Friday, July 13, 2012


Belajar dari "Kisah" Dubai

Kantuk luar biasa menggelayuti kedua mata, ketika pada 25 Juni 2012 yang lalu, saya bersama 28 orang mulai menikmati Kota Dubai pada saat dini hari: sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Begitu memasuki kamar hotel, selepas menempuh perjalanan sekitar 6.900 kiometer dari Jakarta, dengan naik pesawat terbang selama masa tempuh sekitar 7 jam 20 menit, saya segera merebahkan diri. Tapi, meski mata sudah terasa berat, saya tetap bertahan agar tidak tertidur, karena waktu shalat Shubuh di kota itu adalah pukul 3.50.

Keesokan harinya, tepat pada pukul 08.00 waktu Dubai, kami pun mulai menapaki seputar Kota Dubai. Kala itu, Kota Dubai masih tampak lengang. Belum banyak mobil-mobil yang berkeliaran. Segera,bus yang kami naiki pun membawa kami ke pelbagai penjuru kota yang menempatkan dirinya sebagai "Singapore of the Middle East". Kota Dubai yang lagi tidak macet memang tampak sangat indah dan megah. Gedung-gedung dengan pelbagai gaya yang "nyleneh" bercuatan di sana sini. Sementara bentangan rel Metro Dubai tampak "menghiasi" pelbagai sudut kota itu.

Betapa indah, megah, dan bersih kota yang satu itu. Tidak terasa bagi saya bahwa sejatinya saya sedang berada di kawasan Timur Tengah, andai saja saya tidak melihat pelbagai bill-board bertulisan arab indah di sepanjang jalan. Selepas menikmati Burj Khalifah, Burj Al-Arab, Monoral Dubai (yang mengitari kawasan yang paling elite di Dubai: Palm Island), dan Golden Souk, kami pun kembali ke hotel dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi.

Kota Dubai kini memang beda sekali dengan Kota Dubai ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di kota itu pada awal 2000. Kala itu, padang pasir masih menghiasi banyak pelbagai sudut kota itu. Tapi, kini, kota itu berubah menjadi sebuah kota sangat modern yang maju sekali. Mengapa hal itu terjadi? Tidak lain hal itu merupakan hasil "mimpi" penguasa kota itu dan kemudian dia dengan konsisten membangun emirat yang kecil itu menjadi sebuah emirat yang sangat maju. Tentu, hal itu tidak lepas dari jasa "para pemain di belakang layar": anak-anak muda yang berpendidikan tinggi, cerdas, berwawasan luas, kreatif, inovatif, dan memiliki integritas.

Lewat paduan antara "mimpi" sang penguasa (yang menyadari kekayaan negerinya, minyak, tidak akan tahan lama) dan jasa dan kerja keras anak-anak muda yang mencintai negeri mereka dengan sepenuh hati, tidak lebih dari 20 tahun Dubai menjadi salah satu "bintang" di Timur Tengah. Menurut Anthony Bourdain, Dubai memang luar biasa dan merupakan buah mimpi seorang penguasa yang tahu membangun negerinya. Luar biasa. Namun, bukan berarti Dubai tanpa cela: ghetto-ghetto yang dihuni para pendatang (khususnya dari kawasan anak benua India) masih "bertebaran" di balik gedung-gedung indah nan megah. Selain itu, menurut pengamatan saya, di Kota Dubai masih tidak banyak toko-toko buku, salah satu ciri masyarakat yang terdidik dan maju.

Apapun halnya, kita tidak perlu malu belajar dari negeri yang berukuran "secuil" itu. Tapi, maukah para penggede Indonesia menyadari kekurangan diri mereka dan dengan rendah hati mau belajar kepada orang lain? Wallahu a'lam.

No comments: