Gelar Doktor
“Assalamu’alaikum… Rofi’, izayy akhbarku? Rofi’, apa kabar?”
demikian ucap seseorang ketika telpon genggam saya berbunyi dan kemudian saya
pencet dua hari yang lalu, Selasa 19 Juni 2012. “Fein intu dzil wa’ti. Di mana
Anda sekarang?”
Mendengar kata-kata dalam bahasa Arab dengan dialek Mesir
yang demikian, saya segera sadar, si penelpon adalah seseorang yang pernah
tinggal di Kairo. “Ini mesti salah seorang sahabat saya yang seangkatan dengan
saya ketika menimba ilmu di ibu kota Mesir itu,” ucap saya dalam hati. Setelah
berpikir sebentar, segera saya teringat, si penelpon adalah seorang sahabat yang kini menjabat sebagai seorang hakim agung
di Jakarta.
“Wa’alaikumussalam… Alhamdulillah, kuwayyis. Intu fi Bandung
dzil wa’ti? Izayy akhbarku? Alhamdulillah, baik-baik saja. Anda di Bandung?
Bagaimana kabar?”
Sahabat saya yang satu itu kemudian mengemukan, kalau esok
harinya dia akan datang ke Kota Bandung. Kali ini, kepergiannya bukan sebagai
seorang hakim agung. Tapi, sebagai seorang guru besar yang akan menjadi salah
seorang penguji seorang kandidat doktor di Universitas Islam Negeri Gunung
Jati, Bandung. Mendengar penjelasannya yang demikian, saya pun bersyukur karena
kini kian banyak pemegang gelar doktor di negeri ini.
Bertambahnya jumlah para pemegang gelar doktor di Indonesia memang merupakan sesuatu hal yang patut disyukuri. Saya pun termasuk orang yang suka memberikan semangat kepada sahabat-sahabat saya untuk meraih gelar tersebut. Sehingga, saya digelari putri sulung saya sebagai “tukang ngomporin para calon doktor”, meski saya sendiri hanya seorang “tukang ketik”, “tukang ngluyur”, dan “tukang jaga lele” serta bukan seorang doktor.
Mengapa saya begitu terobsesi demikian?
Pada tahun 1983, ketika saya masih di Mesir, saya membaca
sebuah buku terbitan Kuwait dan dalam buku tersebut dikemukakan: posisi ilmiah
Indonesia lebih rendah dari posisi Palestina jika dilihat dari jumlah para
pemegang gelar doktor. Kala itu, Indonesia baru memiliki sekitar 1.500 doktor,
sedangkan jumlah orang-orang Palestina di perantauan yang memiliki gelar doktor sekitar 3.000
orang. “Duh, sama orang-orang Palestina yang belum punya negara saja keok.
Memalukan!” keluh saya kala itu. Karena itu, sejak itu, saya selalu memberikan
dorongan kepada para sahabat yang memiliki potensi ilmiah untuk “memburu” gelar
doktor.
Namun, di sisi lain, bagi saya, gelar doktor sejatinya bukan
merupakan terminal terakhir pencapaian ilmiah seseorang. Tapi, gelar itu, bagi
saya, hanyalah sebagai “pintu gerbang” pertama untuk menjadi seorang peneliti
dan harapan saya juga menjadi seorang penulis piawai. Dengan demikian,
perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini dapat berkembang pesat. Tapi, saya
sendiri kerap bersedih hati ketika melihat para sahabat saya yang telah berhasil
meraih gelar doktor tidak sesuai dengan harapan saya tersebut. Mereka kini
lebih tersibukkan dengan tugas-tugas yang kerap kali membuat mereka tidak
sempat melakukan penelitian dan penulisan ilmiah yang benar-benar berbobot.
Semoga saja kesedihan saya tersebut tidak berdasar!
No comments:
Post a Comment