawab Fâthimah Al-Zahra’ seraya berlalu. (Sampai setelah Rasulullah Saw. wafat pada hari itu dan dikebumikan, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq tetap memendam rasa penasarannya tersebut. Maka, karena rasa penasaran tersebut tak tertahankan lagi, suatu saat ia pun bertanya kepada Fathimah Al-Zahra’ mengenai “peristiwa aneh” tersebut, “Fathimah! Aku ingin menanyakan kembali kepadamu tentang apa yang diberitahukan oleh Rasulullah Saw. kepadamu yang dulu engkau tak mau menjelaskannya kepadaku!”

“Baiklah, kalau sekarang bolehlah. Saat itu, ketika Rasulullah Saw. membisikkan sesuatu kepadaku yang pertama kali, beliau memberitahuku bahwa Jibril a.s. dan beliau biasanya bertadarus Al-Quran satu kali atau kali setahun, sementara saat itu Jibril a.s. dan beliau bertadarus dua kali. Selanjutnya beliau membisikkan bahwa hal itu sebagai pertanda ajal beliau telah dekat, karena itu beliau memintaku untuk tetap bertakwa kepada Allah dan bersabar. Mendengar bisikan demikian, maka aku pun menangis tersedu seperti yang engkau saksikan dulu, karena tahu beliau akan segera berpulang. Dan, ketika Rasulullah Saw. melihat kesedihanku yang demikian itu, beliau membisikkan kepadaku, ‘Fathimah! Mengapa engkau tak ridha? Padahal, engkau akan menjadi pemimpin kaum perempuan di surga kelak?’ Mendengar bisikan demikian, aku pun tersenyum-senyum seperti yang engkau saksikan dulu,” jawab istri ‘Ali bin Abu Thalib yang berpulang beberapa bulan selepas Rasulullah Saw. wafat.

Pada sore harinya kesehatan beliau memburuk kembali. Beliau pingsan beberapa kali. Walau menghadapi sakaratulmaut, beliau tak pernah lupa kepada Tuhannya. Beliau terus-menerus mengucapkan istighfâr, “Ampunilah aku, ya Allah.”

Hingga menjelang malam, pernapasan Rasulullah Saw. masih bergerak-gerak. Bibir beliau bergerak-gerak dan terdengar suara perlahan oleh orang-orang yang duduk di sekitar beliau, “Tegakkanlah shalat. Perlakukanlah para hamba sahaya dengan baik.”

Di dekat beliau ada baskom penuh berisi air. Berkali-kali beliau membasahi tangan. Lalu beliau mengusapkannya ke muka beliau. Beliau, yang berada di pelukan istri tercintai beliau, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, kemudian mengangkat tangan dan menunjuk dengan jari beliau seraya berkata tiga kali, “Ya Allah, perkenankanlah aku bertemu dengan Kekasih Yang Maha Tinggi .”

Ruh Rasulullah Saw. pun kembali kepada Yang Memilikinya. Beliau kembali kepada Yang Mengutusnya. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.

No comments: