Thursday, September 29, 2011

Sekali Lagi: Pesan Al-Ghazali kepada Para Calon Jamaah Haji


“Ya Allah, betapa masa-Mu bergerak begitu cepat! Tidak lama lagi, para calon tamu-Mu akan segera berdatangan kembali ke Tanah Suci. Sudahkah mereka benar-benar melakukan persiapan ruhaniah, sehingga mereka benar-benar layak Engkau muliakan sebagai para tamu-Mu?”

Entah kenapa ucapan yang demikian itu membara dalam hati dan pikiran saya, tidak lama selepas seorang sahabat mengabarkan dan mengingatkan keterlibatan saya dalam pengarahan kepada para calon tamu Allah Swt. yang segera akan bertolak ke Tanah Suci Makkah dan Madinah.

Tentu kita semua tahu, berbeda dengan perjalanan wisata atau perjalanan dinas ke negara-negara lain, perjalanan untuk melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji memiliki nuansa tersendiri. Sebab, dalam perjalanan menuju Tanah Suci diperlukan persiapan ruhaniah yang mantap, di samping persiapan jasmaniah. Ini karena berbeda dengan kebanyakan ibadah lain, ibadah umrah maupun ibadah haji adalah ibadah ruhaniah yang sekaligus ibadah jasmaniah. Menyadari kabar dan pesan tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat pemaparan seorang tokoh berdarah Iran: Abu Hamid Al-Ghazali, perihal pentingnya persiapan ruhaniah bagi para calon tamu Allah Swt. di Tanah Suci.

Mengapa Al-Ghazali?

Lembaran sejarah menorehkan, tokoh yang pertama adalah seorang ulama dan pemikir terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn itu lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H/1058 M. Perjalanan hidupnya, dengan krisis ruhaniah yang pernah menimpa dirinya, hingga akhirnya bertolak ke Tanah Suci, menurut saya, menarik sebagai bekal bagi siapa pun yang akan melaksanakan ibadah umrah maupun ibadah haji. Pada masa kecilnya, ia menimba ilmu di bawah bimbingan Ahmad Al-Radzkani. Selepas itu, ia lantas pergi ke Jurjan dan menimba ilmu kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, ia kemudian kembali ke Thus, lalu merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma‘ali Al-Juwaini, yang mendapat gelar Imâm Al-Haramain. Ia tetap mendampingi gurunya itu hingga sang guru berpulang pada 478 H/1085 M. Selepas itu, ia lantas melanjutkan kelana ilmiahnya ke Al-‘Askar.

Enam tahun kemudian, tokoh yang acap dilukiskan dengan kepala botak, berjenggot panjang, dan bermata tajam itu menapakkan kaki dan memasuki Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Ya, Perguruan Nizhamiyyah, sebuah perguruan terkemuka di Bagdad pada masa pertengahan. Perguruan yang satu ini dididirikan Nizham Al-Mulk, seorang perdana menteri tersohor dalam pemerintahan Dinasti Saljuq, pada 440 H/1048 M. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di lembaga pendidikan kenamaan yang menjadi model perguruan tinggi di kemudian hari dan melahirkan banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu itu.

Melalui jabatannya sebagai mahaguru, nama Al-Ghazali pun berkibar: sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi. Tidak saja di lingkungan lembaga itu. Namun, juga di kalangan pemerintahan di Bagdad. Lantas, pada 488 H/1095 M, ia meninggalkan Bagdad, dengan memberikan kesan akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, sejatinya, kala itu ia sedang mengalami krisis berat dalam kehidupan ruhaniahnya. Ya, krisis ruhaniah.

Tentang krisis ruhaniah yang menghajar dirinya kala itu, Al-Ghazali mengungkapkannya dengan indah sebagai berikut, “Kondisi diriku pun lantas kurenungkan. Ternyata, aku terlalu tersibukkan dengan pelbagai ikatan duniawi yang menyergap diriku dari segala penjuru. Amal-amalku pun lantas kurenungkan. Khususnya, amalku yang terbaik, yaitu mengajar. Ternyata, aku hanya menerima ilmu yang remeh dan tak berguna. Aku pun lantas merenungkan niatku dalam mengajar. Ternyata, niatku pun tak ikhlas. Malah, hanya karena terdorong keinginan untuk memburu jabatan dan menjadi tokoh tersohor. Aku pun menjadi yakin, aku nyaris mengalami kehancuran dan benar-benar tak akan terselamatkan dari neraka, andaikan aku tak meninggalkan semua hal yang remeh temeh itu.

Untuk beberapa lama, aku tak henti-hentinya merenungkan semua hal itu. Kala itu, aku masih jauh lagi dari mengambil keputusan. Terkadang, aku begitu ingin melarikan diri dari Bagdad dan meninggalkan kondisi yang ada. Namun, keinginan itu lantas mereda kembali. Lalu, kucoba untuk melangkah lagi. Tapi, aku lantas balik surut. Manakala pagi menampakkan semburatnya, aku sangat berkeinginan untuk menggapai kehidupan akhirat. Namun, begitu sang senja mulai menampakkan diri, pasukan hawa nafsu pun menghancurkan keinginan itu. Akibatnya, manakala pesona duniawi begitu kuat menahan diriku agar tetap tinggal, di kala yang sama seruan keimanan menyeru diriku agar pergi. Ya, pergi, karena usia tinggal tersisa sedikit lagi, sedangkan perjalanan masih sangat panjang membentang. Padahal, semua ilmu maupun amalku hanya untuk menonjolkan diri dan merupakan ilusi semata. Setan pun kembali muncul dan menggodaku, ‘Ah, bukankah keadaanmu yang demikian ini hanya selintas saja. Kau tentu kuasa menundukkannya. Bukankah hal itu gampang sirna?’

Aku tetap dalam keadaan ragu. Terombang-ambing di antara tarikan pesona duniawi dan seruan akhirat. Keadaanku berlangsung selama enam bulan. Akhirnya, keadaanku ini memaksaku untuk mengambil keputusan. Sebab, Allah telah mengunci kalbuku hingga tak kuasa mengajar.

Suatu hari, dengan semangat penuh, aku berusaha menyenangkan berbagai pihak. Ternyata, sepatah kata pun tak terucapkan olehku. Aku sama sekali tak kuasa mengucapkannya. Keadaan yang menimpa diriku itu lantas menimbulkan derita dalam kalbu. Hancurlah, bersamanya, kemampuanku untuk mencerna. Juga, sirna bersamanya nafsu makan maupun minum. Kala itu, setetes minuman atau sesuap makanan tak terasakan. Keadaan ini berlanjut dengan melemahnya semua daya dan kekuatan. Sehingga, para dokter pun merasa tak kuasa menyembuhkannya. Ucap mereka, ‘Keadaan ini pertama-tama menimpa kalbu. Lantas, dari situ, menjalar ke seluruh tubuh. Akibatnya, kini tiada jalan untuk menyembuhkannya, kecuali dengan perginya rahasia terpendam dalam pikiran yang menderita.’

Ketika aku menyadari ketidakmampuanku, dan seluruh kesanggupanku untuk memutuskan sirna, aku pun kembali kepada Allah laksana kembalinya orang yang tersudut dan tanpa daya
.”

Untuk mengatasi krisis ruhaniah itu, Al-Ghazali akhirnya meninggalkan segala pencapaian ilmiahnya dan ketenaran namanya, yang telah ia bangun dengan kedudukannya sebagai mahaguru yang tenar dan tersohor, dan memasuki hidup berkontemplasi. Kemudian, dari bilik-bilik tertutup di masjid-masjid Damaskus, Suriah dan Bait Al-Maqdis, Palestina serta dari keheningan dan kebeningan tafakur, ia tatap dengan kritis arus pemikiran agama dominan yang, dengan meninggalkan dunia ramai, kini secara lahiriah telah ia tinggalkan pula. Tentang bagaimanana ia akhirnya berhasil mengatasi krisis itu, ia mencatat sebagai berikut, “Penyakit itu pun kian merajalela. Hampir selama dua bulan, terpepet oleh kondisi yang ada dan bukannya berdasarkan logika yang sehat, aku meniti jalur kaum sofis. Kondisi itu berlangsung hingga Allah menyembuhkan sakitku itu, hingga jiwaku pun kembali sehat dan normal kembali. Hasil daya pikir pun kembali dapat diterima dan dipercaya penuh rasa aman serta yakin.

Semua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi. Juga, bukan karena adanya kata yang tersusun benar. Tapi, karena adanya cahaya yang diturunkan Allah ke dalam kalbu. Yaitu, cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan. Jelasnya, siapa pun mengira bahwa iluminasi (kasyf) hanya tergantung pada dalil-dalil semata, sejatinya ia telah mempersempit karunia Allah yang demikian luas
.”

Selepas itu, barulah Al-Ghazali naik haji. Seusai melaksanakan ibadah tersebut, dari Makkah Al-Mukarramah, pada 489 H/1096 M ia merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah ia menyusun karya puncaknya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Dan, kini, bagaimanakah pesan Al-Ghazali kepada seseorang yang bermaksud melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji?

Nah, dalam Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, tokoh yang seorang ulama dan pemikir terkemuka itu dengan begitu indah mengemukakan catatan dan pesannya kepada orang yang berniat melaksanakan melaksanakan ibadah haji atau umrah ke Makkah Al-Mukarramah. Tentang persiapan ruhaniah yang perlu disiapkan seseorang yang bermaksud menunaikan kedua ibadah tersebut, dalam karya besarnya itu ia antara lain berpesan:

Wajar, bila seseorang yang akan menapakkan kaki menuju Baitullah tak menyia-nyiakan kunjungannya. Juga, kiranya ia berharap, maksud kunjungannya adalah untuk mendapatkan anugerah pada Hari Kembali yang ditentukan atas dirinya. Yaitu, memandang wajah Allah Yang Maha Mulia di tempat ketetapan pada saat mata yang picik tak siap menerima pandangan terhadap wajah Allah Swt. Juga, tak kuasa menanggungnya serta tak bersedia berhiaskan dengannya, karena kepicikan pandangannya. Di negeri akhirat, manakala pandangan itu ditopang oleh kekekalan dan dibersihkan dari seluruh penyebab perubahan dan kebinasaan, tentu ia menjadi sedia untuk memandang dan melihat wajah-Nya.

Namun, dengan bermaksud mengunjungi Baitullah dan memandanginya, tentu ia berhak bertemu dengan Yang Memiliki Baitullah, berdasarkan hukum perjanjian yang mulia. Karena itu, tak mustahil kerinduan untuk bertemu dengan Allah Swt. juga merupakan kerinduan terhadap pelbagai penyebab pertemuan itu. Di samping itu, juga karena mencintai sesuatu akan membangkitkan kerinduan terhadap segala sesuatu yang dinisbatkan pada sesuatu yang ia cintai. Baitullah, yang dinisbatkan kepada Allah Swt., wajar bila dirindukan semata karena adanya penisbatan itu. Lebih-lebih bila untuk meraih pahala banyak yang dijanjikan
.”

Tentang tekad untuk melaksanakan ibadah di Tanah Suci, baik ibadah umrah maupun ibadah haji, tokoh yang pernah menapakkan kaki dan memasuki Bagdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah, sebuah perguruan terkemuka di Bagdad pada Masa Pertengahan itu mengemukakan, manakala seseorang telah memancangkan tekad untuk bertolak ke Tanah Suci, hal itu berarti ia telah berniat bulat akan berpisah dengan keluarga dan tempat tinggal. Juga, ia telah berniat akan meninggalkan hawa nafsu dan kesenangan serta mengarahkan diri sepenuhnya menuju Baitullah. Tokoh itu juga menyarankan, hendaknya dalam kalbu calon peziarah Tanah Suci tumbuh sikap mengagungkan kedudukan Baitullah dan kedudukan Yang Memiliki Baitullah. Demikian halnya hendaknya ia mengetahui bahwa ia telah bertekad menuju sesuatu yang tinggi kedudukannya dan penting keadaannya.

Sejatinya, barang siapa mendambakan sesuatu yang agung, niscaya keagungan tersebut akan mekar dalam kalbunya,” demikian ucap Al-Ghazali. “Karena itu, hendaknya ia menjadikan tekadnya ikhlas sepenuhnya. Demi Allah Swt. semata dan lepas sepenuhnya dari paduan dengan sikap menonjolkan diri dan keinginan disanjung orang. Juga, hendaknya ia meyakini bahwa orang yang bermaksud beramal tak akan diterima selain dengan ikhlas karena-Nya semata. Sejatinya, sebagian dari kekejian yang paling buruk adalah pergi menuju Baitullah dan Tanah Haram, tapi maksudnya yang sejatinya adalah lain. Karena itu, hendaknya ia meluruskan tekad dalam dirinya dan membetulkannya dengan kalbu yang ikhlas. Keikhlasan bakal timbul dengan menjauhkan diri dari sikap ingin menonjolkan diri dan perasaan bangga yang membara dalam diri. Untuk itu, hendaknya ia waspada agar tak menggantikan sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk.

Sementara maksud memutuskan seluruh hubungan ialah mengembalikan seluruh hak orang lain yang diperoleh dengan secara tak sah dan bertobat dari seluruh perbuatan maksiat dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt. Sebab, setiap tindakan aniaya sejatinya senantiasa memiliki kaitan. Setiap kaitan laksana orang yang berutang yang hadir yang digantungi kain yang diikatkan di lehernya. Lalu, ia dipanggil dan ditanya, “Hendak pergi ke mana Anda? Apakah Anda bermaksud menemui Sang Maharaja? Bukankah Anda telah menyia-nyiakan perintah-Nya di tempat Anda ini, melecehkannya, dan mengabaikannya? Apakah Anda tak malu datang menghadap kepada-Nya laksana seorang hamba yang durhaka, lantas Dia menolak kedatangan Anda dan tak menerima Anda? Bila Anda menghendaki agar kunjungan Anda diterima, kembalikanlah seluruh hak orang lain dan bertobatlah kepada-Nya dari seluruh perbuatan maksiat! Lantas, putuskanlah hubungan Anda, sehingga Anda tak lagi berpaling ke belakang! Ini agar Anda dapat berhadapan dengan-Nya sepenuh hati Anda, seperti halnya ketika Anda berhadapan dengan Rumah-Nya dengan lahiriah tubuh Anda. Bila Anda tak melaksanakan hal yang demikian, pertama-tama tiada yang Anda dapatkan dari perjalanan Anda selain kepenatan dan kesengsaraan, sedangkan pada akhirnya Anda akan diusir dan ditolak
.”

Lebih jauh Al-Ghazali berpesan, hendaknya orang yang akan bertolak ke Tanah Suci memutuskan hubungan dengan tempat asal, bagaikan tindakan seseorang yang memutuskan diri dari-Nya. Juga, hendaknya ia mengandaikan tak akan kembali lagi. Karena itu, hendaknya ia menuliskan wasiat kepada anak-anak dan keluarganya. Sebab, orang yang meniti perjalanan jauh sejatinya hartanya dalam bahaya, kecuali orang yang dipelihara Allah Swt. Ketika ia telah memutuskan seluruh hubungan karena perjalanan ke Tanah Suci, hendaknya ia ingat bahwa pemutusan seluruh hubungan ia lakukan karena ia hendak melakukan perjalanan ke akhirat. Ini karena perjalanan yang demikian itu tak akan lama lagi akan berada di hadapannya.

Kini, bagaimanakah sebaiknya tentang bekal bagi seseorang yang akan bertolak ke Tanah Suci?

Hendaknya bekal itu didapat dari hal-hal yang halal,” demikian pesan Al-Ghazali. “Manakala seseorang merasa dirinya masih berupaya memperbanyak bekalnya, masih memburu bekal yang masih tersisa selama di tengah perjalanan, sedangkan sikap dan tindakannya yang demikian tak berubah dan sirna sebelum meraih sesuatu yang dimaksudkan, hendaknya ia ingat bahwa perjalanan di akhirat lebih panjang daripada perjalanan ini dan perbekalannya adalah takwa. Selain itu, sesuatu yang dikira bekal sejatinya akan ditinggalkan ketika mati dan juga akan mengkhianatinya. Karena itu, bekal itu tak akan senantiasa menyertainya, bagaikan makanan basah yang busuk pada permulaan tempat persinggahan selama di tengah perjalanan. Akibatnya, ketika saat diperlukan tiba, ia kebingungan dan memerlukan sesuatu yang menjadi berada di luar jangkauannya. Di samping itu, hendaknya ia waspada atas seluruh amal perbuatannya yang akan menjadi bekalnya ke akhirat yang tak jadi menyertainya selepas mati. Malah, dirusak oleh sikap ingin menonjolkan diri dan kekotoran kelengahan.”

Di sisi lain, tentang mengapa seseorang harus mengenakan pakaian ihram ketika ia sedang melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji, Al-Ghazali mengemukakan, “Hendaknya dengan hal itu mengingatkan pemakainya pada kain kafan dan ia akan dibalut dengan kain itu. Sejatinya, ketika mendekati Baitullah, ia akan terbalut dengan dua helai kain ihram itu. Tapi, perjalanannya itu bisa saja tak sempurna dan tak mustahil pula ia akan bertemu Allah Swt. dalam keadaan terbalut kain kafan itu. Karena itu, seperti halnya ia tak menjumpai Baitullah kecuali dalam keadaan yang di luar kebiasaannya, begitu pula ia hendaknya tidak akan menjumpai Allah Swt. selepas mati kecuali dalam pakaian yang berbeda dengan pakaian yang ia kenakan selama di dunia. Dan, pakaian ihram mirip pakaian kafan, karena pakaian ihram tanpa jahitan seperti halnya kain kafan…”

Selanjutnya,” demikian tokoh yang melewatkan usia senjanya di tempat kelahirannya hingga ia menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumada Al-Tsaniyyah 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, Al-Iqtishâd fî Al-I‘tiqâd, Ayyuhâ Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalâl, Maqâshid Al-Falâsifah, dan Tahâfut Al-Falâsifah, itu mengakhiri pesan indahnya, “ketika meninggalkan kampung halaman, hendaknya ia mengetahui bahwa ia kini berpisah dengan keluarga dan tempat asalnya serta menghadapkan diri kepada Allah Swt. dalam suatu perjalanan yang tiada persamaannya dengan pelbagai perjalanan di dunia. Karena itu, hendaknya ia memancangkan dalam kalbunya, dalam kaitannya dengan sesuatu yang ia kehendaki, ke mana arah yang ia akan tuju dan siapa yang akan ia ziarahi: kini ia menghadap Sang Maharaja bersama duyunan para peziarah yang mengunjungi-Nya. Mereka mendapat panggilan dan memenuhi panggilan itu, dirindukan lalu merindukan, diminta bangkit lalu bangkit dan memutuskan seluruh ikatan serta berpisah dengan seluruh manusia. Lalu, mereka menghadapkan diri ke Rumah Allah yang agung perintah-Nya, yang mahabesar keadaan-Nya, dan mahatinggi kedudukan-Nya, merasa gembira bertemu dengan Baitullah sebagai ganti bertemu dengan Yang Memilikinya hingga mereka berhasil meraih puncak cita-cita mereka dan merasa berbahagia memandang Yang Maha Menguasai mereka.”

Betapa indah pesan-pesan Al-Ghazali!(arofiusmani.blogspot.com/)

No comments: