Thursday, September 22, 2011

Sang Marsekal dan Sang Kolonel


Sungguh, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasib mereka sendiri.” (QS Al-Ra’d [13]: 11).

“Dilema besar bagi Barack Obama,” demikian komentar Imam Shamsi Ali dalam facebooknya tadi pagi, 22 September 2011, tentang sikap presiden Amerika Serikat perihal masalah kemerdekaan Palestina. “Kata hatinya berbisik, 'kemerdekaan' adalah hak setiap manusia dan karenanya memiliki hak penuh untuk merdeka. Pidatonya yang mengutip berkali-kali Piagam PBB menjadi bukti 'bisikan nurani' itu. Namun, sebagai politisi dia sadar bahwa masa depan politiknya juga ditentukan 'realitas' di lapangan. Dan, idealisme ternyata tertelan pahit oleh kepentingan politik. Sekaligus menjadi kenyataan bahwa mendukung kemerdekaan Palestina, mesti melalui 'grass root movement' dengan mengubah peta kekuatan politik AS. Selama kekuatan politik masih terkendalikan oleh kelompok tertentu, selama itu pula jangan harapkan sikap politisi akan berubah terhadap isu klasik ini.”

Entah kenapa, ketika membaca komentar Imam Shamsi Ali (seorang Imam muda asal Indonesia di New York, Amerika Serikat) tersebut, beberapa lama saya termenung. Termenung, karena tersadarkan, betapa persoalan “konflik antara idealisme dan realitas” tersebut begitu kerap terjadi dalam kehidupan kita. Tidak hanya dalam kehidupan politik saja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dan, ternyata, tidak mudah “menaklukkan” realitas: tidak semudah membalikkan tangan. Diperlukan sikap teguh dan tidak mudah putus asa untuk dapat membuat realitas dapat diarahkan dan dikendalikan.

Entah kenapa pula, ketika merenung demikian, saya teringat kisah antara “sang Marsekal dan sang Kolonel”. Kisah itu mengajarkan kepada kita, betapa tidak mudah “menundukkan” realitas, karena itu diperlukan daya juang yang tidak mudah patah arang. Tidak seperti sikap sang Marsekal yang gampang tunduk pada realitas, sikap sang Kolonel jelas: tidak mau dipecundangi realitas dan terus berjuang, sehingga akhirnya ia berhasil meraih kemenangan. Nah, berikut adalah kisah antara “sang Marsekal dan sang Kolonel” tersebut:

“Saya datang untuk memeriksa pasukan ini,” ucap seorang perwira tinggi kepada seorang sahabatnya. “Saya tahu, sebenarnya kedatangan saya ini tidak Anda harapkan. Tetapi, apa yang dapat saya lakukan? Saya menerima perintah untuk memeriksa pasukan ini. Perintah itu saya patuhi, karena selama ini saya selalu patuh. Dengan cara demikian, saya berhasil meraih pangkat Marsekal.”

Sahabatnya tidak memberikan komentar apa pun. Semua orang tahu, sang Marsekal adalah orang yang selalu patuh. Tidak hanya terhadap atasannya saja, tapi juga terhadap realitas di hadapannya. Dan, tidak berapa lama kemudian, sang Marsekal diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Kini, sang Marsekal bertanggungjawab atas keamanan militer negerinya.

Pada suatu hari datang sebuah laporan, “Di Jerman kini muncul seorang tokoh baru bernama Adolf Hitler. Ia ingin membalas dendam kekalahan negerinya oleh negara kita dalam Perang Dunia I.” Menerima laporan demikian, sang Marsekal hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Jangan pedulikan omongan Hitler. Ucapannya hanya untuk konsumsi dalam negeri saja.”

Beberapa minggu kemudian datang lagi sebuah laporan: Hitler sedang menyusun kekuatan Angkatan Bersenjata Jerman dan melengkapinya dengan sederet pesawat tempur dan tank. Mendengar laporan itu, sang Marsekal tetap tidak tertarik dan berkomentar, “Pesawat terbang akan selalu jatuh ke Bumi. Sedangkan tank tidak menimbulkan bahaya apa-apa di medan pertempuran.”

Melihat sikap sang Marsekal yang demikian, seorang bawahannya yang berpangkat Kolonel tidak tahan lagi menahan perasaan sebalnya. Ucap sang Kolonel dengan menahan perasaan jengkel, “Marsekal! Pesawat tempur dan tank akan menjadi senjata andal dalam perang mendatang!” Jawab sang Marsekal, “Siapa bilang akan terjadi perang lagi? Kau tidak mengerti sedikit pun tentang perang. Kau anak yang baru lahir kemarin sore!”

Anak yang dikatakan “baru lahir kemarin sore” itu berusia 50 tahun dan bernama Charles de Gaulle. Sedangkan sang Marsekal bernama Henri Philippe Petain. Karena kepatuhan bagi sang Marsekal berarti segala-galanya, maka ia pun mengeluarkan memo supaya sang Kolonel tidak dinaikkan pangkatnya. Ternyata, Perang Dunia II kemudian benar-benar meletus. Serdadu-serdadu Hitler pun mulai memasuki kawasan Perancis. Pemerintah negara itu pun memanggil Menteri Pertahanan untuk dimintai pendapat. Nasihatnya jelas, “Kita harus tunduk kepada Hitler. Realitas lebih kuat daripada kita!”

Nasihat itu tidak aneh, karena keluar dari mulut seseorang yang selama hidupnya selalu tunduk dan patuh. Bila sebelumnya ia menyerahkan kepatuhannya kepada pribadi-pribadi, kini ia menyerahkannya pada realitas. Tiba-tiba sang Kolonel Charles de Gaulle muncul. Sejak semula ia menolak sikap menyerah terhadap realitas dan menolak patuh kepada sang Menteri Pertahanan. Ia tidak mau melaksanakan perintah atasannya itu. Dengan meninggalkan keluarganya, rumahnya, pangkatnya yang lumayan tinggi, dan kehidupannya yang cukup mapan, ia pergi ke Inggris dengan membawa kehormatan negerinya. Sedangkan sang Marsekal tetap tinggal di negerinya menghadapi realitas negerinya sedang dijarah serdadu-serdadu Hitler. Di Inggris, sang Kolonel menyatakan pemberontakannya terhadap realitas. Dari negeri itu, ia memulai perlawanan Perancis terhadap pendudukan Jerman. Sedangkan sang Marsekal, yang telah membentuk sebuah pemerintahan, segera menyatakan menyerah kepada pasukan pendudukan. Di negerinya sendiri.

Perancis pun terbelah di antara dua tokoh. Salah satunya tokoh yang memuja kepatuhan terhadap realitas. Sedangkan yang seorang lagi pembelot terhadap realitas. Yang pertama melihat apa yang ada di hadapannya sebagai realitas yang harus diterima. Yang kedua melihat perubahan atas realitas harus dimulai dengan melakukan pembelotan. Yang pertama berpandangan, nilai manusia (juga masyarakat) tidak melebihi harganya yang dinyatakan di pasar. Sementara yang kedua berpendapat, nilai manusia (juga masyarakat) dimulai dari kehendaknya, semangatnya, keyakinannya terhadap masyarakatnya, dan keteguhannya dalam memegang prinsip.

Akhirnya, menanglah prinsip atas realitas. Beberapa tahun kemudian, sang Kolonel memasuki Perancis dengan bendera kemenangan. Sedangkan kisah sang Marsekal berakhir bersama penyerahan pasukan pendudukan Jerman. Dan, lembaran sejarah menorehkan, betapa sering suatu masyarakat memerlukan sejumlah anggotanya yang mampu memukul lonceng peringatan. Yakni, peringatan terhadap bahaya sikap menerima dan menyerah terhadap realitas. Juga, terhadap sikap menolak kemungkinan dilakukannya perubahan terhadap realitas yang ada.

Bagaimana dengan sikap Anda dalam menghadapi realitas yang sedang Anda hadapi dan berlawanan dengan idealisme Anda? Silakan memilih: mau menjadi “pengikut” Sang Marsekal atau mau menjadi “pendukung kuat” Sang Kolonel!(arofiusmani.blogspot.com/)

No comments: