KAPANKAH SESEORANG RIDHA KEPADA ALLAH SWT?
Ketika sedang berada di Bashrah,
Irak, entah kenapa hari itu Sufyan Al-Tsauri ingin sekali menemui Rabi’ah Al-‘Adawiyyah,
seorang sufi perempuan terkemuka di kota yang satu itu.
Sufyan Al-Tsauri, siapakah dia?
Seorang ahli
hukum Islam (faqîh) dan sufi terkemuka dari kalangan tâbi‘ûn, pada abad ke-2
H/8 M, itulah jati diri Sufyan Al-Tsauri. Lahir
di Kufah pada 97 H/715 M, nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah
Sufyan ibn Sa‘id ibn Masruq Al-Tsauri Al-Kufi. Sesuai
dengan tradisi yang berkembang
kala itu, ia mula-mula menimba
ilmu kepada ayahandanya. Usai
mendapatkan “pembinaan” dari sang ayahanda,
tokoh yang pernah menyatakan, “barang siapa kikir dengan ilmu yang ia
miliki, sejatinya ia mengharapkan tiga
bencana: ia mungkin akan melupakan
ilmunya, atau ia mati tanpa sempat
memanfaatkan ilmunya, atau ia
mungkin akan kehilangan
buku-bukunya”, ini lantas memerdalam ilmu kepada sejumlah ulama. Antara lain
kepada Al-Hasan Al-Bashri,
seorang tabi’i terkemuka.
Usai memperdalam
ilmu kepada sejumlah ulama, nama ulama
yang hidup sederhana dan berpulang di Makkah pada 161
H/778 M itu segera mencuat
sebagai ahli hukum Islam yang berwawasan luas
dan mandiri. Tidak aneh
bila di bidang ini, nama ahli
hukum yang menopang penghidupannya dengan berdagang ini
dapat disejajarkan dengan para
mujtahid terkemuka. Namun, tokoh yang satu ini tidak hanya pakar
di bidang hukum Islam semata.
Ia juga
terkenal sebagai seorang pakar hadis yang menuturkan banyak hadis. Tidak
aneh, karena kepakarannya di bidang terakhir ini, ulama yang
sangat berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah ini mendapatkan gelar Amîr
Al-Mu’minîn di bidang hadis.
Betapa gembira Sufyan Al-Tsauri, ketika
kunjungannya bersama beberapa ulama lainnya diterima dengan baik oleh Rabi’ah
Al-‘Adawiyyah. Selepas berbagi sapa dan berbincang beberapa lama dengan Rabi’ah,
Sufyan kemudian diminta untuk berdoa. Menerima permintaan demikian, ulama yang
senantiasa menjauhi para penguasa itu lantas berdoa. Dalam doanya tersebut,
Sufyan Al-Tsauri antara lain berdoa sebagai berikut, “Ya Allah, Tuhan kami.
Ridhalah atas diri kami semua.”
Ketika Sufyan Al-Tsauri usai
berdoa, Rabi’ah Al-‘Adawiyyah dengan suara pelan menyapanya, “Wahai saudaraku.
Apakah engkau tidak malu kepada Allah Swt.: engkau memohon ridha-Nya, sedangkan
engkau sendiri tidak ridha kepada-Nya.”
“Astaghfirullâh. Aku
memohon ampun kepada Allah,” sahut Sufyan Al-Tsauri begitu mendengar sapaan
yang demikian.
Merasa tidak paham dengan sapaan
Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tersebut, seseorang yang ikut datang bersama Sufyan
Al-Tsauri pun bertanya penuh rasa ingin tahu, “Bunda, kapankah sejatinya
seseorang ridha kepada Allah Swt.?”
“Saudaraku,” jawab Rabi’ah Al-‘Adawiyyah
tetap dengan suara pelan, “Seseorang ridha kepada Allah Swt. manakala
kegembiraannya atas musibah yang menimpa dirinya laksana kegembiraannya atas
nikmat yang dikaruniakan kepadanya.”
Betapa indah, makna ridha tersebut.
No comments:
Post a Comment