MENUJU SEOUL:
Perjalanan Santri Ndeso dan Keluarga ke Negeri Ginseng
(1)
“Mas, anak-anak kok hanya sebentar ya di Baleendah,” keluh
istri beberapa bulan yang lalu sambil
menikmati sarapan pagi. “Mereka hanya dua hari di sini. Kangen saya belum
hilang, mereka sudah balik ke Jakarta.”
“Sekarang, anak-anak kan punya kegiatan sendiri-sendiri. “
jawab saya. “Mereka tidak leluasa lagi seperti dulu, ketika mereka masih
kuliah. ”
“Bagaimana kalau kita “kluyuran” bersama mereka ke Seoul
di bulan November nanti. Sehingga, kita dapat bersama mereka dalam waktu yang
agak lama. Di samping agar tetap dapat menjaga silaturahmi dan “kluyuran”, biar
mereka dapat menimba ilmu dan pengalaman dari orang-orang Korea. Satu minggu
saya kira cukup,” sahut istri. “Di awal bulan itu, saya akan pergi ke sana,
untuk mendalami penanganan para penderita diabetes. Anak-anak kan penggemar film
Korea. Tapi, mereka harus bayar sendiri. Juga, mereka kita minta untuk menyusun
rancangan perjalanan dengan dana sehemat mungkin.“
“Oke, setuju. Mereka kan sudah mulai terbiasa “kluyuran”
dengan dana terbatas. Apalagi, kalau gak salah, saat itu kan tahun baru
hjiriah. Jadi, anak-anak tidak cuti terlalu lama. Bagaimana jika mereka berdua
kita angkat jadi tour organizer dan tour leader?”
“Bagus. Dalam perjalanan tersebut, kita jadi anak buah
saja. Mereka berdua kan tahu sedikit bahasa Korea dan tentang negara itu.”
Begitu kami (saya dan istri) memberitahu mereka tentang
rencana tersebut, dua putri kami (Mona dan Naila) pun dengan semangat menyambut
tawaran itu, meski mereka berdua harus merogoh duit dari kocek mereka sendiri. Memang,
mereka sejak lama mendambakan dapat “kluyuran” ke Negeri Ginseng. Segera,
mereka pun mencari tiket pesawat terbang
ke Seoul dengan harga yang paling murah. Akhirnya, mereka mendapatkan
tiket promo Garuda Indonesia dengan rute
Jakarta-Seoul, dengan harga sekitar lima juta untuk tiket pergi-pulang. Setelah
kami mendapatkan tiket, seorang kakak dan istrinya ikut bergabung. Namun,
karena tiket promo Garuda Indonesia sudah habis, mereka kemudian membeli tiket Air
Asia, dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Seoul, dengan harga yang tidak banyak
bedanya dan waktu yang juga hampir
bersamaan.
Lantas, beberapa hari sebelum berangkat, pada Senin, 4
November 2013 yang lalu, saya dan istri sudah menerima “itinerary”, alias panduan
perjalanan, dari Mona. Lengkap sekali. Meski telah menerima panduan tersebut,
saya tetap mempelajari secara cermat Kota Seoul: baik apakah tentang cuaca,
transportasi, kultur, makanan, adat istiadat, jadwal shalat, dan lain-lain
sebagainya di kota metropolitan itu. Dari
berbagai informasi yang saya dapatkan: kota yang dihuni sekitar 10 juta anak
manusia itu, di bulan November, mulai menikmati musim gugur. Kisaran suhu udara
di awal bulan itu antara 6-15 derajat celcius. Cuaca yang dingin bagi orang
Indonesia yang terbiasa dengan cuaca sekitar 30 derajat celcius. Karena itu, berbeda
dengan perjalanan ke Belanda beberapa bulan yang lalu, persiapan kami kali ini
lebih lengkap lagi: ditambah dengan jaket, baju anti-dingin, payung, dan
beberapa perlengkapan lainnya yang diperlukan untuk menghadapi cuaca yang tidak
bersahabat. Apalagi, menurut perkiraan badan meterologi, pada saat kepulangan
kami dari sana, cuaca akan turun drastis menjadi sekitar -1. Dingin kan. Tentu
saja, apalagi buat orang Indonesia.
Setelah visa Korea Selatan di tangan, sesuai dengan
jadwal perjalanan yang tertera di tiket, kakak dan istrinya berangkat lebih
dahulu dengan Air Asia dari Bandara Soetta, dengan transit lebih dahulu di
Kuala Lumpur. Sedangkan kami berempat berangkat dari bandara yang sama pada
pukul 23.30, Senin, 4 November 2013, dengan Garuda Indonesia. Setelah urusan
check-in rampung, tour leader kami (Mona: putri sulung kami), memerintahkan
kepada kami, “Untuk urusan imigrasi, kita gak usah lewat petugas imigrasi. Kita melewati ‘autogate’ saja.”
“‘Autogate’, apa itu?” tanya saya. Penuh tanda tanya.
“Urusan imigrasi kita urus sendiri,” jawab Mona. “Caranya:
kita lapor dulu kepada petugas, untuk melaporkan data kita. Setelah paspor kita
didata, kita dapat melintasi gerbang imigrasi yang tanpa petugas setiap kali
mau pergi ke luar negeri. Enak dan gampang kan!”
“O, gitu,” sahut saya.
Ternyata, problem muncul ketika empat jari istri dipindai:
gagal, gagal, dan gagal. “Ini mungkin karena Ibu jarang menyuci dan masak,
hehehe,” goda Mona kepada ibunya. “Akibatnya, goresan tangan Ibu lembut sekali
dan sulit dipindai. Mencuci dan masaklah Ibu, hehehe.”
Baru setelah dipindai berkali-kali, empat jari istri baru
berhasil disidik. Dan, kemudian,pada pukul 23.10, dengan mata yang mulai terkantuk-kantuk kami
pun dipersilakan masuk ke dalam perut pesawat terbang Garuda Indonesia dengan
no. penerbangan GA 878. Ohoi, nyaman juga pesawat terbang penerbangan yang pada
2012 meraih no. 1 “The World’s Best
Regional Airline” dan pada 2013 ini menerima award “The World”s Best Economy
Class”. “Hebat juga Garuda Indonesia,” gumam saya, dalam hati, seraya memasuki perut pesawat Airbus 330 yang melayani rute
Jakarta-Seoul. “Kini, Garuda Indonesia bukan lagi ‘garuda’ yang kerap dipandang
dengan sebelah mata. Malah, tahun ini, untuk kelas ekonomi, Singapore Airlines
pun harus mengakui keunggulan Garuda Indonesia.”
Perjalanan antara Jakarta-Seoul, sekitar 5,700 kilometer,
lebih banyak kami lewati dengan memejamkan mata. Hal itu karena perjalanan kami
berlangsung di tengah malam. Dan, setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam 20
menit, sampailah kami di Incheon (baca: incon) International Airport, sebuah
bandara megah dan modern yang mengusung tagline, “More than an Airport, Beyond
Expectation”. Gagah benar tagline itu. Dan, bandara itu memang megah, modern,
dan memang ‘beyond expectation’: seluruh rangkaian proses turun dari pesawat, pemeriksaaan
imigrasi, dan klaim bagasi berlangsung cepat dan dan tidak merepotkan. Dan,
ketika kami melangkah menuju ‘Exit 5’, dari jauh kami melihat kakak dan
istrinya juga sedang menuju ‘exit’ yang sama, setelah menempuh perjalanan
dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Seoul dengan pesawat terbang Air Asia dengan
no. penerbangan AK 1389 dan D7506. Alhamdulillah.
Eh, begitu berada di ruang tunggu bagian luar, seorang
warga Korea mendekati kami berenam. Tahu kami sedang menimbang-nimbang kendaraan
yang paling tepat menuju Kota Seoul, antara jumbo taxi, bus, atau kereta api,
orang itu menawarkan kami untuk naik mobil miliknya. Setelah menimbang-nimbang,
apalagi tempat menginap kami terpisah lumayan jauh: saya, istri, dan Naila
menginap di kawasan Seodaemun, dekat Stasiun Subway Hongje, sedangkan kakak,
istri, dan Mona menginap di kawasan Jong-no, kami pun menerima tawaran orang
itu. Apalagi, setelah dihitung, harga yang dia tawarkan lebih murah: 80,000,-
won. Lebih murah ketimbang jika naik jumbo taxi yang mematok harga 90,000,-
won. “Ternyata, di Incheon pun ada taksi gelap, hehehe,” gumam saya dalam hati.
“Tidak hanya di Bandara Soetta saja.”
Setelah membeli T-Money, kartu untuk ‘kluyuran’ di
seputar Kota Seoul, segera kami berenam pun naik mobil ‘Carnival’ orang Korea
itu. Dan, setelah menempuh jarak sekitar satu jam, sampailah kami berenam di
Kota Seoul (baca ‘soul’), disambut musim gugur yang begitu indah. Karena
mengantuk dan kecapaian, sebelum ‘kluyuran’ di seputar Itaewon pada siang
harinya, kami pun beristirahat. (Bersambung: “ITAEWON: SEBUAH DISTRIK MENARIK DI KOTA SEOUL”).
No comments:
Post a Comment