Thursday, September 29, 2011
Sekali Lagi: Pesan Al-Ghazali kepada Para Calon Jamaah Haji
“Ya Allah, betapa masa-Mu bergerak begitu cepat! Tidak lama lagi, para calon tamu-Mu akan segera berdatangan kembali ke Tanah Suci. Sudahkah mereka benar-benar melakukan persiapan ruhaniah, sehingga mereka benar-benar layak Engkau muliakan sebagai para tamu-Mu?”
Entah kenapa ucapan yang demikian itu membara dalam hati dan pikiran saya, tidak lama selepas seorang sahabat mengabarkan dan mengingatkan keterlibatan saya dalam pengarahan kepada para calon tamu Allah Swt. yang segera akan bertolak ke Tanah Suci Makkah dan Madinah.
Tentu kita semua tahu, berbeda dengan perjalanan wisata atau perjalanan dinas ke negara-negara lain, perjalanan untuk melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji memiliki nuansa tersendiri. Sebab, dalam perjalanan menuju Tanah Suci diperlukan persiapan ruhaniah yang mantap, di samping persiapan jasmaniah. Ini karena berbeda dengan kebanyakan ibadah lain, ibadah umrah maupun ibadah haji adalah ibadah ruhaniah yang sekaligus ibadah jasmaniah. Menyadari kabar dan pesan tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat pemaparan seorang tokoh berdarah Iran: Abu Hamid Al-Ghazali, perihal pentingnya persiapan ruhaniah bagi para calon tamu Allah Swt. di Tanah Suci.
Mengapa Al-Ghazali?
Lembaran sejarah menorehkan, tokoh yang pertama adalah seorang ulama dan pemikir terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn itu lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H/1058 M. Perjalanan hidupnya, dengan krisis ruhaniah yang pernah menimpa dirinya, hingga akhirnya bertolak ke Tanah Suci, menurut saya, menarik sebagai bekal bagi siapa pun yang akan melaksanakan ibadah umrah maupun ibadah haji. Pada masa kecilnya, ia menimba ilmu di bawah bimbingan Ahmad Al-Radzkani. Selepas itu, ia lantas pergi ke Jurjan dan menimba ilmu kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, ia kemudian kembali ke Thus, lalu merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma‘ali Al-Juwaini, yang mendapat gelar Imâm Al-Haramain. Ia tetap mendampingi gurunya itu hingga sang guru berpulang pada 478 H/1085 M. Selepas itu, ia lantas melanjutkan kelana ilmiahnya ke Al-‘Askar.
Enam tahun kemudian, tokoh yang acap dilukiskan dengan kepala botak, berjenggot panjang, dan bermata tajam itu menapakkan kaki dan memasuki Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Ya, Perguruan Nizhamiyyah, sebuah perguruan terkemuka di Bagdad pada masa pertengahan. Perguruan yang satu ini dididirikan Nizham Al-Mulk, seorang perdana menteri tersohor dalam pemerintahan Dinasti Saljuq, pada 440 H/1048 M. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di lembaga pendidikan kenamaan yang menjadi model perguruan tinggi di kemudian hari dan melahirkan banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu itu.
Melalui jabatannya sebagai mahaguru, nama Al-Ghazali pun berkibar: sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi. Tidak saja di lingkungan lembaga itu. Namun, juga di kalangan pemerintahan di Bagdad. Lantas, pada 488 H/1095 M, ia meninggalkan Bagdad, dengan memberikan kesan akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, sejatinya, kala itu ia sedang mengalami krisis berat dalam kehidupan ruhaniahnya. Ya, krisis ruhaniah.
Tentang krisis ruhaniah yang menghajar dirinya kala itu, Al-Ghazali mengungkapkannya dengan indah sebagai berikut, “Kondisi diriku pun lantas kurenungkan. Ternyata, aku terlalu tersibukkan dengan pelbagai ikatan duniawi yang menyergap diriku dari segala penjuru. Amal-amalku pun lantas kurenungkan. Khususnya, amalku yang terbaik, yaitu mengajar. Ternyata, aku hanya menerima ilmu yang remeh dan tak berguna. Aku pun lantas merenungkan niatku dalam mengajar. Ternyata, niatku pun tak ikhlas. Malah, hanya karena terdorong keinginan untuk memburu jabatan dan menjadi tokoh tersohor. Aku pun menjadi yakin, aku nyaris mengalami kehancuran dan benar-benar tak akan terselamatkan dari neraka, andaikan aku tak meninggalkan semua hal yang remeh temeh itu.
Untuk beberapa lama, aku tak henti-hentinya merenungkan semua hal itu. Kala itu, aku masih jauh lagi dari mengambil keputusan. Terkadang, aku begitu ingin melarikan diri dari Bagdad dan meninggalkan kondisi yang ada. Namun, keinginan itu lantas mereda kembali. Lalu, kucoba untuk melangkah lagi. Tapi, aku lantas balik surut. Manakala pagi menampakkan semburatnya, aku sangat berkeinginan untuk menggapai kehidupan akhirat. Namun, begitu sang senja mulai menampakkan diri, pasukan hawa nafsu pun menghancurkan keinginan itu. Akibatnya, manakala pesona duniawi begitu kuat menahan diriku agar tetap tinggal, di kala yang sama seruan keimanan menyeru diriku agar pergi. Ya, pergi, karena usia tinggal tersisa sedikit lagi, sedangkan perjalanan masih sangat panjang membentang. Padahal, semua ilmu maupun amalku hanya untuk menonjolkan diri dan merupakan ilusi semata. Setan pun kembali muncul dan menggodaku, ‘Ah, bukankah keadaanmu yang demikian ini hanya selintas saja. Kau tentu kuasa menundukkannya. Bukankah hal itu gampang sirna?’
Aku tetap dalam keadaan ragu. Terombang-ambing di antara tarikan pesona duniawi dan seruan akhirat. Keadaanku berlangsung selama enam bulan. Akhirnya, keadaanku ini memaksaku untuk mengambil keputusan. Sebab, Allah telah mengunci kalbuku hingga tak kuasa mengajar.
Suatu hari, dengan semangat penuh, aku berusaha menyenangkan berbagai pihak. Ternyata, sepatah kata pun tak terucapkan olehku. Aku sama sekali tak kuasa mengucapkannya. Keadaan yang menimpa diriku itu lantas menimbulkan derita dalam kalbu. Hancurlah, bersamanya, kemampuanku untuk mencerna. Juga, sirna bersamanya nafsu makan maupun minum. Kala itu, setetes minuman atau sesuap makanan tak terasakan. Keadaan ini berlanjut dengan melemahnya semua daya dan kekuatan. Sehingga, para dokter pun merasa tak kuasa menyembuhkannya. Ucap mereka, ‘Keadaan ini pertama-tama menimpa kalbu. Lantas, dari situ, menjalar ke seluruh tubuh. Akibatnya, kini tiada jalan untuk menyembuhkannya, kecuali dengan perginya rahasia terpendam dalam pikiran yang menderita.’
Ketika aku menyadari ketidakmampuanku, dan seluruh kesanggupanku untuk memutuskan sirna, aku pun kembali kepada Allah laksana kembalinya orang yang tersudut dan tanpa daya.”
Untuk mengatasi krisis ruhaniah itu, Al-Ghazali akhirnya meninggalkan segala pencapaian ilmiahnya dan ketenaran namanya, yang telah ia bangun dengan kedudukannya sebagai mahaguru yang tenar dan tersohor, dan memasuki hidup berkontemplasi. Kemudian, dari bilik-bilik tertutup di masjid-masjid Damaskus, Suriah dan Bait Al-Maqdis, Palestina serta dari keheningan dan kebeningan tafakur, ia tatap dengan kritis arus pemikiran agama dominan yang, dengan meninggalkan dunia ramai, kini secara lahiriah telah ia tinggalkan pula. Tentang bagaimanana ia akhirnya berhasil mengatasi krisis itu, ia mencatat sebagai berikut, “Penyakit itu pun kian merajalela. Hampir selama dua bulan, terpepet oleh kondisi yang ada dan bukannya berdasarkan logika yang sehat, aku meniti jalur kaum sofis. Kondisi itu berlangsung hingga Allah menyembuhkan sakitku itu, hingga jiwaku pun kembali sehat dan normal kembali. Hasil daya pikir pun kembali dapat diterima dan dipercaya penuh rasa aman serta yakin.
Semua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi. Juga, bukan karena adanya kata yang tersusun benar. Tapi, karena adanya cahaya yang diturunkan Allah ke dalam kalbu. Yaitu, cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan. Jelasnya, siapa pun mengira bahwa iluminasi (kasyf) hanya tergantung pada dalil-dalil semata, sejatinya ia telah mempersempit karunia Allah yang demikian luas.”
Selepas itu, barulah Al-Ghazali naik haji. Seusai melaksanakan ibadah tersebut, dari Makkah Al-Mukarramah, pada 489 H/1096 M ia merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah ia menyusun karya puncaknya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Dan, kini, bagaimanakah pesan Al-Ghazali kepada seseorang yang bermaksud melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji?
Nah, dalam Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, tokoh yang seorang ulama dan pemikir terkemuka itu dengan begitu indah mengemukakan catatan dan pesannya kepada orang yang berniat melaksanakan melaksanakan ibadah haji atau umrah ke Makkah Al-Mukarramah. Tentang persiapan ruhaniah yang perlu disiapkan seseorang yang bermaksud menunaikan kedua ibadah tersebut, dalam karya besarnya itu ia antara lain berpesan:
“Wajar, bila seseorang yang akan menapakkan kaki menuju Baitullah tak menyia-nyiakan kunjungannya. Juga, kiranya ia berharap, maksud kunjungannya adalah untuk mendapatkan anugerah pada Hari Kembali yang ditentukan atas dirinya. Yaitu, memandang wajah Allah Yang Maha Mulia di tempat ketetapan pada saat mata yang picik tak siap menerima pandangan terhadap wajah Allah Swt. Juga, tak kuasa menanggungnya serta tak bersedia berhiaskan dengannya, karena kepicikan pandangannya. Di negeri akhirat, manakala pandangan itu ditopang oleh kekekalan dan dibersihkan dari seluruh penyebab perubahan dan kebinasaan, tentu ia menjadi sedia untuk memandang dan melihat wajah-Nya.
Namun, dengan bermaksud mengunjungi Baitullah dan memandanginya, tentu ia berhak bertemu dengan Yang Memiliki Baitullah, berdasarkan hukum perjanjian yang mulia. Karena itu, tak mustahil kerinduan untuk bertemu dengan Allah Swt. juga merupakan kerinduan terhadap pelbagai penyebab pertemuan itu. Di samping itu, juga karena mencintai sesuatu akan membangkitkan kerinduan terhadap segala sesuatu yang dinisbatkan pada sesuatu yang ia cintai. Baitullah, yang dinisbatkan kepada Allah Swt., wajar bila dirindukan semata karena adanya penisbatan itu. Lebih-lebih bila untuk meraih pahala banyak yang dijanjikan.”
Tentang tekad untuk melaksanakan ibadah di Tanah Suci, baik ibadah umrah maupun ibadah haji, tokoh yang pernah menapakkan kaki dan memasuki Bagdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah, sebuah perguruan terkemuka di Bagdad pada Masa Pertengahan itu mengemukakan, manakala seseorang telah memancangkan tekad untuk bertolak ke Tanah Suci, hal itu berarti ia telah berniat bulat akan berpisah dengan keluarga dan tempat tinggal. Juga, ia telah berniat akan meninggalkan hawa nafsu dan kesenangan serta mengarahkan diri sepenuhnya menuju Baitullah. Tokoh itu juga menyarankan, hendaknya dalam kalbu calon peziarah Tanah Suci tumbuh sikap mengagungkan kedudukan Baitullah dan kedudukan Yang Memiliki Baitullah. Demikian halnya hendaknya ia mengetahui bahwa ia telah bertekad menuju sesuatu yang tinggi kedudukannya dan penting keadaannya.
“Sejatinya, barang siapa mendambakan sesuatu yang agung, niscaya keagungan tersebut akan mekar dalam kalbunya,” demikian ucap Al-Ghazali. “Karena itu, hendaknya ia menjadikan tekadnya ikhlas sepenuhnya. Demi Allah Swt. semata dan lepas sepenuhnya dari paduan dengan sikap menonjolkan diri dan keinginan disanjung orang. Juga, hendaknya ia meyakini bahwa orang yang bermaksud beramal tak akan diterima selain dengan ikhlas karena-Nya semata. Sejatinya, sebagian dari kekejian yang paling buruk adalah pergi menuju Baitullah dan Tanah Haram, tapi maksudnya yang sejatinya adalah lain. Karena itu, hendaknya ia meluruskan tekad dalam dirinya dan membetulkannya dengan kalbu yang ikhlas. Keikhlasan bakal timbul dengan menjauhkan diri dari sikap ingin menonjolkan diri dan perasaan bangga yang membara dalam diri. Untuk itu, hendaknya ia waspada agar tak menggantikan sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk.
Sementara maksud memutuskan seluruh hubungan ialah mengembalikan seluruh hak orang lain yang diperoleh dengan secara tak sah dan bertobat dari seluruh perbuatan maksiat dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt. Sebab, setiap tindakan aniaya sejatinya senantiasa memiliki kaitan. Setiap kaitan laksana orang yang berutang yang hadir yang digantungi kain yang diikatkan di lehernya. Lalu, ia dipanggil dan ditanya, “Hendak pergi ke mana Anda? Apakah Anda bermaksud menemui Sang Maharaja? Bukankah Anda telah menyia-nyiakan perintah-Nya di tempat Anda ini, melecehkannya, dan mengabaikannya? Apakah Anda tak malu datang menghadap kepada-Nya laksana seorang hamba yang durhaka, lantas Dia menolak kedatangan Anda dan tak menerima Anda? Bila Anda menghendaki agar kunjungan Anda diterima, kembalikanlah seluruh hak orang lain dan bertobatlah kepada-Nya dari seluruh perbuatan maksiat! Lantas, putuskanlah hubungan Anda, sehingga Anda tak lagi berpaling ke belakang! Ini agar Anda dapat berhadapan dengan-Nya sepenuh hati Anda, seperti halnya ketika Anda berhadapan dengan Rumah-Nya dengan lahiriah tubuh Anda. Bila Anda tak melaksanakan hal yang demikian, pertama-tama tiada yang Anda dapatkan dari perjalanan Anda selain kepenatan dan kesengsaraan, sedangkan pada akhirnya Anda akan diusir dan ditolak.”
Lebih jauh Al-Ghazali berpesan, hendaknya orang yang akan bertolak ke Tanah Suci memutuskan hubungan dengan tempat asal, bagaikan tindakan seseorang yang memutuskan diri dari-Nya. Juga, hendaknya ia mengandaikan tak akan kembali lagi. Karena itu, hendaknya ia menuliskan wasiat kepada anak-anak dan keluarganya. Sebab, orang yang meniti perjalanan jauh sejatinya hartanya dalam bahaya, kecuali orang yang dipelihara Allah Swt. Ketika ia telah memutuskan seluruh hubungan karena perjalanan ke Tanah Suci, hendaknya ia ingat bahwa pemutusan seluruh hubungan ia lakukan karena ia hendak melakukan perjalanan ke akhirat. Ini karena perjalanan yang demikian itu tak akan lama lagi akan berada di hadapannya.
Kini, bagaimanakah sebaiknya tentang bekal bagi seseorang yang akan bertolak ke Tanah Suci?
“Hendaknya bekal itu didapat dari hal-hal yang halal,” demikian pesan Al-Ghazali. “Manakala seseorang merasa dirinya masih berupaya memperbanyak bekalnya, masih memburu bekal yang masih tersisa selama di tengah perjalanan, sedangkan sikap dan tindakannya yang demikian tak berubah dan sirna sebelum meraih sesuatu yang dimaksudkan, hendaknya ia ingat bahwa perjalanan di akhirat lebih panjang daripada perjalanan ini dan perbekalannya adalah takwa. Selain itu, sesuatu yang dikira bekal sejatinya akan ditinggalkan ketika mati dan juga akan mengkhianatinya. Karena itu, bekal itu tak akan senantiasa menyertainya, bagaikan makanan basah yang busuk pada permulaan tempat persinggahan selama di tengah perjalanan. Akibatnya, ketika saat diperlukan tiba, ia kebingungan dan memerlukan sesuatu yang menjadi berada di luar jangkauannya. Di samping itu, hendaknya ia waspada atas seluruh amal perbuatannya yang akan menjadi bekalnya ke akhirat yang tak jadi menyertainya selepas mati. Malah, dirusak oleh sikap ingin menonjolkan diri dan kekotoran kelengahan.”
Di sisi lain, tentang mengapa seseorang harus mengenakan pakaian ihram ketika ia sedang melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji, Al-Ghazali mengemukakan, “Hendaknya dengan hal itu mengingatkan pemakainya pada kain kafan dan ia akan dibalut dengan kain itu. Sejatinya, ketika mendekati Baitullah, ia akan terbalut dengan dua helai kain ihram itu. Tapi, perjalanannya itu bisa saja tak sempurna dan tak mustahil pula ia akan bertemu Allah Swt. dalam keadaan terbalut kain kafan itu. Karena itu, seperti halnya ia tak menjumpai Baitullah kecuali dalam keadaan yang di luar kebiasaannya, begitu pula ia hendaknya tidak akan menjumpai Allah Swt. selepas mati kecuali dalam pakaian yang berbeda dengan pakaian yang ia kenakan selama di dunia. Dan, pakaian ihram mirip pakaian kafan, karena pakaian ihram tanpa jahitan seperti halnya kain kafan…”
“Selanjutnya,” demikian tokoh yang melewatkan usia senjanya di tempat kelahirannya hingga ia menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumada Al-Tsaniyyah 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, Al-Iqtishâd fî Al-I‘tiqâd, Ayyuhâ Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalâl, Maqâshid Al-Falâsifah, dan Tahâfut Al-Falâsifah, itu mengakhiri pesan indahnya, “ketika meninggalkan kampung halaman, hendaknya ia mengetahui bahwa ia kini berpisah dengan keluarga dan tempat asalnya serta menghadapkan diri kepada Allah Swt. dalam suatu perjalanan yang tiada persamaannya dengan pelbagai perjalanan di dunia. Karena itu, hendaknya ia memancangkan dalam kalbunya, dalam kaitannya dengan sesuatu yang ia kehendaki, ke mana arah yang ia akan tuju dan siapa yang akan ia ziarahi: kini ia menghadap Sang Maharaja bersama duyunan para peziarah yang mengunjungi-Nya. Mereka mendapat panggilan dan memenuhi panggilan itu, dirindukan lalu merindukan, diminta bangkit lalu bangkit dan memutuskan seluruh ikatan serta berpisah dengan seluruh manusia. Lalu, mereka menghadapkan diri ke Rumah Allah yang agung perintah-Nya, yang mahabesar keadaan-Nya, dan mahatinggi kedudukan-Nya, merasa gembira bertemu dengan Baitullah sebagai ganti bertemu dengan Yang Memilikinya hingga mereka berhasil meraih puncak cita-cita mereka dan merasa berbahagia memandang Yang Maha Menguasai mereka.”
Betapa indah pesan-pesan Al-Ghazali!(arofiusmani.blogspot.com/)
Sunday, September 25, 2011
Pengemis dan "Burung Merak Para Ulama"
“Apakah semua pengemis memang berniat mengemis? Tiadakah di antara mereka pengemis yang berhati mulia seperti seorang pengemis yang pernah membuat Al-Junaid merasa bersalah?”
Entah kenapa, pertanyaan yang demikian tiba-tiba “mencuat” dalam benak saya, tadi pagi 25 Sepetember 2011, seusai membaca sebuah tulisan tentang mafia pengemis di sebuah media elektronik. “Ah, tentu saja pengemis yang pernah membuat Al-Junaid segera melakukan introspeksi itu tidak akan pernah ada lagi,” jawab saya segera ketika menyadari pertanyaan yang muncul mendadak tersebut.
Siapakah Al-Junaid yang pernah dibikin TKO (technical knockout) oleh pengemis itu? Juga, bagaimanakah kisah antara dirinya dan si pengemis itu?
Al-Junaid, tokoh yang satu ini, tentu kini tidak banyak lagi yang mengenalnya. Mengapa? Ini karena tokoh yang mendapat gelar “Burung Merak Para Ulama”, alias Thawus Al-‘Ulama’ ini hidup pada abad ke-3 Hijriah/9 Masehi. Dengan kata lain, tokoh yang satu ini muncul sebelum kemunculan Abu Hamid Al-Ghazali, seorang sufi, pemikir, dan tokoh yang terkenal dengan karya besarnya berjudul Ihya’ ‘Ulum Al-Din. Nah, Al-Junaid yang satu ini bernama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Khazzaz Al-Nihawandi. Putra seorang pedagang pecah belah yang berdarah Iran ini lahir di Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ibundanya adalah saudara perempuan Sari Al-Saqathi, seorang sufi terkemuka pada masa itu yang kemudian menjadi gurunya. Di samping itu, ia juga menimba ilmu kepada Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, juga seorang sufi terkemuka kala itu. Dan, ia memerdalam ilmu fikih atas mazhab Abu Tsaur, seorang sahabat Al-Syafi‘i.
Dalam tasawuf, Al-Junaid mewakili aliran moderat. Dengan kata lain, ia mewakili tasawuf para fuqahâ’ yang mendasarkan diri pada Al-Quran dan Sunnah. Di samping itu, ia juga dipandang sebagai seorang tokoh penting dalam sejarah tasawuf. Ini karena pendapat-pendapatnya yang kaya, sikapnya yang memadukan antara syariah dan hakikat, dan termasuk kelompok sufi yang tidak suka menyatakan ungkapan-ungkapan yang ganjil. Malah, ia lebih mendahulukan kesadaran ketimbang kondisi ketidaksadaran (trance) dan lebih mendahulukan kebakaan ketimbang kefanaan. Demikian halnya ia seorang guru yang terkenal dan mempunyai banyak murid yang ia ajari tasawuf serta ia tunjuki wawasan tentang kesempurnaan ilmu ataupun amal. Dan, ia juga mendirikan sebuah aliran yang terkenal dalam tasawuf yang metodanya kelak diikuti Al-Ghazali, pemikir yang sufi terkemuka, dan Al-Syadzili, pengasas Tarikat Syadziliyyah.
Menurut sufi yang berpulang kepada Sang Pencipta di Baghdad pada 298 H/909 M ini, amaliah seorang sufi harus melaksanakan tiga rukun amal. Pertama, melaksanakan secara konsisten dzikir tanpa pernah berhenti dan disertai tekad serta kesadaran penuh. Kedua, memertahankan tingkat kegairahan (wajd) yang tinggi. Ketiga, senantiasa melaksanakan syariah secara tepat dan ketat.
Nah, pada suatu hari, Al-Junaid diberi kesempatan untuk memberikan pengarahan kepada khalayak ramai di sebuah masjid di Baghdad Darussalam. Ketika ia sedang asyik berpidato dengan penuh semangat, tiba-tiba salah seorang di antara hadirin berdiri dan mulai mengemis di antara mereka. “Orang itu kok kelihatannya cukup sehat,” ucap Al-Junaid dalam hati seraya menghentikan pidatonya sejenak. “Bukankah dengan tubuh sehat demikian, ia dapat mencari nafkah. Tapi, mengapa ia mengemis dan menghinakan diri seperti itu?”
Malam harinya, ketika tidur, Al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung. “Makanlah, Al-Junaid!” sebuah suara memerintah Al-Junaid. Ketika Al-Junaid mengangkat tudung itu, terlihat olehnya si pengemis terkapar di atas piring.
“Aku tidak mau makan daging manusia,” Al-Junaid menolak seraya menundukkan kepalanya.
“Lo, bukankah itu yang kau lakukan kemarin, ketika kau berpidato di hadapan khalayak ramai?”
Al-Junaid segera menyadari, ia bersalah karena telah berbuat fitnah dalam hatinya. Karena itu, ia pantas dihukum. “Aku pun tersentak bangun dalam keadaan takut,” tutur Al-Junaid.
Segera, Al-Junaid bersuci dan melakukan shalat sunnah dua rakaat. Selepas itu, ia pergi mencari si pengemis. Ia dapatkan si pengemis sedang berdiri di tepi Sungai Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Melihat Al-Junaid mendatanginya, si pengemis lantas mengangkat kepalanya dan berucap kepada Al-Junaid, “Al-Junaid! Sudahkah kau bertobat karena telah berburuk sangka terhadap aku?”
“Sudah, saudaraku, ” jawab Al-Junaid dengan suara lirih. Malu.
“Jika demikian, pergilah dari sini. Dia-lah Yang Menerima tobat hamba-hamba-Nya. Dan, jagalah hati dan pikiranmu,” ujar si pengemis.
Sebuah pelajaran indah dari si pengemis untuk kita semua, “Jagalah hati dan pikiran kita. Kepada siapa pun!” (arofiusmani.blogspot.com/)
Thursday, September 22, 2011
Sang Marsekal dan Sang Kolonel
“Sungguh, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasib mereka sendiri.” (QS Al-Ra’d [13]: 11).
“Dilema besar bagi Barack Obama,” demikian komentar Imam Shamsi Ali dalam facebooknya tadi pagi, 22 September 2011, tentang sikap presiden Amerika Serikat perihal masalah kemerdekaan Palestina. “Kata hatinya berbisik, 'kemerdekaan' adalah hak setiap manusia dan karenanya memiliki hak penuh untuk merdeka. Pidatonya yang mengutip berkali-kali Piagam PBB menjadi bukti 'bisikan nurani' itu. Namun, sebagai politisi dia sadar bahwa masa depan politiknya juga ditentukan 'realitas' di lapangan. Dan, idealisme ternyata tertelan pahit oleh kepentingan politik. Sekaligus menjadi kenyataan bahwa mendukung kemerdekaan Palestina, mesti melalui 'grass root movement' dengan mengubah peta kekuatan politik AS. Selama kekuatan politik masih terkendalikan oleh kelompok tertentu, selama itu pula jangan harapkan sikap politisi akan berubah terhadap isu klasik ini.”
Entah kenapa, ketika membaca komentar Imam Shamsi Ali (seorang Imam muda asal Indonesia di New York, Amerika Serikat) tersebut, beberapa lama saya termenung. Termenung, karena tersadarkan, betapa persoalan “konflik antara idealisme dan realitas” tersebut begitu kerap terjadi dalam kehidupan kita. Tidak hanya dalam kehidupan politik saja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dan, ternyata, tidak mudah “menaklukkan” realitas: tidak semudah membalikkan tangan. Diperlukan sikap teguh dan tidak mudah putus asa untuk dapat membuat realitas dapat diarahkan dan dikendalikan.
Entah kenapa pula, ketika merenung demikian, saya teringat kisah antara “sang Marsekal dan sang Kolonel”. Kisah itu mengajarkan kepada kita, betapa tidak mudah “menundukkan” realitas, karena itu diperlukan daya juang yang tidak mudah patah arang. Tidak seperti sikap sang Marsekal yang gampang tunduk pada realitas, sikap sang Kolonel jelas: tidak mau dipecundangi realitas dan terus berjuang, sehingga akhirnya ia berhasil meraih kemenangan. Nah, berikut adalah kisah antara “sang Marsekal dan sang Kolonel” tersebut:
“Saya datang untuk memeriksa pasukan ini,” ucap seorang perwira tinggi kepada seorang sahabatnya. “Saya tahu, sebenarnya kedatangan saya ini tidak Anda harapkan. Tetapi, apa yang dapat saya lakukan? Saya menerima perintah untuk memeriksa pasukan ini. Perintah itu saya patuhi, karena selama ini saya selalu patuh. Dengan cara demikian, saya berhasil meraih pangkat Marsekal.”
Sahabatnya tidak memberikan komentar apa pun. Semua orang tahu, sang Marsekal adalah orang yang selalu patuh. Tidak hanya terhadap atasannya saja, tapi juga terhadap realitas di hadapannya. Dan, tidak berapa lama kemudian, sang Marsekal diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Kini, sang Marsekal bertanggungjawab atas keamanan militer negerinya.
Pada suatu hari datang sebuah laporan, “Di Jerman kini muncul seorang tokoh baru bernama Adolf Hitler. Ia ingin membalas dendam kekalahan negerinya oleh negara kita dalam Perang Dunia I.” Menerima laporan demikian, sang Marsekal hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Jangan pedulikan omongan Hitler. Ucapannya hanya untuk konsumsi dalam negeri saja.”
Beberapa minggu kemudian datang lagi sebuah laporan: Hitler sedang menyusun kekuatan Angkatan Bersenjata Jerman dan melengkapinya dengan sederet pesawat tempur dan tank. Mendengar laporan itu, sang Marsekal tetap tidak tertarik dan berkomentar, “Pesawat terbang akan selalu jatuh ke Bumi. Sedangkan tank tidak menimbulkan bahaya apa-apa di medan pertempuran.”
Melihat sikap sang Marsekal yang demikian, seorang bawahannya yang berpangkat Kolonel tidak tahan lagi menahan perasaan sebalnya. Ucap sang Kolonel dengan menahan perasaan jengkel, “Marsekal! Pesawat tempur dan tank akan menjadi senjata andal dalam perang mendatang!” Jawab sang Marsekal, “Siapa bilang akan terjadi perang lagi? Kau tidak mengerti sedikit pun tentang perang. Kau anak yang baru lahir kemarin sore!”
Anak yang dikatakan “baru lahir kemarin sore” itu berusia 50 tahun dan bernama Charles de Gaulle. Sedangkan sang Marsekal bernama Henri Philippe Petain. Karena kepatuhan bagi sang Marsekal berarti segala-galanya, maka ia pun mengeluarkan memo supaya sang Kolonel tidak dinaikkan pangkatnya. Ternyata, Perang Dunia II kemudian benar-benar meletus. Serdadu-serdadu Hitler pun mulai memasuki kawasan Perancis. Pemerintah negara itu pun memanggil Menteri Pertahanan untuk dimintai pendapat. Nasihatnya jelas, “Kita harus tunduk kepada Hitler. Realitas lebih kuat daripada kita!”
Nasihat itu tidak aneh, karena keluar dari mulut seseorang yang selama hidupnya selalu tunduk dan patuh. Bila sebelumnya ia menyerahkan kepatuhannya kepada pribadi-pribadi, kini ia menyerahkannya pada realitas. Tiba-tiba sang Kolonel Charles de Gaulle muncul. Sejak semula ia menolak sikap menyerah terhadap realitas dan menolak patuh kepada sang Menteri Pertahanan. Ia tidak mau melaksanakan perintah atasannya itu. Dengan meninggalkan keluarganya, rumahnya, pangkatnya yang lumayan tinggi, dan kehidupannya yang cukup mapan, ia pergi ke Inggris dengan membawa kehormatan negerinya. Sedangkan sang Marsekal tetap tinggal di negerinya menghadapi realitas negerinya sedang dijarah serdadu-serdadu Hitler. Di Inggris, sang Kolonel menyatakan pemberontakannya terhadap realitas. Dari negeri itu, ia memulai perlawanan Perancis terhadap pendudukan Jerman. Sedangkan sang Marsekal, yang telah membentuk sebuah pemerintahan, segera menyatakan menyerah kepada pasukan pendudukan. Di negerinya sendiri.
Perancis pun terbelah di antara dua tokoh. Salah satunya tokoh yang memuja kepatuhan terhadap realitas. Sedangkan yang seorang lagi pembelot terhadap realitas. Yang pertama melihat apa yang ada di hadapannya sebagai realitas yang harus diterima. Yang kedua melihat perubahan atas realitas harus dimulai dengan melakukan pembelotan. Yang pertama berpandangan, nilai manusia (juga masyarakat) tidak melebihi harganya yang dinyatakan di pasar. Sementara yang kedua berpendapat, nilai manusia (juga masyarakat) dimulai dari kehendaknya, semangatnya, keyakinannya terhadap masyarakatnya, dan keteguhannya dalam memegang prinsip.
Akhirnya, menanglah prinsip atas realitas. Beberapa tahun kemudian, sang Kolonel memasuki Perancis dengan bendera kemenangan. Sedangkan kisah sang Marsekal berakhir bersama penyerahan pasukan pendudukan Jerman. Dan, lembaran sejarah menorehkan, betapa sering suatu masyarakat memerlukan sejumlah anggotanya yang mampu memukul lonceng peringatan. Yakni, peringatan terhadap bahaya sikap menerima dan menyerah terhadap realitas. Juga, terhadap sikap menolak kemungkinan dilakukannya perubahan terhadap realitas yang ada.
Bagaimana dengan sikap Anda dalam menghadapi realitas yang sedang Anda hadapi dan berlawanan dengan idealisme Anda? Silakan memilih: mau menjadi “pengikut” Sang Marsekal atau mau menjadi “pendukung kuat” Sang Kolonel!(arofiusmani.blogspot.com/)
Friday, September 16, 2011
Kado untuk Seorang Maestro
Entah kenapa kemarin, Kamis 15 September 2011, selepas jemari tangan tidak lagi mau diajak “menari-nari” di atas keyboard, pandangan saya terarah ke tumpukan paling bawah majalah-majalah “tempo doeloe” di bawah meja kerja saya. “Wow, majalah-majalah Kiblat awal tahun-tahun 1990-an”, begitu pandangan saya bertumbukan dengan tumpukan majalah-majalah yang sangat saya kenal.
Melihat majalah-majalah lusuh awal tahun-tahun 1990-an itu, segera saja kedua tangan saya ber”hijrah” dari keyboard menuju tumpukan majalah-majalah itu. Satu demi satu majalah-majalah lama itu saya buka kembali. Segera pula, dalam benak saya, muncul deretan sosok para sahabat yang pernah berkontribusi bersama dalam mengelola Majalah Kiblat itu. Kini, mereka bertebaran di pelbagai bidang: ada yang menjadi direktur utama sebuah perusahaan pembangkit tenaga listrik, dokter spesialis jantung, direktur utama sebuah perusahaan IT, ahli geologi, mantan anggota DPR, editor senior, arsitek, penulis, ahli ekonomi yang doktor jebolan Jepang, direktur sebuah rumah batik, direktur usaha agri-food, dosen, dan seniman yang pelukis.
Selepas mencermati satu demi satu majalah-majalah tersebut, entah kenapa mata saya kemudian tidak mau beranjak dari sebuah wawancara menarik dan panjang dengan seorang maestro masjid Indonesia: Achmad Noe’man. “Wow, ini wawancara lama, tapi indah!” Wawancara (yang tidak tercatat dilakukan siapa, tapi seingat saya oleh Dian R. Basuki dan M. Syamsuddin Dahlan, dua insinyur muda lulusan Institut Teknologi Bandung) panjang itu yang dilakukan pada akhir 1988 itu demikian memikat dan indah. Betapa banyak pelajaran indah yang dapat saya ambil dari wawancara itu. Karena itu, pada kesempatan ini, izinkan saya menghadirkan kembali wawancara itu lengkap, sebagai kado ulang tahun dan penghormatan saya kepada seorang maestro masjid Indonesia yang bulan depan akan berulang tahun yang ke-87:
Paruh kedua abad ke-19. Sekelompok penduduk beriringan meninggalkan Kudus, kota yang terkenal dengan jenangnya itu. Mereka menuju Garut, sebuah kota kecil di Bumi Parahyangan. Dan, akhirnya, mereka menetap di sana. Haji Mas Djamhari, salah seorang di antaranya, menikah dengan mojang setempat. Lahirlah 13 orang putra. Di tengah kesibukannya berdagang batik, mengurusi kebun jeruk, dan bergumul dengan mesin cetak, ia tekun mendidik Noe’man kecil. Kini, ia dikenal sebagai seorang arsitek.
Kantor Birano, lepas zuhur. Usai shalat Jumat di Masjid Salman ITB, arsitek senior ini menyempatkan diri coret-coret di atas kertas. Bukan merancang bangunan, tapi menulis kaligrafi. Memang, itulah salah satu hobinya. Lalu, pria kelahiran Garut, 10 Oktober 1924, itu pun membuka percakapan.
Di zaman Belanda dulu, di Garut banyak hotel, pariwisatanya maju. Saya sekolah di HIS dan MULO, juga di kota ini. Sorenya, belajar di madrasah. Kemudian dilanjutkan di wustha, kalau sekarang ya setingkat dengan Madrasah Tsanawiyyah. Waktu itu umur saya baru 7-9 tahun. Agak susah juga, habis lagi senang-senangnya main bola. Di antara saudara saya, saya memang lain sendiri. Saya sering hilang dari rumah, ikut camping, tour, dan main bola.
Lepas dari MULO, saya tidak meneruskan ke AMS. Soalnya, di Garut gak ada AMS. Akhirnya, saya ikut kakak (Ahmad Sadali alm., seorang pelukis kondang) di Yogyakarta. Itu lho, di SMA Muhammadiyah Ketanggungan. Tahun 1945, zaman revolusi, saya masuk Divisi Siliwangi dan ditugaskan di Jakarta sambil sekolah di SMA Republik.
Mulai kapan Pak Noe’man meminati arsitektur? Sejak kecil?
Ya,ya, dari kecil. Memang, sebetulnya dari kecil saya sudah punya keinginan membuat rencana-rencana rumah. Ayah sendiri senang membangun. Beliau juga menaruh perhatian terhadap perkembangan ummat, seperti mendirikan madrasah, mushalla, dan masjid. Jadi, dari dulu saya ikut menggambar masjid. Apalagi arsitektur itu kan dekat dengan seni. Saya senang, kan lingkungan seni itu ada keluarga saya. Nenek, ibu, dan ayah sendiri saudagar, bisnisnya batik. Barang kali itu banyak memengaruhi saya.
Kapan masuk ITB?
Tahun 1948. Sebenarnya belum ITB. Waktu itu namanya Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Dulu belum ada Jurusan Arsitektur. Yang ada Civil Afdeling, bagian bangunan. Tapi, saya tidak senang. Bayangkan, kita diajari macam-macam, dapat elektro, dapat motoren…apa itu…ya urusan rel kereta api. Arsitekturnya sedikit. Nah, kebetulan terjadi Clash II. Waktu itu Belanda menyerbu Yogya. Saya dipanggil lagi, juga teman-teman yang lain. Saya ikut daripada sekolah tapi gak senang. Saya diminta masuk CPM, Coprs Polisi Militer.
Sampai kapan di militer?
Sampai tahun 1952. Karier militer itu saya sukai. Soalnya banyak decision making dan challenge, barang kali. Juga, karena sering di lapangan, di alam, begitu. Memang, saya suka sesuatu yang menantang dan agak keras. Tapi, mudah-mudahan sikap suka kekerasan itu sudah gak ada lagi, he-he-he.
Terus, tahun 1952 juga, teman-teman mengatakan di di Sipil akan dibuka Bagian Arsitektur. Nah, saya lalu mengundurkan diri dari militer. Alasan saya mau melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Boleh saja, kata komandan saya. Pangkat saya Letnan Dua. Waktu itu, pangkat kan milih sendiri, he-he-he. Mau kapten, mau mayor, atau apa, asal sesuai dengan kemampuan masing-masing. Saya dulu di CPM Bandung, di bawah Mayor Rusli, yang kemudian menjadi Direktur Arafah Lloyd.
Kapan selesai studi di Arsitektur?
Saya lulus tahun 1958. Jadi, angkatan pertama. Teman-teman belajar saya cuma lima orang. Jadi, betul-betul diperhatikan oleh profesornya. Teman-teman saya itu Melani Abu Thalib, Sukartono Susilo, yang sekarang mengajar di Unpar, Rimi Dengdeng, dan Kweng Huan, sekarang di Belanda. Kami masih berhubungan sampai sekarang.
Sesudah lulus terus ke mana?
Begitu selesai, saya diminta meneruskan sekolah di Kentucky (Amerika Serikat), mengambil program master. Dulu kan banyak teman sebaya yang dikirim belajar. Soalnya, banyak guru dari Belanda yang pulang, sekitar 1953-1958. Teman-teman tersebar di Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pak Noe’man jadi mengambil program master?
Nggak. Waktu itu banyak pilihan, antara lain jadi guru. Tapi, saya bertanya-tanya, bakat gak ya jadi guru? Pikir-pikir gak pas begitu. Tapi, toh sampai sekarang tidak lepas dari mengajar dan belajar. Umpamanya, sekarang mengajar, tidak di Arsitektur, tapi di Seni Rupa. Ingat kan hadis Rasulullah yang terkenal itu, ‘Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang kubur.’ Itu kan life-long education.
Lalu keterusan di bidang itu?
Karena saya milih, saya senang sekali bidang arsitektur itu. Kan di situ ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal saleh. Jadi, hidup itu bisa duduk dengan kertas saja. Modalnya ya hanya potlot dan kertas. Dimulai dengan Bismillah, sesudah itu berkarya.
Sayyidina ‘Ali kan mengatakan bahwa kita mesti tahu diri. Saya itu bidang bicara kan tidak berbakat. Apalagi, di zaman sekarang tabligh kan bisa bermacam-macam caranya. Nah, dengan pensil dan kertas itu saya bisa berdakwah. Itu bagi saya. Dakwah itu kan, menurut keyakinan saya, fardhu ‘ain, karena itu kan mengubah keadaan yang jelek menjadi baik. Membersihkan selokan itu dakwah juga. Hanya saja, yang satu barang kali bi lisan al-maqal, yang lain bi lisan al-hal.
Lalu?
Juga Surah Luqman ayat 20 misalnya, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan nikmat-Nya lahir dan batin.” Menurut saya, ini ayat teknologi untuk abad ke-20. Di situ juga disebutkan, akan disempurnakan nikmat-Nya lahir dan batin. Tetapi, nikmat itu nggak bakal tercapai kalau tanpa ilmu pengetahuan, petunjuk, dan Kitab-Nya yang memberi penerangan. Ya, kalau nikmat materi atau lahir, mungkin. Tapi, bagaimana dengan nikmat batin? Itu tak akan tercapai tanpa ilmu, tanpa petunjuk-Nya. Nah, bagi saya, ayatnya ya kayu, ya kerikil…
Kapan Birano didirikan?
Tahun 1958. Waktu arsitek belum banyak dikenal. Bahkan, arsitek dikenal sebagai anemer saja. Padahal, pengertiannya kan beda. Nama itu saya ambil dari nama saya: Biro Arsitek Achmad Noe’man. Biar jelas. Kalau bangunannya berhasil, ya alhamdulillah nama saya ada. Kalau gagal, nama saya juga ada. Jadi, saya nggak sembunyi di balik nama, kan. Itu barang kali untuk dorongan juga. Jadi, bukan untuk, ah… na’udzu billah min dzalik, misalnya ingin terkenal. Sama sekali tidak. Kalau berhasil ya syukur, kalau gagal ya bisa mengoreksi diri.
Pernah gagal?
Gagal itu misalnya ambruk? Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada yang salah hitung.
Kapan Pak Noe’man menikah?
Saya menikah tingkat tiga, waktu masih belajar di Bagian Arsitektur. Saya kan tinggal di Rumah B asrama ITB. Ceuceu (panggilan Ibu Noe’man) kan tinggal di sini (Jl. Ganesa No. 3, kantor Birano). Kebetulan saya senang basket, Ceuceu juga. Lalu, ada pekan olah raga nasional dan bertemulah di situ. Ceuceu sekolah di Fakultas Hukum. Nah, saya jadi ingat hadis Rasulullah, “Belumlah menjadi ummatku yang sempurna kalau belum menikah.” He, he. Jadi, apa boleh buat, tingkat tiga menikahlah saya. Anak saya yang tertua, si Irvan itu, jadi anak mahasiswa, bukan anak insinyur. Tapi, alhamdulillah, nggak ada hambatan, studi lancar. Waktu itu saya sudah mencari nafkah sendiri, jadi tukang kayu. Saya kan senang juga sama furniture. Tahun 1958 saya wisuda.
Birano didirikan 16 Juli 1960. Mengambil di sayap kiri rumah kediaman rumah mertuanya, Pak Noe’man memulai kariernya dengan karya pertama pelabuhan penumpang, Pelabuhan II Tanjung Priok, Masjid Muhammadiyah di Garut, dan galangan kapal di Ujung Pandang. Semuanya diselesaikan tahun 1960-1961.
Hingga saat ini (1989), Pak Noe’man masih menjadi anggota Majelis Arsitek IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), anggota Dewan Kehormatan INKINDO (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia), anggota PII (Persatuan Insinyur Indonesia), dan Ketua Yayasan Pendidikan Islam UNISBA Bandung. Pria yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris ini memang sudah menempuh perjalanan karier yang panjang. Puluhan karya arsitektur telah lahir dari tangannya.
Bagaimana seharusnya sikap seorang arsitek?
Seorang arsitek itu, menurut saya, pertama, harus memiliki kepribadian yang jujur. Yang kedua, dia harus independen. Dan yang ketiga, dia harus kompeten. Seorang profesional harus begitu. Identitas ada, kompeten, dan independen. Banyak kan hadis Rasul yang mengarah pada kejujuran, integritas. Tapi, arti profesional sekarang kan merepotkan, he, he, he. Misalnya itu, ah nggak usahlah. Pokoknya kita itu harus integralis, kalau meminjam istilahnya Pak Armahedi (Armahedi Mahzar, penulis buku Integralis, Sebuah Buku Rekonstruksi Filsafat Islam).
Lebih jelasnya?
Begini, etika itu kan mungkin relatif, tapi bisa saja kan universal, artinya siapa pun bisa menerimanya. Seperti itu tadi, kompetensi. Kompetensi itu ya tidak akan mengatakan aku serba bisa, tetapi kita sanggup dan mampu. Nah, kalau itu bukan keahlian kita, kita mesti berani mengatakan saya nggak bisa. Saya rasa itu jelas. Kemudian independen. Sebetulnya kita ini independen kok, kecuali dalam kaitannya dengan Allah. Lainnya kita harus punya sikap, identitas. Saya rasa dalam konsep-konsep seni, kalau kita itu menjiplak, itu plagiat namanya. Kalau dikaitkan dengan Islam, menjiplak itu tidak ada. Itu tak sesuai dengan “fastabiqul khaurat”, berlomba-lombalah dalam kebaikan. Di situlah pengertian kreatif, suatu tindakan kebajikan atau khair. Untuk kemanusiaan.
Arsitek juga begitu. Saya kategorikan pekerjaan arsitek itu memang menantang untuk ber”fastabiqul khairat”. Tiap saat ada kok etik tidak boleh menjiplak. Ini artinya kan kejujuran, integritas. Iya toh?
Bagaimana konsep arsitektur Pak Noe’man?
Kalau yang ini nggak lepas dari background saya sebagai Muslim. Ada satu ayat menarik. Sudah saya tanyakan kepada salah seorang ulama, tapi beliau tak setuju dengan tafsiran saya. Itu lho, Surah Al-Baqarah ayat 170.
Yang diturunkan Allah itu kan ilmu, di antaranya. Tapi, yang kita timba mungkin saja tidak semuanya yang diturunkan Allah. Jadi, mungkin saja kan kita salah. Karena itu, Allah memberi peringatan. Kamu jangan sok benar. Yang kamu anggap benar itu belum tentu benar, begitu kan hardikan Allah kepada orang yang keras kepala. Barang kali yang dicemoohkan itu yang lebih benar. (Lalu Pak Noe’man mengambil Al-Quran berukuran besar). Ini ayatnya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apa dan tidak mendapat petunjuk?”
Lalu hubungannya dengan kegiatan Pak Noe’man?
Nah, itu kan, kita sebagai arsitek, lebih-lebih saya, diperingatkan oleh ayat ini. Misalnya begini, nenek moyang kita kan memakai joglo. Itu memang cocok dengan bentangan rumah dengan ukuran selebar itu, dan saya interesan. Untuk rumah Jawa yang tanpa tiang, itu indah sekali. Apalagi untuk iklim tropis. Juga tanpa plafon, tanpa sirip, jadi udara mengalir langsung. Itu cocok untuk iklim tropis. Lalu, apa itu… kayunya, teksturnya, warnanya. Memang indah sekali. Tapi, kalau bentangannya sudah dua kali rumah tradisional itu, kita harus mempertahankan joglo itu, apa bisa?
Bagaimana dengan masjid?
Tentang masjid yang harus dengan kubah itu tidak ada aturannya. Bukannya saya anti-kubah. Sama sekali bukan. Tapi, kalau kubah just for the symbol, agak dipaksakan jadinya. Padahal, sebenarnya masih ada ilmu lain yang lebih struktural, yang lebih murah, lebih kuat. Jadi, dengan ayat tadi, bismillah gitu ya, kita merombak. Semuanya itu kan berubah. Yang abadi kan cuma Allah. Apalagi buatan manusia, tiap waktu kan harus diperbaiki, harus direvisi.
Tentang Masjid Salman?
Tahun 1959, saya merancang Masjid Salman. Waktu itu sudah lulus. Yang namanya arsitek bisa dihitung dengan jari. Ada peristiwa menarik, nih. Sekarang ini, mahasiswa yang tidak shalat justru aneh. Kalau dulu, justru yang shalat dianggap aneh. Teman-teman itu ya bilang, wah… salam ya pada Tuhan. My greetings to God. Ya, kita acuh saja. Bayangin saja, ya. Yang namanya kampus, di ITB lagi, harus membuat masjid. Akhirnya saya bongkar-bongkar literatur arsitektur.
Terus?
Akhirnya saya sempat naik haji. Mampir ke Regent Park di London, waktu itu belum jadi. Lalu ke Bonn, Muenchen, ke Hagia Sophia. Saya mencari acuan. Ketemu Surah At-Taubah ayat 108. Jangan kita membuat masjid yang mengakibatkan riya’, gitu kan. Saya justru mencari nilai-nilai yang universal, yang transendental. Jadi, saya hilangkan itu bentuk kubah. Memang, berat juga waktu menghilangkan kubah dari rancangan saya. Itu kan ciri kita, katanya.
Kalau saya pulang dari Jakarta ke Bandung, di gunung hijau itu kan ada kubah. Itu harus saya hilangkan, itu berat kan. Tapi, masalahnya saya tahu, itu nggak ada fungsinya. Kalau ada kesempatan membuat masjid, gitu ya, sebenarnya saya ingin juga memakai kubah. Itu kalau structurally honest, jadi bukan… Kubah itu kan ditiru dari kubah zaman abad ke-12, bangsanya Taj Mahal. Di Turki kan banyak. Ekspresi kubah di sini kan umpamanya makai seng, alumunium. Itu nggak jujur, secara struktural, nggak jujur. Itu hanya memenuhi bentuk saja. Bahkan tidak awet. Lebih baik pakai genteng, seperti Masjid Kudus.
Lalu bagaimana alternatifnya?
Yah, sebenarnya ada ungkapan yang lebih islami, seperti kecil itu indah, form follows function, atau bentuk mengikuti fungsi, gitu ya. Nah, itu barang kali hasil renungan tersendiri, kata-kata hikmah itu pasti ada dasarnya. Orang kan mungkin saja sampai ke nilai transendental. Einstein kan sampai juga tuh. Ya, Tuhan menciptakan kita untuk menjadi khalifah. Khalifah kan bukan kita saja. Pada setiap manusia kan ditiupkan ruh. Akhirnya saya mikir, pengalaman semacam itu menggugah.
Di usianya yang hampir 62 tahun (kini 87 tahun), Pak Noe’man masih tampak gagah dan kelihatan awet muda. Dengan tinggi 170 cm, bobot badannya yang 80 kg itu memang agak berlebihan. Pak Noe’man pun senantiasa tampil dalam kesederhanaannya.
Pak Noe’man punya hobi olahraga?
Yah, sport, saya senang sekali. Apalagi waktu muda. Macam-macamlah. Lebih-lebih sepak bola, basket, baseball, dan volley. Dulu, kalau main bola di luar kota saja lebih baik nggak ikut ujian. Nggak apa-apa, ujian bisa lain waktu. Tapi saya jarang menjamah tenis. Untuk waktu itu sudah terlalu mahal, kan. Apalagi golf… he, he, he, nggak pernah, sampai sekarang. Bukan nggak senang, tapi nggak bisa, gitu ya.
Sekarang olahraga apa?
Yang pasti jalan kaki, pagi setelah shalat Subuh, tiap hari. Paling tidak empat kali seminggu. Kalau di rumah sama anak-anak saya sediakan meja ping-pong. Kadang main ping-pong. Yang lainnya sih nggak sempat lagi.
Suka musik?
Kalau musik mah, segala macam saya suka.
Termasuk memainkannya?
Memainkan alat musik ya… Begini, yang dikuasai betul nggak, tapi saya senang biola, flute, gitar. Bisa gembreng-gembreng gitu saja. Bagi saya, musik itu alat mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta. Memang ada yang berkata musik itu haram, tapi kan tidak seluruh musik begitu. Contohnya begini, Paganini memainkan biolanya. Biola itu kan alat yang sederhana. Maksud saya, bahannya dari kayu, dawainya dari iron ware, bijih besi, mineral kan. Nah, itu bisa mengeluarkan bunyi yang indah. Itu kan harus disyukuri.
Saya jadi ingat dengan Surah Ali ‘Imrah ayat 190, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab…” Jadi, jelaslah Allah tidak sia-sia menciptakan daun, kayu, iron ware. Iron ware itu kan bijih besi, lalu bisa diolah menjadi baja, besi beton, dan macam-macam. Jadi, musik itu alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pak Noe’man juga menekuni kaligrafi, kan. Bagaimana ceritanya?
Tentang kaligrafi ya, saya rasa artinya itu khatt. Itu sebetulnya menulis indah. Kita tahu kaligrafi itu bermacam-macam, katakanlah mazhabnya. Ada naskhi, thuluts, diwani, kufi, jali tsuluts, farisi… banyak sekali. Ada 12 macam, saya nggak hafal. Yang saya sukai naskhi dan tsuluts, kufi juga senang. Kufi itu kan geometris, kalau naskhi itu betul-betul mengikuti ujung pena yang dipotong ujungnya. Kalau dulu dari kayu, dari bambu, jadi kalau dimiringkan (sambil memperagakan) hingga datar, karakternya juga akan datar. Betapa disiplinnya kita kalau menulis kaligrafi. Tsuluts itu kan anatominya wau, sin, dhad, alif, proporsional begitu dengan huruf yang lain. Itu eksak lho. Jadi, bukan sekadar menulis saja. Itulah, saya senang, karena indah dan disiplin.
Mungkin karena dekat juga dengan arsitektur?
Ya, betul… Lebih-lebih kalau kufi. Itu lebih geometris, seperti arabesk. Saya coba, saya senang. Ada orang mengatakan bahwa itu menyimpang dari keharusan menulis. Menurut saya sih, nggak ada itu yang namanya keharusan menulis, menyimpang atau apa. Kita harus membedakan antara tulisan yang akan dibaca dengan lukisan yang dinikmati keindahannya. Ini karya seni, bukan karya tulis dalam arti untuk dibaca saja. Masa kita menyampaikan pesan tapi tulisannya nggak bisa dibaca, itu kan lucu. Kalau kita membuat kaligrafi, itu kan sudah masuk ke world of arts, karya seni. Di situ ada keterkaitan antara harmoni, keseimbangan. Begitu, kan?
Tak ada Pak Noe’man tanpa sikap optimis. Sikap positif ini tumbuh berkat keyakinannya yang dalam terhadap Tuhan. Inilah ungkapan ceritanya tentang dialognya dengan Tuhan.
Shalat itu penting sekali. Dialog-dialog kita, kalau kita perhatikan, menyebabkan kita merasa kecil. Mula-mula takbir, lalu iftitah, dan seterusnya. Setiap hari kita mengatakan, “Alhamdulillah rabb al-‘alamin. “ Allah menjawab, “Kamulah yang memuji-Ku.” Itu kan dialog, shalat itu kan bukan meditasi. Harus sadar. Ingatkan yang dicontohkan Nabi. Memejamkan mata saja tidak boleh, harus melihat ke tempat sujud.
Buat orang setingkatan saya, nggak tahu untuk tingkatan lainnya, saya selalu meringankan bahwa shalat itu bukan ekstase. Ringan sekali. Ya itu tadi, dialog dan sadar.
Pak Noe’man merasakan dampaknya terhadap kegiatan bisnis?
Ya. Itu kan kita bawa juga ke dalam bisnis. Artinya, insya Allah, saya tidak usah gentar mencari rezeki. Itu kan ada di Surah Ali ‘Imran ayat 134-135, kan.
Kalau kita membuat sesuatu dengan penuh kecintaan, itu akan mendorong karier kita. Jelas kita mau mencari keridhaan Allah, tapi kan dinilai orang juga tuh. Ingat kan dengan hadis, “Bila seseorang meninggal dunia, yang dapat dibawa hanyalah tiga perkara: amal jariah, anak yang shaleh, dan ilmu yang bermanfaat.”
Nah, kalau kita mengutak-atik alat elektronika, itu juga dalam rangka ibadah tho. Jadi, bukan hanya wirid saja yang termasuk ibadah. Makanya buat yang muda, nggak usah khawatirlah, Anda kan sudah disiapkan begitu lama. Pokoknya, kerjakan apa yang bisa dipegang, sekecil apa pun. Jangan pingin langsung saja.
Arsitek senior berdarah Jawa-Sunda ini menikah dengan seorang mojang Priangan, Aceu Kurniasih Natapermana. Mereka dikaruniai empat anak: Irvan, Nazar, Fauzan, dan Ilma.
Barang kali bisa bercerita, siapa yang banyak berpengaruh terhadap perjalanan hidup Pak Noe’man?
Begini, saya selalu menasihati anak-anak saya tentang yang satu ini. Agar nggak kecewa, kita kembalikan uswah itu kepada yang satu, jadi pelajari itu kehidupan Nabi Muhammad Saw. Anda bisa terapkan ke profesi apa pun. Dari ketangguhannya, dari kejujurannya. Sebelum membuka bukunya Robinson Crusoe atau siapa saja, dia mesti hapal dulu betapa beliau itu menerima cobaan, betapa menderitanya beliau waktu di Thaif dan dilempari batu, betapa beliau memiliki perasaan menahan marah dan akhirnya mencapai tingkat muttaqin. Itu kan cita-cita kita semua. Tercapai atau tidak, itu soal lain. Tapi, latihan untuk mencapai itu kan mesti ada. Jadi, bagi saya yang ideal itu ya cuma satu, Nabi Muhammad Saw. Di dalam sains dan teknologi kita bisa saja menilai karya-karya orang, tapi kan tidak utama.
Sudahlah, kita jangan punya idola, jangan deh… Nanti bakal kecewa. Biasa-biasa sajalah. Akhirnya kan bisa timbul konflik batin. Orang yang dikagumi kok ternyata begitu. Jadi, satu-satunya uswah hasanah ya itu tadi: Rasulullah.
Pak Noe’man termasuk arsitek yang produktif. Ada resepnya?
Bagaimana ya? Tiap manusia itu kan diberi Allah kemampuan untuk bisa kreatif. Di bidang kita masing-masing sebenarnya banyak yang bisa digarap. Nah, itu jangan dilewatkan begitu saja. Itu kan jenjang hari depan, juga jenjang kreativitas.
Kita memang harus berkreasi, menciptakan sesuatu yang bermanfaat ya untuk dirinya maupun lingkungannya, untuk kemanusiaan. Lebih-lebih latar belakang kita kan Agama. Agama itu menyuruh sekali, sangat menganjurkan kita kreatif. Misalnya, Surah Al-Baqarah ayat 148 itu, “…Maka, berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan.” Itu mestinya dipupuk sejak kecil.
Terus?
Nah, semuanya itu kan butuh proses. Semua Muslim mesti menggunakan segenap kemampuannya, dari ilmu yang kita timba. Akhirnya kembali juga ke hadis, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang kubur”. Kaitannya antara belajar sepanjang hayat dengan proses kreatif itu dekat sekali. Makin banyak ilmu seharusnya makin kreatif. Lebih-lebih jika dilengkapi dengan iman dan amal saleh. Amal saleh itu boleh dikatakan kreativitas gitu ya.
Punya pengalaman menarik?
Oh, banyak, tapi ada satu yang mengesankan. Saya sudah cerita ya? Begini, anak saya itu kan kena musibah. Anaknya tinggi besar, lebih tinggi daripada saya. Saya tidak tahu kenapa mesti diberi cobaan seperti ini.
Dia itu kan kena glaucoma, yang biasanya menyerang orang tua dan bayi, bukan remaja seusia dia. Waktu itu umurnya baru 17 tahun. Kebetulan ada anak saya yang sekolah di Boston. Katanya, di Boston ada rumah sakit mata terkenal. Enam bulan sebelumnya saya pesan tempat. Lalu, berangkatlah saya, ibu, dan anak saya ke sana. Rumah sakitnya besar, ya soalnya penyakit mata kan macam-macam, ada katarak, ada trachoma… Sebelumnya sempat juga berobat ke Belanda.
Waktu menunggu, kita duduk di samping seorang ibu, orang Amerika. Sudah tua. Lalu, dia tanya, “Anda dari mana?” Kalau dari Indonesia nggak tahu, katanya. Akhirnya saya jawab, Bali. Nah, si ibu baru mengerti. Kenapa berobat jauh-jauh ke sini? Kebetulan kami ingin yang terbaik, jawab saya. Kami datang karena ingin berusaha memeroleh kesembuhan. Tahu-tahu dia pergi gitu, keliling. Terus nggak lama kemudian, dia balik lagi. Dia masukkan tangannya ke sini (Pak Noe’man menunjuk saku). Ternyata, dia itu keliling minta uang. Dia masukkan ke saku anak saya. Anak saya menolak, saya juga. “Nggak, saya tidak memberi tuan,” katanya. “Saya memberi anak tuan. Ini kan jauh dari negeri Anda.”
Nah, habis kejadian itu, saya mikir, betapa ya yang namanya mustahiq zakat itu kan ada delapan. Di antaranya musafir. Saya kan musafir, begitu toh? Kalau si ibu itu belajar agama kita, barang kali bisa cepat begitu ya, karena nalurinya sudah ada. Makanya, kita sebenarnya tidak boloeh mencemoohkan kafir segala macam. Saya merasakan betapa indahnya kejadian itu. Indah sekali.
Hari menjelang sore ketika kami pamit. Beliau hantarkan kami sampai ke pintu. Sementara di luar sudah menunggu dua orang rekanan Pak Noe’man. Sembari menyusuri Jalan Ganesa, dan sesekali menatap Masjid Salman ITB, terkesanlah keramahan Pak Noe’man. (Sumber: Majalah Kiblat, “Achmad Noe’man: Bagi Saya Ayatnya ya Kayu, ya Kerikil…”, Edisi No. 02, Thn. XXXVI, Jakarta, 13-26 Januari 1989).(arofiusmani.blogspot.com/)
Subscribe to:
Posts (Atom)