Tuesday, November 12, 2013

MENUJU SEOUL:
Perjalanan Santri Ndeso dan Keluarga ke Negeri Ginseng (1)

Mas, anak-anak kok hanya sebentar ya di Baleendah,” keluh istri beberapa bulan yang lalu sambil  menikmati sarapan pagi. “Mereka hanya dua hari di sini. Kangen saya belum hilang, mereka sudah balik ke Jakarta.”
“Sekarang, anak-anak kan punya kegiatan sendiri-sendiri. “ jawab saya. “Mereka tidak leluasa lagi seperti dulu, ketika mereka masih kuliah. ”
“Bagaimana kalau kita “kluyuran” bersama mereka ke Seoul di bulan November nanti. Sehingga, kita dapat bersama mereka dalam waktu yang agak lama. Di samping agar tetap dapat menjaga silaturahmi dan “kluyuran”, biar mereka dapat menimba ilmu dan pengalaman dari orang-orang Korea. Satu minggu saya kira cukup,” sahut istri. “Di awal bulan itu, saya akan pergi ke sana, untuk mendalami penanganan para penderita diabetes. Anak-anak kan penggemar film Korea. Tapi, mereka harus bayar sendiri. Juga, mereka kita minta untuk menyusun rancangan perjalanan dengan dana sehemat mungkin.“
“Oke, setuju. Mereka kan sudah mulai terbiasa “kluyuran” dengan dana terbatas. Apalagi, kalau gak salah, saat itu kan tahun baru hjiriah. Jadi, anak-anak tidak cuti terlalu lama. Bagaimana jika mereka berdua kita angkat jadi tour organizer dan tour leader?”
“Bagus. Dalam perjalanan tersebut, kita jadi anak buah saja. Mereka berdua kan tahu sedikit bahasa Korea dan tentang negara itu.”

Begitu kami (saya dan istri) memberitahu mereka tentang rencana tersebut, dua putri kami (Mona dan Naila) pun dengan semangat menyambut tawaran itu, meski mereka berdua harus merogoh duit dari kocek mereka sendiri. Memang, mereka sejak lama mendambakan dapat “kluyuran” ke Negeri Ginseng. Segera, mereka pun mencari tiket pesawat terbang  ke Seoul dengan harga yang paling murah. Akhirnya, mereka mendapatkan tiket promo  Garuda Indonesia dengan rute Jakarta-Seoul, dengan harga sekitar lima juta untuk tiket pergi-pulang. Setelah kami mendapatkan tiket, seorang kakak dan istrinya ikut bergabung. Namun, karena tiket promo Garuda Indonesia sudah habis, mereka kemudian membeli tiket Air Asia, dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Seoul, dengan harga yang tidak banyak bedanya dan waktu yang  juga hampir bersamaan.

Lantas, beberapa hari sebelum berangkat, pada Senin, 4 November 2013 yang lalu, saya dan istri sudah menerima “itinerary”, alias panduan perjalanan, dari Mona. Lengkap sekali. Meski telah menerima panduan tersebut, saya tetap mempelajari secara cermat Kota Seoul: baik apakah tentang cuaca, transportasi, kultur, makanan, adat istiadat, jadwal shalat, dan lain-lain sebagainya di kota metropolitan itu.  Dari berbagai informasi yang saya dapatkan: kota yang dihuni sekitar 10 juta anak manusia itu, di bulan November, mulai menikmati musim gugur. Kisaran suhu udara di awal bulan itu antara 6-15 derajat celcius. Cuaca yang dingin bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan cuaca sekitar 30 derajat celcius. Karena itu, berbeda dengan perjalanan ke Belanda beberapa bulan yang lalu, persiapan kami kali ini lebih lengkap lagi: ditambah dengan jaket, baju anti-dingin, payung, dan beberapa perlengkapan lainnya yang diperlukan untuk menghadapi cuaca yang tidak bersahabat. Apalagi, menurut perkiraan badan meterologi, pada saat kepulangan kami dari sana, cuaca akan turun drastis menjadi sekitar -1. Dingin kan. Tentu saja, apalagi buat orang Indonesia.

Setelah visa Korea Selatan di tangan, sesuai dengan jadwal perjalanan yang tertera di tiket, kakak dan istrinya berangkat lebih dahulu dengan Air Asia dari Bandara Soetta, dengan transit lebih dahulu di Kuala Lumpur. Sedangkan kami berempat berangkat dari bandara yang sama pada pukul 23.30, Senin, 4 November 2013, dengan Garuda Indonesia. Setelah urusan check-in rampung, tour leader kami (Mona: putri sulung kami), memerintahkan kepada kami, “Untuk urusan imigrasi, kita gak usah lewat petugas imigrasi.  Kita melewati ‘autogate’ saja.”
“‘Autogate’, apa itu?” tanya saya. Penuh tanda tanya.
“Urusan imigrasi kita urus sendiri,” jawab Mona. “Caranya: kita lapor dulu kepada petugas, untuk melaporkan data kita. Setelah paspor kita didata, kita dapat melintasi gerbang imigrasi yang tanpa petugas setiap kali mau pergi ke luar negeri. Enak dan gampang kan!”
“O, gitu,” sahut saya.
Ternyata, problem muncul ketika empat jari istri dipindai: gagal, gagal, dan gagal. “Ini mungkin karena Ibu jarang menyuci dan masak, hehehe,” goda Mona kepada ibunya. “Akibatnya, goresan tangan Ibu lembut sekali dan sulit dipindai. Mencuci dan masaklah Ibu, hehehe.”

Baru setelah dipindai berkali-kali, empat jari istri baru berhasil disidik. Dan, kemudian,pada pukul 23.10,  dengan mata yang mulai terkantuk-kantuk kami pun dipersilakan masuk ke dalam perut pesawat terbang Garuda Indonesia dengan no. penerbangan GA 878. Ohoi, nyaman juga pesawat terbang penerbangan yang pada 2012 meraih no. 1  “The World’s Best Regional Airline” dan pada 2013 ini menerima award “The World”s Best Economy Class”. “Hebat juga Garuda Indonesia,” gumam saya, dalam hati, seraya memasuki  perut pesawat Airbus 330 yang melayani rute Jakarta-Seoul. “Kini, Garuda Indonesia bukan lagi ‘garuda’ yang kerap dipandang dengan sebelah mata. Malah, tahun ini, untuk kelas ekonomi, Singapore Airlines pun harus mengakui keunggulan Garuda Indonesia.”

Perjalanan antara Jakarta-Seoul, sekitar 5,700 kilometer, lebih banyak kami lewati dengan memejamkan mata. Hal itu karena perjalanan kami berlangsung di tengah malam. Dan, setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam 20 menit, sampailah kami di Incheon (baca: incon) International Airport, sebuah bandara megah dan modern yang mengusung tagline, “More than an Airport, Beyond Expectation”. Gagah benar tagline itu. Dan, bandara itu memang megah, modern, dan memang ‘beyond expectation’: seluruh rangkaian proses turun dari pesawat, pemeriksaaan imigrasi, dan klaim bagasi berlangsung cepat dan dan tidak merepotkan. Dan, ketika kami melangkah menuju ‘Exit 5’, dari jauh kami melihat kakak dan istrinya juga sedang menuju ‘exit’ yang sama, setelah menempuh perjalanan dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Seoul dengan pesawat terbang Air Asia dengan no. penerbangan AK 1389 dan D7506. Alhamdulillah.

Eh, begitu berada di ruang tunggu bagian luar, seorang warga Korea mendekati kami berenam. Tahu kami sedang menimbang-nimbang kendaraan yang paling tepat menuju Kota Seoul, antara jumbo taxi, bus, atau kereta api, orang itu menawarkan kami untuk naik mobil miliknya. Setelah menimbang-nimbang, apalagi tempat menginap kami terpisah lumayan jauh: saya, istri, dan Naila menginap di kawasan Seodaemun, dekat Stasiun Subway Hongje, sedangkan kakak, istri, dan Mona menginap di kawasan Jong-no, kami pun menerima tawaran orang itu. Apalagi, setelah dihitung, harga yang dia tawarkan lebih murah: 80,000,- won. Lebih murah ketimbang jika naik jumbo taxi yang mematok harga 90,000,- won. “Ternyata, di Incheon pun ada taksi gelap, hehehe,” gumam saya dalam hati. “Tidak hanya di Bandara Soetta saja.”


Setelah membeli T-Money, kartu untuk ‘kluyuran’ di seputar Kota Seoul, segera kami berenam pun naik mobil ‘Carnival’ orang Korea itu. Dan, setelah menempuh jarak sekitar satu jam, sampailah kami berenam di Kota Seoul (baca ‘soul’), disambut musim gugur yang begitu indah. Karena mengantuk dan kecapaian, sebelum ‘kluyuran’ di seputar Itaewon pada siang harinya, kami pun beristirahat.  (Bersambung: “ITAEWON: SEBUAH DISTRIK  MENARIK DI KOTA SEOUL”).

No comments: