Friday, September 16, 2011
Kado untuk Seorang Maestro
Entah kenapa kemarin, Kamis 15 September 2011, selepas jemari tangan tidak lagi mau diajak “menari-nari” di atas keyboard, pandangan saya terarah ke tumpukan paling bawah majalah-majalah “tempo doeloe” di bawah meja kerja saya. “Wow, majalah-majalah Kiblat awal tahun-tahun 1990-an”, begitu pandangan saya bertumbukan dengan tumpukan majalah-majalah yang sangat saya kenal.
Melihat majalah-majalah lusuh awal tahun-tahun 1990-an itu, segera saja kedua tangan saya ber”hijrah” dari keyboard menuju tumpukan majalah-majalah itu. Satu demi satu majalah-majalah lama itu saya buka kembali. Segera pula, dalam benak saya, muncul deretan sosok para sahabat yang pernah berkontribusi bersama dalam mengelola Majalah Kiblat itu. Kini, mereka bertebaran di pelbagai bidang: ada yang menjadi direktur utama sebuah perusahaan pembangkit tenaga listrik, dokter spesialis jantung, direktur utama sebuah perusahaan IT, ahli geologi, mantan anggota DPR, editor senior, arsitek, penulis, ahli ekonomi yang doktor jebolan Jepang, direktur sebuah rumah batik, direktur usaha agri-food, dosen, dan seniman yang pelukis.
Selepas mencermati satu demi satu majalah-majalah tersebut, entah kenapa mata saya kemudian tidak mau beranjak dari sebuah wawancara menarik dan panjang dengan seorang maestro masjid Indonesia: Achmad Noe’man. “Wow, ini wawancara lama, tapi indah!” Wawancara (yang tidak tercatat dilakukan siapa, tapi seingat saya oleh Dian R. Basuki dan M. Syamsuddin Dahlan, dua insinyur muda lulusan Institut Teknologi Bandung) panjang itu yang dilakukan pada akhir 1988 itu demikian memikat dan indah. Betapa banyak pelajaran indah yang dapat saya ambil dari wawancara itu. Karena itu, pada kesempatan ini, izinkan saya menghadirkan kembali wawancara itu lengkap, sebagai kado ulang tahun dan penghormatan saya kepada seorang maestro masjid Indonesia yang bulan depan akan berulang tahun yang ke-87:
Paruh kedua abad ke-19. Sekelompok penduduk beriringan meninggalkan Kudus, kota yang terkenal dengan jenangnya itu. Mereka menuju Garut, sebuah kota kecil di Bumi Parahyangan. Dan, akhirnya, mereka menetap di sana. Haji Mas Djamhari, salah seorang di antaranya, menikah dengan mojang setempat. Lahirlah 13 orang putra. Di tengah kesibukannya berdagang batik, mengurusi kebun jeruk, dan bergumul dengan mesin cetak, ia tekun mendidik Noe’man kecil. Kini, ia dikenal sebagai seorang arsitek.
Kantor Birano, lepas zuhur. Usai shalat Jumat di Masjid Salman ITB, arsitek senior ini menyempatkan diri coret-coret di atas kertas. Bukan merancang bangunan, tapi menulis kaligrafi. Memang, itulah salah satu hobinya. Lalu, pria kelahiran Garut, 10 Oktober 1924, itu pun membuka percakapan.
Di zaman Belanda dulu, di Garut banyak hotel, pariwisatanya maju. Saya sekolah di HIS dan MULO, juga di kota ini. Sorenya, belajar di madrasah. Kemudian dilanjutkan di wustha, kalau sekarang ya setingkat dengan Madrasah Tsanawiyyah. Waktu itu umur saya baru 7-9 tahun. Agak susah juga, habis lagi senang-senangnya main bola. Di antara saudara saya, saya memang lain sendiri. Saya sering hilang dari rumah, ikut camping, tour, dan main bola.
Lepas dari MULO, saya tidak meneruskan ke AMS. Soalnya, di Garut gak ada AMS. Akhirnya, saya ikut kakak (Ahmad Sadali alm., seorang pelukis kondang) di Yogyakarta. Itu lho, di SMA Muhammadiyah Ketanggungan. Tahun 1945, zaman revolusi, saya masuk Divisi Siliwangi dan ditugaskan di Jakarta sambil sekolah di SMA Republik.
Mulai kapan Pak Noe’man meminati arsitektur? Sejak kecil?
Ya,ya, dari kecil. Memang, sebetulnya dari kecil saya sudah punya keinginan membuat rencana-rencana rumah. Ayah sendiri senang membangun. Beliau juga menaruh perhatian terhadap perkembangan ummat, seperti mendirikan madrasah, mushalla, dan masjid. Jadi, dari dulu saya ikut menggambar masjid. Apalagi arsitektur itu kan dekat dengan seni. Saya senang, kan lingkungan seni itu ada keluarga saya. Nenek, ibu, dan ayah sendiri saudagar, bisnisnya batik. Barang kali itu banyak memengaruhi saya.
Kapan masuk ITB?
Tahun 1948. Sebenarnya belum ITB. Waktu itu namanya Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Dulu belum ada Jurusan Arsitektur. Yang ada Civil Afdeling, bagian bangunan. Tapi, saya tidak senang. Bayangkan, kita diajari macam-macam, dapat elektro, dapat motoren…apa itu…ya urusan rel kereta api. Arsitekturnya sedikit. Nah, kebetulan terjadi Clash II. Waktu itu Belanda menyerbu Yogya. Saya dipanggil lagi, juga teman-teman yang lain. Saya ikut daripada sekolah tapi gak senang. Saya diminta masuk CPM, Coprs Polisi Militer.
Sampai kapan di militer?
Sampai tahun 1952. Karier militer itu saya sukai. Soalnya banyak decision making dan challenge, barang kali. Juga, karena sering di lapangan, di alam, begitu. Memang, saya suka sesuatu yang menantang dan agak keras. Tapi, mudah-mudahan sikap suka kekerasan itu sudah gak ada lagi, he-he-he.
Terus, tahun 1952 juga, teman-teman mengatakan di di Sipil akan dibuka Bagian Arsitektur. Nah, saya lalu mengundurkan diri dari militer. Alasan saya mau melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Boleh saja, kata komandan saya. Pangkat saya Letnan Dua. Waktu itu, pangkat kan milih sendiri, he-he-he. Mau kapten, mau mayor, atau apa, asal sesuai dengan kemampuan masing-masing. Saya dulu di CPM Bandung, di bawah Mayor Rusli, yang kemudian menjadi Direktur Arafah Lloyd.
Kapan selesai studi di Arsitektur?
Saya lulus tahun 1958. Jadi, angkatan pertama. Teman-teman belajar saya cuma lima orang. Jadi, betul-betul diperhatikan oleh profesornya. Teman-teman saya itu Melani Abu Thalib, Sukartono Susilo, yang sekarang mengajar di Unpar, Rimi Dengdeng, dan Kweng Huan, sekarang di Belanda. Kami masih berhubungan sampai sekarang.
Sesudah lulus terus ke mana?
Begitu selesai, saya diminta meneruskan sekolah di Kentucky (Amerika Serikat), mengambil program master. Dulu kan banyak teman sebaya yang dikirim belajar. Soalnya, banyak guru dari Belanda yang pulang, sekitar 1953-1958. Teman-teman tersebar di Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pak Noe’man jadi mengambil program master?
Nggak. Waktu itu banyak pilihan, antara lain jadi guru. Tapi, saya bertanya-tanya, bakat gak ya jadi guru? Pikir-pikir gak pas begitu. Tapi, toh sampai sekarang tidak lepas dari mengajar dan belajar. Umpamanya, sekarang mengajar, tidak di Arsitektur, tapi di Seni Rupa. Ingat kan hadis Rasulullah yang terkenal itu, ‘Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang kubur.’ Itu kan life-long education.
Lalu keterusan di bidang itu?
Karena saya milih, saya senang sekali bidang arsitektur itu. Kan di situ ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal saleh. Jadi, hidup itu bisa duduk dengan kertas saja. Modalnya ya hanya potlot dan kertas. Dimulai dengan Bismillah, sesudah itu berkarya.
Sayyidina ‘Ali kan mengatakan bahwa kita mesti tahu diri. Saya itu bidang bicara kan tidak berbakat. Apalagi, di zaman sekarang tabligh kan bisa bermacam-macam caranya. Nah, dengan pensil dan kertas itu saya bisa berdakwah. Itu bagi saya. Dakwah itu kan, menurut keyakinan saya, fardhu ‘ain, karena itu kan mengubah keadaan yang jelek menjadi baik. Membersihkan selokan itu dakwah juga. Hanya saja, yang satu barang kali bi lisan al-maqal, yang lain bi lisan al-hal.
Lalu?
Juga Surah Luqman ayat 20 misalnya, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan nikmat-Nya lahir dan batin.” Menurut saya, ini ayat teknologi untuk abad ke-20. Di situ juga disebutkan, akan disempurnakan nikmat-Nya lahir dan batin. Tetapi, nikmat itu nggak bakal tercapai kalau tanpa ilmu pengetahuan, petunjuk, dan Kitab-Nya yang memberi penerangan. Ya, kalau nikmat materi atau lahir, mungkin. Tapi, bagaimana dengan nikmat batin? Itu tak akan tercapai tanpa ilmu, tanpa petunjuk-Nya. Nah, bagi saya, ayatnya ya kayu, ya kerikil…
Kapan Birano didirikan?
Tahun 1958. Waktu arsitek belum banyak dikenal. Bahkan, arsitek dikenal sebagai anemer saja. Padahal, pengertiannya kan beda. Nama itu saya ambil dari nama saya: Biro Arsitek Achmad Noe’man. Biar jelas. Kalau bangunannya berhasil, ya alhamdulillah nama saya ada. Kalau gagal, nama saya juga ada. Jadi, saya nggak sembunyi di balik nama, kan. Itu barang kali untuk dorongan juga. Jadi, bukan untuk, ah… na’udzu billah min dzalik, misalnya ingin terkenal. Sama sekali tidak. Kalau berhasil ya syukur, kalau gagal ya bisa mengoreksi diri.
Pernah gagal?
Gagal itu misalnya ambruk? Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada yang salah hitung.
Kapan Pak Noe’man menikah?
Saya menikah tingkat tiga, waktu masih belajar di Bagian Arsitektur. Saya kan tinggal di Rumah B asrama ITB. Ceuceu (panggilan Ibu Noe’man) kan tinggal di sini (Jl. Ganesa No. 3, kantor Birano). Kebetulan saya senang basket, Ceuceu juga. Lalu, ada pekan olah raga nasional dan bertemulah di situ. Ceuceu sekolah di Fakultas Hukum. Nah, saya jadi ingat hadis Rasulullah, “Belumlah menjadi ummatku yang sempurna kalau belum menikah.” He, he. Jadi, apa boleh buat, tingkat tiga menikahlah saya. Anak saya yang tertua, si Irvan itu, jadi anak mahasiswa, bukan anak insinyur. Tapi, alhamdulillah, nggak ada hambatan, studi lancar. Waktu itu saya sudah mencari nafkah sendiri, jadi tukang kayu. Saya kan senang juga sama furniture. Tahun 1958 saya wisuda.
Birano didirikan 16 Juli 1960. Mengambil di sayap kiri rumah kediaman rumah mertuanya, Pak Noe’man memulai kariernya dengan karya pertama pelabuhan penumpang, Pelabuhan II Tanjung Priok, Masjid Muhammadiyah di Garut, dan galangan kapal di Ujung Pandang. Semuanya diselesaikan tahun 1960-1961.
Hingga saat ini (1989), Pak Noe’man masih menjadi anggota Majelis Arsitek IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), anggota Dewan Kehormatan INKINDO (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia), anggota PII (Persatuan Insinyur Indonesia), dan Ketua Yayasan Pendidikan Islam UNISBA Bandung. Pria yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris ini memang sudah menempuh perjalanan karier yang panjang. Puluhan karya arsitektur telah lahir dari tangannya.
Bagaimana seharusnya sikap seorang arsitek?
Seorang arsitek itu, menurut saya, pertama, harus memiliki kepribadian yang jujur. Yang kedua, dia harus independen. Dan yang ketiga, dia harus kompeten. Seorang profesional harus begitu. Identitas ada, kompeten, dan independen. Banyak kan hadis Rasul yang mengarah pada kejujuran, integritas. Tapi, arti profesional sekarang kan merepotkan, he, he, he. Misalnya itu, ah nggak usahlah. Pokoknya kita itu harus integralis, kalau meminjam istilahnya Pak Armahedi (Armahedi Mahzar, penulis buku Integralis, Sebuah Buku Rekonstruksi Filsafat Islam).
Lebih jelasnya?
Begini, etika itu kan mungkin relatif, tapi bisa saja kan universal, artinya siapa pun bisa menerimanya. Seperti itu tadi, kompetensi. Kompetensi itu ya tidak akan mengatakan aku serba bisa, tetapi kita sanggup dan mampu. Nah, kalau itu bukan keahlian kita, kita mesti berani mengatakan saya nggak bisa. Saya rasa itu jelas. Kemudian independen. Sebetulnya kita ini independen kok, kecuali dalam kaitannya dengan Allah. Lainnya kita harus punya sikap, identitas. Saya rasa dalam konsep-konsep seni, kalau kita itu menjiplak, itu plagiat namanya. Kalau dikaitkan dengan Islam, menjiplak itu tidak ada. Itu tak sesuai dengan “fastabiqul khaurat”, berlomba-lombalah dalam kebaikan. Di situlah pengertian kreatif, suatu tindakan kebajikan atau khair. Untuk kemanusiaan.
Arsitek juga begitu. Saya kategorikan pekerjaan arsitek itu memang menantang untuk ber”fastabiqul khairat”. Tiap saat ada kok etik tidak boleh menjiplak. Ini artinya kan kejujuran, integritas. Iya toh?
Bagaimana konsep arsitektur Pak Noe’man?
Kalau yang ini nggak lepas dari background saya sebagai Muslim. Ada satu ayat menarik. Sudah saya tanyakan kepada salah seorang ulama, tapi beliau tak setuju dengan tafsiran saya. Itu lho, Surah Al-Baqarah ayat 170.
Yang diturunkan Allah itu kan ilmu, di antaranya. Tapi, yang kita timba mungkin saja tidak semuanya yang diturunkan Allah. Jadi, mungkin saja kan kita salah. Karena itu, Allah memberi peringatan. Kamu jangan sok benar. Yang kamu anggap benar itu belum tentu benar, begitu kan hardikan Allah kepada orang yang keras kepala. Barang kali yang dicemoohkan itu yang lebih benar. (Lalu Pak Noe’man mengambil Al-Quran berukuran besar). Ini ayatnya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apa dan tidak mendapat petunjuk?”
Lalu hubungannya dengan kegiatan Pak Noe’man?
Nah, itu kan, kita sebagai arsitek, lebih-lebih saya, diperingatkan oleh ayat ini. Misalnya begini, nenek moyang kita kan memakai joglo. Itu memang cocok dengan bentangan rumah dengan ukuran selebar itu, dan saya interesan. Untuk rumah Jawa yang tanpa tiang, itu indah sekali. Apalagi untuk iklim tropis. Juga tanpa plafon, tanpa sirip, jadi udara mengalir langsung. Itu cocok untuk iklim tropis. Lalu, apa itu… kayunya, teksturnya, warnanya. Memang indah sekali. Tapi, kalau bentangannya sudah dua kali rumah tradisional itu, kita harus mempertahankan joglo itu, apa bisa?
Bagaimana dengan masjid?
Tentang masjid yang harus dengan kubah itu tidak ada aturannya. Bukannya saya anti-kubah. Sama sekali bukan. Tapi, kalau kubah just for the symbol, agak dipaksakan jadinya. Padahal, sebenarnya masih ada ilmu lain yang lebih struktural, yang lebih murah, lebih kuat. Jadi, dengan ayat tadi, bismillah gitu ya, kita merombak. Semuanya itu kan berubah. Yang abadi kan cuma Allah. Apalagi buatan manusia, tiap waktu kan harus diperbaiki, harus direvisi.
Tentang Masjid Salman?
Tahun 1959, saya merancang Masjid Salman. Waktu itu sudah lulus. Yang namanya arsitek bisa dihitung dengan jari. Ada peristiwa menarik, nih. Sekarang ini, mahasiswa yang tidak shalat justru aneh. Kalau dulu, justru yang shalat dianggap aneh. Teman-teman itu ya bilang, wah… salam ya pada Tuhan. My greetings to God. Ya, kita acuh saja. Bayangin saja, ya. Yang namanya kampus, di ITB lagi, harus membuat masjid. Akhirnya saya bongkar-bongkar literatur arsitektur.
Terus?
Akhirnya saya sempat naik haji. Mampir ke Regent Park di London, waktu itu belum jadi. Lalu ke Bonn, Muenchen, ke Hagia Sophia. Saya mencari acuan. Ketemu Surah At-Taubah ayat 108. Jangan kita membuat masjid yang mengakibatkan riya’, gitu kan. Saya justru mencari nilai-nilai yang universal, yang transendental. Jadi, saya hilangkan itu bentuk kubah. Memang, berat juga waktu menghilangkan kubah dari rancangan saya. Itu kan ciri kita, katanya.
Kalau saya pulang dari Jakarta ke Bandung, di gunung hijau itu kan ada kubah. Itu harus saya hilangkan, itu berat kan. Tapi, masalahnya saya tahu, itu nggak ada fungsinya. Kalau ada kesempatan membuat masjid, gitu ya, sebenarnya saya ingin juga memakai kubah. Itu kalau structurally honest, jadi bukan… Kubah itu kan ditiru dari kubah zaman abad ke-12, bangsanya Taj Mahal. Di Turki kan banyak. Ekspresi kubah di sini kan umpamanya makai seng, alumunium. Itu nggak jujur, secara struktural, nggak jujur. Itu hanya memenuhi bentuk saja. Bahkan tidak awet. Lebih baik pakai genteng, seperti Masjid Kudus.
Lalu bagaimana alternatifnya?
Yah, sebenarnya ada ungkapan yang lebih islami, seperti kecil itu indah, form follows function, atau bentuk mengikuti fungsi, gitu ya. Nah, itu barang kali hasil renungan tersendiri, kata-kata hikmah itu pasti ada dasarnya. Orang kan mungkin saja sampai ke nilai transendental. Einstein kan sampai juga tuh. Ya, Tuhan menciptakan kita untuk menjadi khalifah. Khalifah kan bukan kita saja. Pada setiap manusia kan ditiupkan ruh. Akhirnya saya mikir, pengalaman semacam itu menggugah.
Di usianya yang hampir 62 tahun (kini 87 tahun), Pak Noe’man masih tampak gagah dan kelihatan awet muda. Dengan tinggi 170 cm, bobot badannya yang 80 kg itu memang agak berlebihan. Pak Noe’man pun senantiasa tampil dalam kesederhanaannya.
Pak Noe’man punya hobi olahraga?
Yah, sport, saya senang sekali. Apalagi waktu muda. Macam-macamlah. Lebih-lebih sepak bola, basket, baseball, dan volley. Dulu, kalau main bola di luar kota saja lebih baik nggak ikut ujian. Nggak apa-apa, ujian bisa lain waktu. Tapi saya jarang menjamah tenis. Untuk waktu itu sudah terlalu mahal, kan. Apalagi golf… he, he, he, nggak pernah, sampai sekarang. Bukan nggak senang, tapi nggak bisa, gitu ya.
Sekarang olahraga apa?
Yang pasti jalan kaki, pagi setelah shalat Subuh, tiap hari. Paling tidak empat kali seminggu. Kalau di rumah sama anak-anak saya sediakan meja ping-pong. Kadang main ping-pong. Yang lainnya sih nggak sempat lagi.
Suka musik?
Kalau musik mah, segala macam saya suka.
Termasuk memainkannya?
Memainkan alat musik ya… Begini, yang dikuasai betul nggak, tapi saya senang biola, flute, gitar. Bisa gembreng-gembreng gitu saja. Bagi saya, musik itu alat mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta. Memang ada yang berkata musik itu haram, tapi kan tidak seluruh musik begitu. Contohnya begini, Paganini memainkan biolanya. Biola itu kan alat yang sederhana. Maksud saya, bahannya dari kayu, dawainya dari iron ware, bijih besi, mineral kan. Nah, itu bisa mengeluarkan bunyi yang indah. Itu kan harus disyukuri.
Saya jadi ingat dengan Surah Ali ‘Imrah ayat 190, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab…” Jadi, jelaslah Allah tidak sia-sia menciptakan daun, kayu, iron ware. Iron ware itu kan bijih besi, lalu bisa diolah menjadi baja, besi beton, dan macam-macam. Jadi, musik itu alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pak Noe’man juga menekuni kaligrafi, kan. Bagaimana ceritanya?
Tentang kaligrafi ya, saya rasa artinya itu khatt. Itu sebetulnya menulis indah. Kita tahu kaligrafi itu bermacam-macam, katakanlah mazhabnya. Ada naskhi, thuluts, diwani, kufi, jali tsuluts, farisi… banyak sekali. Ada 12 macam, saya nggak hafal. Yang saya sukai naskhi dan tsuluts, kufi juga senang. Kufi itu kan geometris, kalau naskhi itu betul-betul mengikuti ujung pena yang dipotong ujungnya. Kalau dulu dari kayu, dari bambu, jadi kalau dimiringkan (sambil memperagakan) hingga datar, karakternya juga akan datar. Betapa disiplinnya kita kalau menulis kaligrafi. Tsuluts itu kan anatominya wau, sin, dhad, alif, proporsional begitu dengan huruf yang lain. Itu eksak lho. Jadi, bukan sekadar menulis saja. Itulah, saya senang, karena indah dan disiplin.
Mungkin karena dekat juga dengan arsitektur?
Ya, betul… Lebih-lebih kalau kufi. Itu lebih geometris, seperti arabesk. Saya coba, saya senang. Ada orang mengatakan bahwa itu menyimpang dari keharusan menulis. Menurut saya sih, nggak ada itu yang namanya keharusan menulis, menyimpang atau apa. Kita harus membedakan antara tulisan yang akan dibaca dengan lukisan yang dinikmati keindahannya. Ini karya seni, bukan karya tulis dalam arti untuk dibaca saja. Masa kita menyampaikan pesan tapi tulisannya nggak bisa dibaca, itu kan lucu. Kalau kita membuat kaligrafi, itu kan sudah masuk ke world of arts, karya seni. Di situ ada keterkaitan antara harmoni, keseimbangan. Begitu, kan?
Tak ada Pak Noe’man tanpa sikap optimis. Sikap positif ini tumbuh berkat keyakinannya yang dalam terhadap Tuhan. Inilah ungkapan ceritanya tentang dialognya dengan Tuhan.
Shalat itu penting sekali. Dialog-dialog kita, kalau kita perhatikan, menyebabkan kita merasa kecil. Mula-mula takbir, lalu iftitah, dan seterusnya. Setiap hari kita mengatakan, “Alhamdulillah rabb al-‘alamin. “ Allah menjawab, “Kamulah yang memuji-Ku.” Itu kan dialog, shalat itu kan bukan meditasi. Harus sadar. Ingatkan yang dicontohkan Nabi. Memejamkan mata saja tidak boleh, harus melihat ke tempat sujud.
Buat orang setingkatan saya, nggak tahu untuk tingkatan lainnya, saya selalu meringankan bahwa shalat itu bukan ekstase. Ringan sekali. Ya itu tadi, dialog dan sadar.
Pak Noe’man merasakan dampaknya terhadap kegiatan bisnis?
Ya. Itu kan kita bawa juga ke dalam bisnis. Artinya, insya Allah, saya tidak usah gentar mencari rezeki. Itu kan ada di Surah Ali ‘Imran ayat 134-135, kan.
Kalau kita membuat sesuatu dengan penuh kecintaan, itu akan mendorong karier kita. Jelas kita mau mencari keridhaan Allah, tapi kan dinilai orang juga tuh. Ingat kan dengan hadis, “Bila seseorang meninggal dunia, yang dapat dibawa hanyalah tiga perkara: amal jariah, anak yang shaleh, dan ilmu yang bermanfaat.”
Nah, kalau kita mengutak-atik alat elektronika, itu juga dalam rangka ibadah tho. Jadi, bukan hanya wirid saja yang termasuk ibadah. Makanya buat yang muda, nggak usah khawatirlah, Anda kan sudah disiapkan begitu lama. Pokoknya, kerjakan apa yang bisa dipegang, sekecil apa pun. Jangan pingin langsung saja.
Arsitek senior berdarah Jawa-Sunda ini menikah dengan seorang mojang Priangan, Aceu Kurniasih Natapermana. Mereka dikaruniai empat anak: Irvan, Nazar, Fauzan, dan Ilma.
Barang kali bisa bercerita, siapa yang banyak berpengaruh terhadap perjalanan hidup Pak Noe’man?
Begini, saya selalu menasihati anak-anak saya tentang yang satu ini. Agar nggak kecewa, kita kembalikan uswah itu kepada yang satu, jadi pelajari itu kehidupan Nabi Muhammad Saw. Anda bisa terapkan ke profesi apa pun. Dari ketangguhannya, dari kejujurannya. Sebelum membuka bukunya Robinson Crusoe atau siapa saja, dia mesti hapal dulu betapa beliau itu menerima cobaan, betapa menderitanya beliau waktu di Thaif dan dilempari batu, betapa beliau memiliki perasaan menahan marah dan akhirnya mencapai tingkat muttaqin. Itu kan cita-cita kita semua. Tercapai atau tidak, itu soal lain. Tapi, latihan untuk mencapai itu kan mesti ada. Jadi, bagi saya yang ideal itu ya cuma satu, Nabi Muhammad Saw. Di dalam sains dan teknologi kita bisa saja menilai karya-karya orang, tapi kan tidak utama.
Sudahlah, kita jangan punya idola, jangan deh… Nanti bakal kecewa. Biasa-biasa sajalah. Akhirnya kan bisa timbul konflik batin. Orang yang dikagumi kok ternyata begitu. Jadi, satu-satunya uswah hasanah ya itu tadi: Rasulullah.
Pak Noe’man termasuk arsitek yang produktif. Ada resepnya?
Bagaimana ya? Tiap manusia itu kan diberi Allah kemampuan untuk bisa kreatif. Di bidang kita masing-masing sebenarnya banyak yang bisa digarap. Nah, itu jangan dilewatkan begitu saja. Itu kan jenjang hari depan, juga jenjang kreativitas.
Kita memang harus berkreasi, menciptakan sesuatu yang bermanfaat ya untuk dirinya maupun lingkungannya, untuk kemanusiaan. Lebih-lebih latar belakang kita kan Agama. Agama itu menyuruh sekali, sangat menganjurkan kita kreatif. Misalnya, Surah Al-Baqarah ayat 148 itu, “…Maka, berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan.” Itu mestinya dipupuk sejak kecil.
Terus?
Nah, semuanya itu kan butuh proses. Semua Muslim mesti menggunakan segenap kemampuannya, dari ilmu yang kita timba. Akhirnya kembali juga ke hadis, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang kubur”. Kaitannya antara belajar sepanjang hayat dengan proses kreatif itu dekat sekali. Makin banyak ilmu seharusnya makin kreatif. Lebih-lebih jika dilengkapi dengan iman dan amal saleh. Amal saleh itu boleh dikatakan kreativitas gitu ya.
Punya pengalaman menarik?
Oh, banyak, tapi ada satu yang mengesankan. Saya sudah cerita ya? Begini, anak saya itu kan kena musibah. Anaknya tinggi besar, lebih tinggi daripada saya. Saya tidak tahu kenapa mesti diberi cobaan seperti ini.
Dia itu kan kena glaucoma, yang biasanya menyerang orang tua dan bayi, bukan remaja seusia dia. Waktu itu umurnya baru 17 tahun. Kebetulan ada anak saya yang sekolah di Boston. Katanya, di Boston ada rumah sakit mata terkenal. Enam bulan sebelumnya saya pesan tempat. Lalu, berangkatlah saya, ibu, dan anak saya ke sana. Rumah sakitnya besar, ya soalnya penyakit mata kan macam-macam, ada katarak, ada trachoma… Sebelumnya sempat juga berobat ke Belanda.
Waktu menunggu, kita duduk di samping seorang ibu, orang Amerika. Sudah tua. Lalu, dia tanya, “Anda dari mana?” Kalau dari Indonesia nggak tahu, katanya. Akhirnya saya jawab, Bali. Nah, si ibu baru mengerti. Kenapa berobat jauh-jauh ke sini? Kebetulan kami ingin yang terbaik, jawab saya. Kami datang karena ingin berusaha memeroleh kesembuhan. Tahu-tahu dia pergi gitu, keliling. Terus nggak lama kemudian, dia balik lagi. Dia masukkan tangannya ke sini (Pak Noe’man menunjuk saku). Ternyata, dia itu keliling minta uang. Dia masukkan ke saku anak saya. Anak saya menolak, saya juga. “Nggak, saya tidak memberi tuan,” katanya. “Saya memberi anak tuan. Ini kan jauh dari negeri Anda.”
Nah, habis kejadian itu, saya mikir, betapa ya yang namanya mustahiq zakat itu kan ada delapan. Di antaranya musafir. Saya kan musafir, begitu toh? Kalau si ibu itu belajar agama kita, barang kali bisa cepat begitu ya, karena nalurinya sudah ada. Makanya, kita sebenarnya tidak boloeh mencemoohkan kafir segala macam. Saya merasakan betapa indahnya kejadian itu. Indah sekali.
Hari menjelang sore ketika kami pamit. Beliau hantarkan kami sampai ke pintu. Sementara di luar sudah menunggu dua orang rekanan Pak Noe’man. Sembari menyusuri Jalan Ganesa, dan sesekali menatap Masjid Salman ITB, terkesanlah keramahan Pak Noe’man. (Sumber: Majalah Kiblat, “Achmad Noe’man: Bagi Saya Ayatnya ya Kayu, ya Kerikil…”, Edisi No. 02, Thn. XXXVI, Jakarta, 13-26 Januari 1989).(arofiusmani.blogspot.com/)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
bagus sekali info nya
dan sangat menarik sekali
untuk dibaca
terimakasih atas info nya
Post a Comment