USTADZ, APA TUJUAN DIUTUSNYA NABI NUH A.S.?
Kemarin sore, Kamis, 27 Februari 2014, seorang kiai sepuh datang
berkunjung ke rumah kami di Baleendah, Kabupaten Bandung. Bagi kami, saya dan
istri, menerima kunjungan tamu, siapa pun tamu itu, senantiasa kami pandang sebagai penghormatan dan kehormatan kepada kami. Apalagi, tamu itu seorang kiai
terhormat yang memiliki sebuah pesantren dengan jumlah santri yang tidak
sedikit: sekitar seribu santri.
Meski kunjungan itu singkat, namun kami sempat berbincang tentang banyak
hal. Beliau banyak bercerita tentang kisahnya dalam membangun pesantrennya.
Betapa diperlukan kesabaran, kedekatan dengan masyarakat, para orang tua, dan
para santri, serta siap jatuh-bangun. Yang tidak kalah penting: siap mengayomi
masyarakat. Seakan, dengan menuturkan kisah tersebut, beliau menasihati saya
yang masih perlu banyak belajar, belajar, dan belajar dalam mengelola Pesantren
Mini yang kami kelola. Saya pun dengan penuh perhatian mencoba menyimak dan
menyerap inti-inti kisah itu. Entah kenapa, usai berkisah demikian, tiba-tiba
dengan suara pelan beliau bertanya, “Ustadz, bolehkah saya bertanya tentang
sesuatu?”
“Silakan, Bapak Kiai?” jawab saya. Penasaran dan khawatir tidak kuasa
menjawab pertanyaan itu.
“Ustadz, apa sejatinya tujuan diutusnya Nabi Nuh a.s.?” tanya beliau.
“Duh, ini sih bukan sekadar pertanyaan. Tapi, ini adalah ujian dan tes,”
gumam bibir saya sangat pelan.
Beberapa saat tiada sepatah kata pun terucap dari bibir saya. Saya pun
mencoba “membangkitkan kembali” pengetahuan saya tentang Nabi Nuh a.s.
Alhamdulillah, tiba-tiba saya teringat tulisan saya tentang Nabi tersebut.
Tulisan itu saya susun atas permintaan seorang editor sebuah penerbit di
Bandung. Ingat hal itu, saya kemudian menjawab pertanyaan Bapak Kiai. Mendengar
jawaban saya, beliau menyimaknya dengan penuh perhatian. Dan, tidak lama
kemudian, beliau berpamitan.
Kini, apakah sejatinya tujuan diutusnya Nabi Nuh a.s.?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama mari kita sejenak “kembali”
ke masa jauh. Ya, ke masa yang jauh di belakang kita, ke sekitar 5.000 hingga
5.500 yang lalu, untuk menyimak kembali sejenak kisah Nabi Nuh a.s.
Siapakah sejatinya Nabi Nuh a.s. yang juga terkenal dengan sebutan “Nabi
Adam kedua”?
Ibn Katsir (700-774
H/1300-1373 M), seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal dengan karyanya Tafsîr Ibn Katsîr, di
samping juga seorang ahli hadis dan
ahli hukum Islam
yang mengikuti Mazhhab Hanbali pada
masa pemerintahan Dinasti Mamluk, dalam sebuah karyanya berjudul Qashash
Al-Anbiyâ’, mengemukakan, garis keturunan lengkap Nabi Nuh a.s.
adalah sebagai berikut: Nuh bin Lamik (atau Lamech) bin Mitoshilkh bin
Enoch (atau Nabi Idris a.s.) bin Yarid bin Mahlabil bin Qinan bin Anoush bin
Syits bin Adam a.s. Dengan kata lain, Nabi Nuh a.s. merupakan generasi
ke-7 dari keturunan Nabi Adam a.s. dan generasi ke-2 dari keturunan Nabi Idris
a.s. Demikian menurut Ibn Katsir.
Di manakah Nabi Nuh a.s. ini bermukim
sebelum terjadinya prahara besar yang dikenal dengan sebutan “Badai atau Topan
Nuh”? Menurut Dr. Shauqi Abu Khalil, dalam sebuah karyanya berjudul Atlas
of the Qur’an, sang Nabi tinggal di sekitar Kufah, Irak. Kala itu, Kufah
merupakan salah satu wilayah Kerajaan Babylonia.
Berbeda dengan sang kakek, Nabi Idris a.s.,
Al-Quran menuturkan cukup panjang lebar kisah sang cucu: Nabi Nuh a.s.
Berkaitan dengan diri sang kakek, yang menurut Ibn Ishaq (85-150 H/704-767 M, seorang sejarawan Muslim pertama yang
menulis tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad
Saw.)
merupakan orang yang pertama kali menulis dengan pena, Al-Quran mengemukakan
secara ringkas saja, “Dan kemukakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka,
(kisah) Idris (yang tersebut dalam Al-Quran), sesungguhnya dia adalah orang
yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan, Kami telah mengangkatnya ke
martabat yang tinggi.” (QS Maryam [19]: 56-57).
Dalam Al-Quran dituturkan, Nabi Nuh
a.s. diangkat sebagai Rasul kepada kaum yang menyembah berhala: Wadd, Suwwa‘,
Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr. Selain itu, mereka terbawa arus kehidupan yang sarat
dosa dan menyimpang dari perintah Allah Swt. Padahal, mereka adalah anak
keturunan seorang Nabi. Karena itu, Allah Swt. kemudian mengutus sang Nabi,
sebagai rahmat kepada para hamba-Nya. Dengan pengutusan tersebut, Nabi Nuh
a.s. menjadi Rasul pertama yang diutus di muka bumi. Berkenaan dengan misi Nabi
Nuh a.s. yang demikian, Al-Quran mengemukakan, “Sungguh, Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu, ia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah
Allah. Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Sungguh, (bila kalian tidak
menyembah Allah), aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).’
Pemuka-pemuka dari kaumnya (pun) menjawab,
‘Sungguh, Kami memandang dirimu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Nuh
pun berkata, ‘Wahai kaumku, tiada padaku kesesatan sedikit pun. Tetapi, aku
adalah utusan dari Tuhan semesta alam.” (QS Al-A‘râf [7]: 59-61).
Menerima ajakan Nabi Nuh a.s. yang
demikian, kaumnya bukannya senang dan bersyukur. Sebaliknya, mereka kian
membangkang dan menyimpang. Malah, akhirnya, mereka kemudian merasa gusar
kepada Nabi Nuh a.s. dan melabrak sang Nabi. Hal itu sebagaimana
diungkapkan dalam ayat Al-Quran berikut, “Dan mereka berkata, “(Hai Nuh!)
Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhanmu. Dan jangan
pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula
meninggalkan (penyembahan) Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.” (QS Nûh
[71]: 23).
Mungkin, di sini timbul pertanyaan, “Siapakah
Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr? Mengapa mereka menyembah berhala-berhala itu?”
“Mereka adalah nama orang-orang saleh dari
kalangan Nabi Nuh a.s.,” jawab Ibn Katsir dalam karyanya di atas.
“Ketika mereka berpulang, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk membuat
patung-patung mereka di tempat mereka kerap melakukan pertemuan dengan khalayak
ramai. Kemudian, setiap patung diberi nama dengan nama mereka. Usulan setan itu
mereka terima. Sehingga, ketika generasi pertama mereka sudah tiada dan ilmu
mereka juga sudah sirna, patung-patung itu akhirnya disembah.”
Berkenaan dengan hal yang sama, Muhammad
ibn Jarir Al-Thabari (224-313 H/839-926 M),
sejarawan Muslim dan
ahli tafsir Al-Quran terkemuka
pada Masa Pertengahan, menjelaskan lebih jauh, “Mereka memiliki banyak pengikut yang
senantiasa meneladani kehidupan mereka. Ketika mereka berpulang, para pengikut
mereka pun berucap, ‘Bagaimana bila kita buatkan patung mereka. Hal itu akan
membuat kita senantiasa ingat mereka dam mendorong kita agar tekun beribadah.’
Rencana itu pun mereka laksanakan. Ketika para pengikut mereka telah berpulang,
Iblis pun membisikkan kepada generasi berikutnya, ‘Sejatinya mereka (para
pendahulu kalian) menyembah mereka dan meminta hujan dengan perantara
patung-patung itu.’ Akhirnya, patung-patung itu pun mereka sembah.”
Lewat kisah itu, Al-Quran sejatinya juga
menyajikan suatu ajaran yang indah: hendaknya kita menghindari kultus individu atau pendewaan pemimpin, karena hal itu
sangat berbahaya bagi terbentuknya pribadi manusia seutuhnya yang mendekatkan
diri kepada Allah. Hal itu sebagaimana halnya yang terjadi pada diri kaum Nabi Nuh
a.s.
Kemudian, dengan bergulirnya sang waktu,
penyembahan yang dilakukan anak keturunan Nabi Adam a.s. dan Nabi Idris
a.s. terhadap berhala-berhala itu kian
merajalela. Karena itu, Allah Swt. pun mengutus Nabi Nuh a.s. Sebagai
Rasul pertama, sang Nabi mendapatkan tugas utama: menyerukan kepada kaumnya
supaya kembali pada ajaran yang dibawa Nabi Adam a.s., yaitu ajaran yang
didasarkan pada tauhîd.
Tauhîd, sebagai ajaran utama
yang dibawa Nabi Nuh a.s., sejatinya tidak hanya mengesakan Allah Swt. semata.
Tetapi, dalam tauhîd terkandung ajaran-ajaran indah sebagai berikut: Pertama,
kesatuan ketuhanan. Kedua,
kesatuan penciptaan bahwa hanya Allah Swt. semata yang berkuasa menciptakan segala sesuatu. Ketiga, kesatuan kemanusiaan
bahwa manusia sebagai anak
keturunan Adam a.s. memiliki kedudukan
yang sama di hadapan Allah Swt., tidak terbatas pada etnis, ras, suku, bangsa,
dan negara tertentu saja. Keempat, kesatuan petunjuk atau hidâyah yang
menuntun manusia ke jalan yang
dikehendaki Allah Swt. Kelima, kesatuan tujuan hidup yang harus dipahami
secara utuh dan menyeluruh.
Menebarkan
ajaran Tauhid, itulah tujuan utama diutusnya
Nabi Nuh a.s. Juga, para Nabi setelahnya. Betapa indah risalah itu!