Tuesday, June 7, 2011

Shaquille O'Neal dan Proses Iman


“Shaquille O’Neal has become a Muslim.”

Demikian tulis Imam Shamsi Ali, seorang Imam asal Indonesia di New York, Amerika Serikat tadi pagi di fbnya. Dan, mengenai keislaman pemain basketball kondang yang terkenal dengan panggilan Shaq itu, Imam Shamsi Ali memberikan komentar, “Islam itu indah dan magnetik. Semakin ditekan, semakin meninggi. Ini realitas pengalaman, bukan teori.”

Entah mengapa, membaca berita keislaman pemain basketball dengan tinggi 2,16 meter dan terkenal pula dengan sebutan “the Diesel”, “the Big Aristotle”, “MDE (Most Dominat Ever)”, “Superman”, dan juga “Doctor Shaq” tersebut, lama saya termenung dan kemudian benak saya melayang-layang serta teringat kisah keimanan ‘Umar bin Al-Khaththab. Proses keimanan khalifah kedua dalam sejarah Islam tersebut, juga proses keimanan “Doctor Shaq”, menunjukkan pertama-tama: Allah Swt. sangat kuasa atas kalbu manusia: pagi hari seseorang berlaku sebagai musuh besar Islam, tapi siang nanti ia dapat berubah menjadi seorang pendukung agama itu. Begitu pula sebaliknya.

Nah, untuk dapat memahami “proses keimanan” seseorang, marilah sejenak kita kembali pada kisah indah keimanan ‘Umar bin Al-Khaththab dan hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut:

Setibanya ‘Amr bin Al-‘Ash dan ‘Abdullah bin Abu Rabi‘ah di Makkah, dari Habasyah, kegagalan misinya untuk membawa pulang kaum Muslim yang berhijrah ke sana, dengan cepat tersebar di kota itu. Kaum Muslim, tentu, bergembira mendengar kabar tersebut. Sebaliknya, hal itu kian membakar amarah para tokoh kaum musyrik Makkah. Mereka khawatir, peristiwa itu akan menyebabkan kian meningkatnya perlawanan kaum Muslim di Makkah dan kian banyaknya anak-anak muda Quraisy yang memeluk Islam. Yang paling marah, gelisah, dan resah dengan perkembangan batu itu adalah Abu Jahal dan kemenakannya, yaitu seorang anak muda dari kabilah ‘Adiy bernama ‘Umar bin Al-Khaththab.

‘Umar adalah putra Al-Khaththab, penyembah berhala yang amat setia dan pernah mengusir saudara tirinya sendiri, Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al-‘Adawi Al-Qurasyi, yang menjadi seorang hanîf, keluar Kota Makkah ketika ia melecehkan agama kuno mereka. ‘Umar merupakan anak yang mewarisi watak orang tuanya yang penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya berfoya-foya dan menenggak minuman keras. Tapi, terhadap keluarga ia bersikap bijak dan santun. Anak muda yang baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu kemudian menyatakan kepada mereka, “Muhammad harus diakhiri! Aku yang akan menangani masalah ini! Sekarang juga!”

‘Umar bin Al-Khaththab yang sangat berang itu kemudian mengikatkan pedangnya dan pergi ke Bukit Shafa, menuju ke sebuah rumah yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan oleh kaum Muslim. Kala itu, di rumah itu, Rasullullah Saw. sedang bertemu dengan sejumlah sahabat, termasuk Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ali bin Abu Thalib, dan Abu Bakar bin Abu Quhafah. Di tengah jalan, ‘Umar bin Al-Khaththab berjumpa dengan salah seorang anggota keluarganya yang telah memeluk Islam, Nu‘aim bin ‘Abdullah. Memperhatikan kerut gelap di wajah ‘Umar, Nu‘aim menanyakan kepadanya apa yang terjadi. ‘Umar menjawab, ia akan membunuh Rasul Saw. Mendengar jawaban yang demikian itu, Nu‘aim segera berpikir keras untuk mengalihkan niat ‘Umar itu: ia menasihati ‘Umar, “‘Umar! Engkau hendaklah pertama-tama melihat ke rumahmu sendiri. Saudara perempuanmu dan saudara iparmu pun telah memeluk Islam.”

Mendengar kabar yang demikian itu, ‘Umar bin Al-Khaththab menjadi demikian berang. Sehingga, ia segera berbalik ke rumah saudara perempuannya, Fathimah binti Al-Khaththab, yang kala itu sedang membaca Al-Quran. Mendengar ‘Umar masuk, Fathimah menghentikan bacaannya. Namun, ‘Umar telah mendengar suaranya dan menanyakan apa artinya. Sang adik menjawab bahwa hal itu tiada apa-apanya. “Fathimah! Jangan engkau mencoba menyembunyikan apa pun dariku!” hardik ‘Umar bin Al-Khaththab dengan nada suara sangat gusar. “Aku tahu segala sesuatunya. Aku telah mendengar, kalian berdua telah ingkar agama!”

Usai berkata demikian, ‘Umar bin Al-Khaththab lantas memegang leher saudara iparnya, Sa‘id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail Al-‘Adawi Al-Qurasyi, dan memukulnya kuat-kuat. Melihat hal yang demikian, Fathimah mencoba campur tangan. Tapi, ia malah juga dipukuli hingga tubuhnya berlumuran darah. Dalam keadaan demikian, ia berseru, “‘Umar! Tega nian engkau engkau berbuat seperti ini kepadaku. Lakukanlah apa yang engkau kehendaki. Islam tak akan pernah lepas dari hati kami.”

Ucapan itu membangkitkan suatu dampak yang aneh dalam pikiran ‘Umar bin Al-Khaththab. Ia pun memandang adiknya dengan pandangan penuh kasih sayang. Apalagi selepas melihat darah yang mengalir keluar dari luka-luka yang ditimbulkannya. Hatinya benar-benar terharu. Akhirnya, ia berucap lirih, “Fathimah, tunjukkanlah kepadaku, apa yang tadi engkau baca.”

Fathimah binti Al-Khaththab pun membawa kertas-kertas kulit petikan Al-Quran yang disembunyikannya dan meletakkannya di depan kakaknya. ‘Umar bin Al-Khaththab pun mengambilnya dan menjumpai ayat-ayat, “Thâhâ. Kami tak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar engkau merasa berat. Tapi, sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut. Diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit tinggi. Tuhan Yang Mahapemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, dan semua yang ada di antara keduanya, serta semua yang terpendam di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh Dia mengetahui rahasia dan semua yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tiada Tuhan selain Dia, Dia yang mempunyai nama-nama sempurna.” (QS Thâhâ [20]: 1-8).

‘Umar bin Al-Khaththab pun membaca bagian itu dengan sepenuh hati. Nampaknya, setiap kata mengilhami hatinya dengan rasa segan dan hormat. Sehingga, akhirnya, ia berseru, “Betapa luar biasa dan mendalamnya kalam itu! Ya, semua itu benar. Aku seharusnya memeluk agamamu. Aku akan pergi menemui Muhammad untuk menyatakan keimananku kepada Allah. Di hadapannya.”

‘Umar bin Al-Khaththab pun segera meninggalkan rumah adiknya, berlari melintasi jalan-jalan Kota Makkah, menuju Bukit Shafa, tepatnya menuju rumah Abu ‘Abdullah Al-Arqam bin Abu Al-Arqam, tempat Rasulullah Saw. sedang menyampaikan pengarahan kepada para sahabat. Setibanya di rumah itu, ‘Umar segera mengetuk pintu. Mengetahui yang datang adalah ‘Umar, para sahabat menjadi gentar dan ketakutan, kecuali Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Rasul Saw. menyuruh membuka pintu dan mempersilakan ‘Umar masuk. Melihat sikap beliau yang sangat santun dan bijak, ‘Umar merasa kecil di hadapan beliau. Ia pun segera menyatakan niatnya menjadi seorang Muslim, “Wahai Rasul! Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta pesan yang dibawanya.” Rasul Saw. pun berseru, “Allâhu Akbar!”

Keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab segera diikuti oleh putra sulungnya yang kelak menjadi seorang pakar manasik haji, ‘Abdullah, dan istrinya, Zainab binti Mazh‘un, saudara perempuan ‘Utsman bin Mazh‘un yang sedang berhijrah ke Habasyah. Selain itu, keislamannya melempangkan jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya kala itu untuk memeluk Islam. Semenjak itu, berbondong-bondonglah orang masuk Islam. Sehingga, dalam waktu yang singkat, pengikut Islam bertambah dengan pesatnya. Apalagi selepas mereka melihat ‘Umar menyatakan keislamannya secara terbuka, mendatangi Abu Jahal untuk menyampaikan kabar tersebut, dan menyarankan kepada Rasulullah Saw. agar mengajak kaum Muslim shalat di lingkungan Ka‘bah secara terang-terangan. di tahun keenam dakwah Islam. Karena hal itulah, ia mendapat gelar Al-Fâruq. Dengan kata lain, keislamannya merupakan pembatas antara seruan Islam secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mengenai hal ini, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq berucap, “Allah menjadikan kebenaran pada ucapan dan kalbu ‘Umar. Ia adalah Al-Faruq yang menjadi pembatas antara kebenaran dan kebatilan.”

Di sisi lain, keislaman ‘Umar bin Al-Khaththab yang terjadi pada tahun keenam kenabian itu memberikan hikmah dan pelajaran yang berharga tentang proses keislaman seseorang. Tentang hal itu Tarik Ramadan, dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, menulis, “Nabi tahu, dirinya tak berkuasa atas hati manusia. Dalam menghadapi penganiayaan dan kesulitan besar, beliau berpaling kepada Allah, seraya berharap Dia akan memberi petunjuk kepada salah satu dari dua tokoh Quraisy yang beliau ketahui memiliki kualitas dan kekuatan yang diperlukan untuk membalikkan keadaan. Tentu saja Nabi tahu, hanya Allah yang berkuasa menuntun hati manusia. Bagi sebagian orang, perpindahan agama merupakan sebuah proses panjang yang membutuhkan masa penuh pertanyaan, keraguan, dan langkah maju-mundur. Sedangkan bagi yang lain, perpindahan agama berlangsung singkat, segera selepas membaca teks, atau memerhatikan gerak tubuh atau perilaku.”

“Hal yang demikian itu tak dapat dijelaskan. Peralihan agama yang memakan waktu paling lama tak berarti melahirkan keimanan yang kukuh, dan kebalikannya juga tak sepenuhnya benar: jika bicara urusan peralihan agama, kecenderungan hati, keimanan dan cinta, tiada lagi logika; yang berlaku adalah kekuasaan Allah yang luar biasa. ‘Umar keluar rumah dengan niat kuat untuk membunuh Nabi, dibutakan oleh pengingkarannya terhadap Allah Yang Maha Esa. Namun, beberapa jam kemudian, ia berubah dan mengalami sebuah transformasi sebagai hasil perubahan keyakinan akibat sentuhan sebuah Al-Quran dan maknanya. Malah, ia kemudian menjadi salah seorang sahabat setia dari orang yang ia ingikan kematiannya. Tak seorang pun di antara para pengikut Nabi yang dapat membayangkan bahwa ‘Umar akan mengikuti pesan agama Islam, mengingat ia dengan sangat jelas telah mengungkapkan kebenciannya terhadap Islam. Revolusi hati ini merupakan sebuah pertanda, dan ia mengajarkan dua hal: tiada yang mustahil bagi Allah, dan kita tak boleh memberikan penilaian mutlak terhadap sesuatu atau seseorang!”

No comments: