Friday, February 28, 2014

USTADZ, APA TUJUAN DIUTUSNYA NABI NUH A.S.?

Kemarin sore, Kamis, 27 Februari 2014, seorang kiai sepuh datang berkunjung ke rumah kami di Baleendah, Kabupaten Bandung. Bagi kami, saya dan istri, menerima kunjungan tamu, siapa pun tamu itu, senantiasa kami pandang sebagai penghormatan dan kehormatan kepada kami. Apalagi, tamu itu seorang kiai terhormat yang memiliki sebuah pesantren dengan jumlah santri yang tidak sedikit: sekitar seribu santri.

Meski kunjungan itu singkat, namun kami sempat berbincang tentang banyak hal. Beliau banyak bercerita tentang kisahnya dalam membangun pesantrennya. Betapa diperlukan kesabaran, kedekatan dengan masyarakat, para orang tua, dan para santri, serta siap jatuh-bangun. Yang tidak kalah penting: siap mengayomi masyarakat. Seakan, dengan menuturkan kisah tersebut, beliau menasihati saya yang masih perlu banyak belajar, belajar, dan belajar dalam mengelola Pesantren Mini yang kami kelola. Saya pun dengan penuh perhatian mencoba menyimak dan menyerap inti-inti kisah itu. Entah kenapa, usai berkisah demikian, tiba-tiba dengan suara pelan beliau bertanya, “Ustadz, bolehkah saya bertanya tentang sesuatu?”
“Silakan, Bapak Kiai?” jawab saya. Penasaran dan khawatir tidak kuasa menjawab pertanyaan itu.
“Ustadz, apa sejatinya tujuan diutusnya Nabi Nuh a.s.?” tanya beliau.
“Duh, ini sih bukan sekadar pertanyaan. Tapi, ini adalah ujian dan tes,” gumam bibir saya sangat pelan.

Beberapa saat tiada sepatah kata pun terucap dari bibir saya. Saya pun mencoba “membangkitkan kembali” pengetahuan saya tentang Nabi Nuh a.s. Alhamdulillah, tiba-tiba saya teringat tulisan saya tentang Nabi tersebut. Tulisan itu saya susun atas permintaan seorang editor sebuah penerbit di Bandung. Ingat hal itu, saya kemudian menjawab pertanyaan Bapak Kiai. Mendengar jawaban saya, beliau menyimaknya dengan penuh perhatian. Dan, tidak lama kemudian, beliau berpamitan.

Kini, apakah sejatinya tujuan diutusnya Nabi Nuh a.s.?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama mari kita sejenak “kembali” ke masa jauh. Ya, ke masa yang jauh di belakang kita, ke sekitar 5.000 hingga 5.500 yang lalu, untuk menyimak kembali sejenak kisah Nabi Nuh a.s. Siapakah sejatinya Nabi Nuh a.s. yang juga terkenal dengan sebutan “Nabi Adam kedua”?

Ibn Katsir (700-774 H/1300-1373 M), seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal  dengan karyanya Tafsîr Ibn Katsîr, di samping juga seorang ahli hadis  dan ahli  hukum  Islam  yang mengikuti  Mazhhab  Hanbali  pada  masa pemerintahan Dinasti Mamluk, dalam sebuah karyanya berjudul Qashash Al-Anbiyâ’, mengemukakan, garis keturunan lengkap Nabi Nuh a.s. adalah sebagai berikut: Nuh bin Lamik (atau Lamech) bin Mitoshilkh bin Enoch (atau Nabi Idris a.s.) bin Yarid bin Mahlabil bin Qinan bin Anoush bin Syits bin Adam a.s. Dengan kata lain, Nabi Nuh a.s. merupakan generasi ke-7 dari keturunan Nabi Adam a.s. dan generasi ke-2 dari keturunan Nabi Idris a.s. Demikian menurut Ibn Katsir.

Di manakah Nabi Nuh a.s. ini bermukim sebelum terjadinya prahara besar yang dikenal dengan sebutan “Badai atau Topan Nuh”? Menurut Dr. Shauqi Abu Khalil, dalam sebuah karyanya berjudul Atlas of the Qur’an, sang Nabi tinggal di sekitar Kufah, Irak. Kala itu, Kufah merupakan salah satu wilayah Kerajaan Babylonia.

Berbeda dengan sang kakek, Nabi Idris a.s., Al-Quran menuturkan cukup panjang lebar kisah sang cucu: Nabi Nuh a.s. Berkaitan dengan diri sang kakek, yang menurut Ibn Ishaq (85-150 H/704-767 M, seorang sejarawan Muslim pertama yang menulis  tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw.) merupakan orang yang pertama kali menulis dengan pena, Al-Quran mengemukakan secara ringkas saja, “Dan kemukakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka, (kisah) Idris (yang tersebut dalam Al-Quran), sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi. Dan, Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Maryam [19]: 56-57).

Dalam Al-Quran dituturkan, Nabi Nuh a.s. diangkat sebagai Rasul kepada kaum yang menyembah berhala: Wadd, Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr. Selain itu, mereka terbawa arus kehidupan yang sarat dosa dan menyimpang dari perintah Allah Swt. Padahal, mereka adalah anak keturunan seorang Nabi. Karena itu, Allah Swt. kemudian mengutus sang Nabi, sebagai rahmat kepada para hamba-Nya. Dengan pengutusan tersebut, Nabi Nuh a.s. menjadi Rasul pertama yang diutus di muka bumi. Berkenaan dengan misi Nabi Nuh a.s. yang demikian, Al-Quran mengemukakan, “Sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu, ia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Sungguh, (bila kalian tidak menyembah Allah), aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).’ Pemuka-pemuka dari kaumnya (pun) menjawab,  ‘Sungguh, Kami memandang dirimu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Nuh pun berkata, ‘Wahai kaumku, tiada padaku kesesatan sedikit pun. Tetapi, aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam.” (QS Al-A‘râf [7]: 59-61).

Menerima ajakan Nabi Nuh a.s. yang demikian, kaumnya bukannya senang dan bersyukur. Sebaliknya, mereka kian membangkang dan menyimpang. Malah, akhirnya, mereka kemudian merasa gusar kepada Nabi Nuh a.s. dan melabrak sang Nabi. Hal itu sebagaimana diungkapkan dalam ayat Al-Quran berikut, “Dan mereka berkata, “(Hai Nuh!) Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhanmu. Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula meninggalkan (penyembahan) Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.” (QS Nûh [71]: 23).

Mungkin, di sini timbul pertanyaan, “Siapakah Suwwa‘, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr? Mengapa mereka menyembah berhala-berhala itu?”

“Mereka adalah nama orang-orang saleh dari kalangan Nabi Nuh a.s.,” jawab Ibn Katsir dalam karyanya di atas. “Ketika mereka berpulang, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk membuat patung-patung mereka di tempat mereka kerap melakukan pertemuan dengan khalayak ramai. Kemudian, setiap patung diberi nama dengan nama mereka. Usulan setan itu mereka terima. Sehingga, ketika generasi pertama mereka sudah tiada dan ilmu mereka juga sudah sirna, patung-patung itu akhirnya disembah.”

Berkenaan dengan hal yang sama, Muhammad ibn Jarir Al-Thabari (224-313 H/839-926  M),  sejarawan  Muslim  dan  ahli tafsir  Al-Quran terkemuka pada Masa Pertengahan, menjelaskan lebih jauh, “Mereka memiliki banyak pengikut yang senantiasa meneladani kehidupan mereka. Ketika mereka berpulang, para pengikut mereka pun berucap, ‘Bagaimana bila kita buatkan patung mereka. Hal itu akan membuat kita senantiasa ingat mereka dam mendorong kita agar tekun beribadah.’ Rencana itu pun mereka laksanakan. Ketika para pengikut mereka telah berpulang, Iblis pun membisikkan kepada generasi berikutnya, ‘Sejatinya mereka (para pendahulu kalian) menyembah mereka dan meminta hujan dengan perantara patung-patung itu.’ Akhirnya, patung-patung itu pun mereka sembah.”

Lewat kisah itu, Al-Quran sejatinya juga menyajikan suatu ajaran yang indah: hendaknya kita menghindari kultus individu atau pendewaan  pemimpin, karena hal itu sangat berbahaya bagi terbentuknya pribadi manusia seutuhnya yang mendekatkan diri kepada Allah. Hal itu sebagaimana halnya yang terjadi pada diri kaum Nabi Nuh a.s.

Kemudian, dengan bergulirnya sang waktu, penyembahan yang dilakukan anak keturunan Nabi Adam a.s. dan Nabi Idris a.s.  terhadap berhala-berhala itu kian merajalela. Karena itu, Allah Swt. pun mengutus Nabi Nuh a.s. Sebagai Rasul pertama, sang Nabi mendapatkan tugas utama: menyerukan kepada kaumnya supaya kembali pada ajaran yang dibawa Nabi Adam a.s., yaitu ajaran yang didasarkan pada tauhîd.

Tauhîd, sebagai ajaran utama yang dibawa Nabi Nuh a.s., sejatinya tidak hanya mengesakan  Allah Swt. semata. Tetapi, dalam tauhîd terkandung ajaran-ajaran indah sebagai berikut: Pertama, kesatuan ketuhanan. Kedua,  kesatuan  penciptaan bahwa  hanya Allah Swt. semata yang  berkuasa menciptakan  segala sesuatu. Ketiga, kesatuan  kemanusiaan  bahwa manusia  sebagai anak keturunan Adam a.s. memiliki kedudukan  yang sama di hadapan Allah Swt., tidak terbatas pada etnis, ras, suku, bangsa, dan negara tertentu saja. Keempat, kesatuan petunjuk atau hidâyah yang menuntun  manusia ke jalan yang dikehendaki Allah Swt. Kelima, kesatuan tujuan hidup yang harus dipahami secara utuh dan menyeluruh.

Menebarkan ajaran Tauhid, itulah tujuan utama diutusnya  Nabi Nuh a.s. Juga, para Nabi setelahnya. Betapa indah risalah itu!


No comments: