SEPATU DAHLAN ISKAN DAN MULLA NASRUDDIN
HOJA
Kemarin, ketika membaca untuk
kedua kalinya sebuah buku berjudul Sepatu Dahlan, yang menuturkan dengan
memikat kisah kehidupan masa belia dan muda yang perih Dahlan Iskan, Menteri
Badan Usaha Milik Negara Indonesia saat ini, entah kenapa benak saya tiba-tiba “melayang-layang” ke Turki. Melayang-melayang
ke Turki karena tiba-tiba teringat Mulla Nasruddin Hoja. Ya, teringat Mulla Nasruddin
Hoja, seorang tokoh yang terkenal kocak ala si Kabayan van Jawa Barat.
Tentu Anda mengenal Mulla Nasruddin
Hoja. Menurut kisah-kisah yang beredar, tokoh yang satu ini adalah seorang sufi
jenaka yang kadang bertindak “kurang waras”. Padahal, menurut Dr. Muhammad
Rajab Al-Najjar, dalam karyanya berjudul Juhâ Al-‘Arabî, mulla yang satu
ini sejatinya bukan sosok yang “kurang waras” alias sangat bego. Sebaliknya, dia
adalah sosok yang berusaha mendekati segala persoalan yang dia hadapi dari
aspek-aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, bagi
orang-orang lain yang tidak menyukai kebenaran, sang mulla merupakan sosok yang
kontradiktif. Tak aneh, bila Sultan ‘Abdul Hamid II, seorang penguasa Turki,
pernah melarang beredarnya “kisah-kisah tentang Nasruddin Hoja”. Sang penguasa
khawatir, kisah-kisah itu dapat membangkitkan perlawanan rakyat Turki terhadap
penguasa. Utamanya, penguasa yang otoriter dan salah dalam mengurus negara dan
rakyat.
Tentu Anda tahu pula gaya Dahlan Iskan. Ke mana-mana menteri yang satu ini kerap mengenakan sepatu kets. Nah, sepatu kets yang dikenakan Dahlan
Iskan mengingatkan saya pada kisah Mulla Nasruddin Hoja
berikut:
Suatu saat, Mulla Nasruddin Hoja mendapat
undangan untuk menghadiri suatu perhelatan besar dan resmi. Menerima undangan
kehormatan demikian, tentu saja dia menyatakan kesediaannya untuk hadir. Nah,
ketika saat perhelatan itu tiba, dia pun pergi ke tempat perhelatan itu.
Berbeda dengan tamu-tamu lain yang mengenakan busana yang mewah dan indah, dia
datang dengan pakaian harian yang biasa ia kenakan.
Ternyata, setiba di tempat
perhelatan itu, tidak seorang pun menaruh perhatian kepada Mulla Nasruddin
Hoja. Malah, dia diperlakukan dengan tidak hormat. Pelayan-pelayan pun
mengabaikan dia. Menengok kepada dia pun tidak. Malah, mereka tidak menyajikan
hidangan apa pun kepadanya.
Menerima perlakuan demikian, Mulla Nasruddin Hoja kemudian dengan diam-diam menyelinap dari perhelatan tersebut.
Tanpa seorang pun melihatnya. Lalu, dia pulang ke rumah. Setiba di rumah, ia
segera mengganti pakaian yang dikenakannya dengan busana mewah nan indah: penuh
pernik-pernik sangat mahal yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang pembesar
dan bangsawan. Tidak lupa dia mengenakan sepatu yang mahal harganya, jubah
sutra, dan serban indah dan tinggi menjulang. Kini, tampilannya laiknya seorang
sultan.
Selepas mengenakan adi busana (haute couture) ala
busana para model papan atas dari Paris, Perancis, Mulla Nasruddin Hoja
kemudian balik ke tempat perhelatan tadi. Berbeda dengan sebelumnya,
kedatangannya kali ini disambut dengan penuh kehormatan dan sanjungan. Malah,
tuan rumah meminta sang mulla agar duduk di sampingnya, di tempat VVIP (very
very important person). Segera pula, tuan rumah menyilakan Mulla Nasruddin
untuk menikmati hidangan nan lezat. Menerima sambutan dan ajakan demikian,
tiba-tiba sang mulla melukar busana kebesarannya dan meletakkan busana itu di
dekat hidangan seraya berucap, “Suruhlah makan pakaian ini! Suruhlah dia makan!”
“Tuan Nasruddin! Apa maksud Anda?” tanya tuan rumah. Sangat kebingungan.
“Bukankah pakaian ini yang Anda
hormati. Bukan saya!” jawab sang mulla.
Kisah Mulla Nasruddin Hoja di atas,
juga kisah sepatu kets Dahlan Iskan, seakan menyentil kita, “Janganlah melihat
seseorang dari tampilannya semata!” Atau barang kali Mulla Nasruddin Hoja maupun
Dahlan Iskan sangat memerhatikan dan memraktikkan pesan Nabi Saw., “Innallâha
la yanzhuru ilâ ajsâmikum walâ ilâ shuwarikum, walâkin yanzhuru ilâ qulâbikum.
Allah tidak memperhatikan tubuh maupun tampilan kalian. Tetapi, Dia melihat
kalbu kalian.” Barang kali!
No comments:
Post a Comment