Wednesday, November 13, 2013

ITAEWON: SEBUAH DISTRIK MENARIK DI KOTA SEOUL:
Perjalanan Santri Ndeso dan Keluarga ke Negeri Ginseng (2)

Let’s go Itaewon, Pakde, Bude, Bapak, Ibu, dan adik!”

Demikian perintah tour leader kami (alias Mona) selepas kami berenam beristirahat di “Operation Room One” (alias tempat kami menginap di Seodaemun) pada Selasa, 5 November 2013 yang lalu. Mengapa Itaewon yang dijadikan sebagai sasaran pertama ‘kluyuran’ kami?  

“Hari ini kan Tahun Baru Hijriah 1435 H. Karena di Itaewon terdapat Masjid Sentral Seoul, maka distrik itu merupakan tempat paling tepat menjadi tempat pertama yang kita kunjungi di Kota Seoul hari ini,” urai Mona.
“Naik apa kita ke sana? Pakai metro atau bus?” tanya saya.
“Kita manfaatkan saja bus gratis yang disediakan tempat menginap ini. Menghemat dana dan nyaman, hehehe,” jawab tour leader tidak resmi itu. “Di Itaewon, selain mengunjungi Masjid Sentral Seoul, kita akan makan siang di sana. Kali ini, kita makan di luar. Tampaknya, di antara kita ada yang kelaparan, karena naik pesawat terbang yang tidak menyajikan makanan kecuali dengan membeli, hehehe.”
“Saya sudah makan, lo. Beli di pesawat terbang,” sahut Pakde Min (kakak istri) sambil senyum-senyum. Tapi, Pakde tampaknya masih lapar, karena mungkin belum menikmati makan pagi di pesawat terbang.
“Selanjutnya, setelah itu, selama dalam perjalanan ini, kita akan menikmati masakan yang dibikin Bude Us dan Ibu,” urai Mona lebih lanjut. “Selain lebih hemat, juga kehalalannya lebih terjamin. Kemudian, setelah dari Itaewon, kita lihat nanti: apakah kita naik bus atau metro. Atau jika kuat, kita jalan kaki saja. Dari Itaewon, kita akan menuju tempat penginapan di Sejong-daero. Nanti sore, kita akan ke Gwanghamun Square. Oke?”
“Siap, komandan, ” sahut saya dalam hati, begitu mendengar uraian Mona tersebut, sambil menatap keluar jendela dan melihat lingkungan di seputar tempat menginap kami di Seodaemun.

Menaati perintah sang komandan perjalanan, segera kami berlima pun berkemas dan bersiap-siap untuk ‘menikmati’ Kota Seoul dengan metromini yang disediakan tempat menginap kami di Seodaemun. Kami berenam, setelah sampai di Kota Seoul, memang masih menyatu dan belum memisahkan diri di tempat penginapan masing-masing. Saya sendiri segera menyiapkan jaket, payung, dan air minum yang saya campur tablet vitamin C dosis tinggi (untuk menjaga ketahanan tubuh dalam menghadapi musim dingin) ke dalam “tas tempur” saya, alias tas punggung saya. Kemudian, ketika metromini yang akan kami naiki telah siap, kami pun segera naik metromini dengan rute: Hongje Subway Station-Limkwang Tower East-Seoul Subway Station-Itaewon-Ace Tower-YTN Tower-Namdaemun-Hongje Subway Station.  Kali ini, tujuan kami adalah Halte Itaewon.

Sepanjang perjalanan, menuju Itaewon, pandangan saya terarah ke pelbagai sudut Kota Seoul. “Enak juga jadi anak buah,” gumam saya dalam hati. “Tinggal ikut ke mana tour leader melangkah dan bebas menikmati perjalanan.” Ya, menjadi anak buah, dalam perjalanan, memang enak. Ke mana tour leader pergi, kita tinggal mengekor di belakangnya. Berbeda dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya, yang menempatkan saya dalam posisi sebagai tour leader, kali ini kedudukan sebagai anak buah benar-benar saya nikmati. Karena itu, kali ini saya lebih banyak menempatkan diri sebagai fotografer dadakan. Apalagi setelah melihat tour leader, Mona, dan wakilnya, Naila, selalu siap dengan smartphone dan note mereka: untuk mengecek sampai di lokasi mana metromini yang kami naiki berada.

Kota Seoul saat itu, di musim gugur,  tampak begitu indah. Daun-daun yang sedang menguning  dan memerah membuat kota itu kian menawan. Sementara di sepanjang jalan, daun-daun tampak bertebaran dan berserakan di mana-mana, di antara cuatan gedung-gedung dengan aneka ragam gaya dan model. Tradisional maupun modern. Melihat pemandangan demikian, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya mencuat kenangan ketika masih muda dan sedang menimba ilmu di Kairo, Mesir pada awal 1980-an. Kenangan ketika malam, selepas belajar bahasa Perancis di Mounira sampai sekitar pukul sembilan malam, harus berjalan setengah berlari, untuk menghindari terpaan angin musim dingin sambil menikmati dan menghitung satu demi satu bangunan-bangunan  di jalan-jalan yang dilintasi.

Setelah menyusuri pelbagai sudut Kota Seoul selama sekitar 40 menit, metromini yang kami naiki pun berhenti di sebuah halte yang berada di depan sebuah Restoran McDonald. Suasana di Itaewon-ro itu, memang, agak berbeda dengan suasana di pelbagai penjuru lainnya Kota Seoul. Suasana ‘internasional’ lebih mewarnai distrik itu. Khususnya ‘nuansa’ Timur Tengah dan Asia Selatan.  Toko-toko di distrik ini, memang, lebih ‘warna-warni’ ketimbang di bagian-bagian lain Kota Seoul. Distrik ini sendiri,  semula, merupakan desa kecil yang menjadi tempat tinggal para pegawai pemerintahan dari Dinasti  Joseon. Kemudian, selepas Perang Dunia II, distrik itu menjadi “pangkalan” tentara Amerika Serikat. Dan, kini, distrik itu tetap mempertahankan ‘suasananya’ yang ‘warna-warni’. Tidak aneh, karena itu, jika di distrik ini pula banyak terdapat kaum Muslim lengkap dengan warung, resto, maupun toko yang mereka miliki. Juga, sebuah masjid besar yang kemudian disebut Masjid Sentral Seoul.

Meski tour leader dan wakilnya sudah membawa smartphone dan note, ternyata kami agak kesulitan mencari lokasi Masjid Sentral Seoul yang berlamat di 732-21 Hannam-dong, Yongsan-du, Seoul. Kemudian, ketika kami kebingungan dalam mencari alamat masjid tersebut, tiba-tiba muncul dua cewek cantik asal Libya. Lantas, ketika mereka berdua saya tanya, dengan bahasa Arab tentu saja, tentang alamat masjid tersebut, eh mereka malah begitu bersemangat mengantarkan kami menuju ke alamat tersebut. Melihat hal itu, Mona pun berucap, “Hebat juga Bapak. Dua cewek cantik kok mau-maunya ngantar kita hanya karena diajak ngomong bahasa Arab oleh Bapak, hehehe.”
“Lo, itulah kelebihan Bapak, hehehe,” canda saya.  “Asal Ibu gak cemburu saja.”

Kedua cewek cantik asal Libya itu mengantarkan kami hingga belokan menuju Usadan-ro. Sebelum berpisah, mereka saya minta untuk berfoto bersama kami. Eh, lagi-lagi kedua cewek itu dengan penuh semangat memenuhi permintaan kami. Selepas itu, kami pun berjalan pelan di sepanjang jalan itu. Oh, di jalan itu ternyata banyak saudara-saudara kita dari Malaysia yang sedang berbelanja di toko-toko yang bertebaran di sepanjang jalan itu. Memang, di distrik ini ada sebuah guest house Malaysia (lihat: http://malaysianguesthouseinseoul.blogspot.com/) dengan harga yang relatif terjangkau. Apalagi, di sekitar guest house itu dengan mudah terdapat pelbagai sajian dan masakan halal.  Guest house itu selalu penuh. Karena itu, untuk mendapatkan kamar di situ, kita perlu memesannya jauh hari.

Setelah menyusuri Usudan-ro 10 gil, yang menanjak seperti jalan-jalan kecil di Dago, Bandung, akhirnya sampailah kami di Masjid Sentral Seoul yang tegak di atas lahan seluas sekitar 5,000 meter persegi. Alhamdulillah, suatu kebahagiaan luar biasa terasakan dalam hati saya, karena dapat menikmati Tahun Baru Hijriah 1435 H di sebuah masjid nun jauh di sebuah negara non-Muslim. Kami pun shalat  Zhuhur dan ‘Ashar di masjid yang dilengkapi dengan sebuah madrasah untuk anak-anak: “Prince Sultan Islamic School”. Kalau tidak keliru, salah seorang ustadz di madrasah itu berasal dari Indonesia. Sayang, kami tidak bertemu dengannya.

Selepas dari berkunjung ke masjid yang terdiri dari tiga lantai itu, lapar karena dingin mulai menyapa perut kami. Kami pun segera menuju Murree Resto: Korea Muslim Food yang terletak di sebelah kiri masjid yang mulai diresmikan pada 21 Mei 1976 M itu, di Usadan-ro 10 gil. Resto itu milik seorang India Muslim yang beristrikan seorang Muslimah Korea. Resto ini cukup terkenal. Wow, lezat sekali msakan korea yang mereka sajikan. Utamanya kimbibab, buldogi, dan kimchi. Rasanya, bila kembali lagi ke Seoul, saya akan kembali ke resto itu, insya Allah.

Setelah lelah menikmati Distrik Itaewon, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke “Operation Room Two”, alias tempat penginapan kedua yang diinapi Mona, Pakde, dan Bude, dengan naik subway alias metro. Setelah beristirahat di sana, program kami sore hari itu menuju ke Gwanghamun Square dan menikmati King Sejong Museum. (Bersambung: “ANDAI DI BAWAH MONAS ADA MUSEUM SEPERTI INI: Perjalanan Santri Ndeso ke Negeri Ginseng (3)). 

No comments: