KERENDAHAN HATI DAN KASIH SAYANG
“Mas, punten, (calon) buku yang pernah saya janjikan beberapa waktu yang
lalu akan segera rampung terpaksa saya tunda,” ucap saya kepada seorang editor sebuah
penerbit di Bandung sekitar tiga minggu lalu. “Entah kenapa, ketika saya sedang
bersujud di Masjid Al-Aqsha (sekitar empat minggu lalu), tiba-tiba muncul ide
untuk mengubah sepenuhnya outline dan isi (calon) buku itu.”
“Tidak apa-apa, Pak Rofi’,” jawab editor yang ramah dan santun itu. “Silakan
dilanjutkan penulisan (calon) buku itu.”
Usai mendapatkan “acc” demikian, segera saya pun “tenggelam” dalam dunia
buku: membaca, membaca, dan membaca, serta menulis, menulis, dan menulis.
Demikian yang terjadi nyaris selama tiga minggu terakhir dalam kehidupan saya.
Lantas, entah kenapa tadi pagi, ketika sedang menyiapkan salah satu anak
pasal (calon) buku itu, lama saya termenung ketika membayangkan suatu peristiwa
yang terjadi sekitar 1385 tahun silam. Itulah saat Rasulullah Saw. dan kaum
Muslim berhasil menaklukkan Kota Makkah. Betapa indah perilaku dan akhlak
beliau kala kemenangan yang sangat beliau dambakan akhirnya berhasil diraih di
tangan.
Bagaimanakah perilaku dan akhlak Rasulullah Saw. dalam situasi dan
kondisi demikian?
Sejenak mari kita ke Makkah, untuk menyimak apa yang terjadi pada 20 (ada yang menyatakan tanggal 21)
Ramadhan 8 H/11 Januari 630 M. Hari itu, ketika pasukan kaum Muslim mulai bergerak menuju jantung Makkah, Kota Suci
itu sendiri membisu di depan Rasulullah Saw. dan para pendukung beliau. Ya,
kini Makkah membisu dan tak lagi meneriakkan seruan-seruan Abu Jahal, Abu Lahab
bin ‘Abdul Muththalib, Hindun bin ‘Utbah, Al-Walid bin Al-Mughirah, dan Umayyah
bin Khalaf, digantikan oleh hiruk pikuk suara sekitar sepuluh ribu pasukan kaum
Muslim yang membahana. Ketika pasukan kaum Muslim itu kian mendekati jantung
Kota Makkah, mereka berpencar dan memasuki kota melalui empat penjuru. Khalid
bin Al-Walid dari bawah, sedangkan yang lain dari bukit, melintasi tiga jalur
yang berbeda. Dan, tak lama kemudian,
Kota Makkah berhasil dikuasai pasukan kaum Muslim. Mereka kemudian bergabung
kembali di sekitar Masjid Al-Haram. Kini, usai sudah tugas mereka.
Ya, kini tugas mereka telah usai, karena Makkah telah jatuh. Kini, suasana
kota itu pun beda jauh dengan suasana sekitar delapan
tahun sebelum itu. Kala itu, Rasulullah Saw. terpaksa meninggalkan bumi kelahirannya secara
sembunyi-sembunyi, tapi dengan kepala tegak. Sedangkan kini, beliau kembali ke
Makkah di siang hari sebagai pemenang. Tapi, kali ini kepala beliau merunduk di
atas untanya, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt., seraya membaca ayat
berikut, “Sungguh, Kami telah memberikan
kemenangan yang nyata kepadamu, agar Allah memberikan pengampunan kepadamu atas
kesalahanmu yang lalu dan yang kemudian, dan menyempurnakan nikmat-Nya
kepadamu, dan membimbing engkau ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fath
[48]: 1-2).
Rasulullah Saw. memasuki
Makkah dengan mengungkapkan kerendahan hati yang paling dalam, dan beliau
memerintahkan agar kaum Muslim memperlihatkan kasih sayang yang paling luhur untuk
merendah diri, bukan untuk menyombongkan diri. Sedangkan saat kebebasan agung
adalah saat bersyukur kepada Zat yang telah memeliharanya dari kesewenang-wenangan
dan penindasan. Dan, saat mendapatkan kekuatan adalah saat bersyukur atas anugerah
yang dikaruniakan Yang Merajai langit dan bumi serta mengakui karunia-Nya.
Selepas Makkah jatuh, Rasulullah
Saw. kemudian berwudhu, melaksanakan shalat sunnah delapan rakaat,
dan beristirahat di tenda bersama Ummu Salamah, Maimunah binti Al-Harits,
dan Fathimah Al-Zahra’. Kemudian, saat yang sangat dinantikan kaum Muslim pun
tiba. Selepas beristirahat cukup, beliau lantas menaiki unta beliau, Al-Qashwa’,
dan pergi menuju Ka‘bah untuk bertawaf tujuh kali. Kemudian, dengan tongkatnya,
beliau memerintahkan agar berhala-berhala yang ada diruntuhkan seraya
mengulang-ulang ayat Al-Quran, “Yang benar
telah datang dan yang batil telah sirna. Sungguh, yang batil niscaya sirna.”
(QS Al-Isra’ [17]: 81).
Usai itu,
Rasulullah Saw. lantas memegang kunci masuk ke dalam Ka‘bah yang dibawakan ‘Utsman
bin Thalhah untuk beliau. Beliau pun memasuki tempat suci itu bersama Usamah
bin Zaid dan Bilal bin Rabah. Selepas beberapa lama di dalam Ka‘bah,
beliau lantas keluar dan memerintahkan agar semua simbol sesembahan kaum
musyrik disirnakan. Ini, agar Rumah Allah dikembalikan pada esensinya. Yaitu
untuk mengungkapkan penyembahan Tuhan Yang tak dapat diserupakan atau diasosiasikan
dengan simbol apa pun. Dengan tindakan itu, beliau mengubah Ka‘bah menjadi
masjid sesungguhnya yang semenjak itu hanya diabdikan untuk penyembahan satu
Tuhan.
Kala itu sendiri,
sedikit demi sedikit, orang-orang Quraisy keluar dari rumah mereka. Mereka kemudian
berkumpul di sekitar Ka‘bah. Kini, semua orang menanti dengan tak sabar apa
yang terjadi berikutnya. Rasulullah Saw. kini berdiri di depan Ka‘bah, menghadap
ke arah kaum Muslim. Sedangkan orang-orang Quraisy menanti nasib mereka. Sebab, hidup dan
mati mereka, kini tergantung di bibir beliau. Sungguh, detik-detik yang
mencekam dan menentukan.
“Inilah saat
dimulainya sejarah”, tulis Dr. Ali Shariati dalam karyanya, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min
Al-Hijrah hattâ Al-Wafâh, “karena kala itu Rasulullah Saw. telah
merampungkan tugas berat yang telah beliau emban selama dua puluh tahun, dengan
menanggung segala derita dan siksaan. Dan, kini, beliau dalam kemenangan besar
dan di puncak cita-citanya dulu. Dengan sepuluh ribu pedang di tangan para
pengikut beliau, beliau memegang nasib kota yang telah menimpakan siksaan atas
diri beliau selama tiga belas tahun, dan senantiasa mengacungkan pedangnya
selama dua puluh tahun dalam kehidupan beliau.”
Tak aneh jika manakala Rasulullah Saw. akan menyampaikan pernyataan beliau,
jantung semua orang berdebar-debar. Puluhan ribu orang, laki-laki dan
perempuan, kawan dan lawan, tegang menanti keputusan yang bakal keluar dari
bibir beliau. Seakan, burung-burung bertengger di kepala mereka. Tiba-tiba beliau
menghadapkan mukanya ke arah orang-orang Quraisy dan kemudian berucap, “Tiada
Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Yang tak memiliki sekutu. Ia telah menepati janji-Nya,
menolong hamba-Nya, dan mengalahkan gabungan musuh-musuh-Nya. Hanya Ia sendiri
(yang dapat
melakukannya).”
Kemudian Rasulullah Saw. menyampaikan kepada orang-orang Quraisy pelbagai aturan
Islam dan membaca ayat, “Wahai manusia, sungguh Kami telah
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta
menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling
mengenal. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
adalah orang yang paling takwa di antara kalian. Sungguh, Allah Mahamengetahui
lagi Mahamengenal.” (QS Al-Hujurât [49]: 13).
Selepas itu, Rasulullah Saw. bertanya kepada orang-orang Quraisy, “Wahai
orang-orang Quraisy. Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang akan kulakukan
kini?”
“Amat baik, wahai saudara yang baik dan putra saudara kami yang mulia,”
jawab mereka. Serempak.
Tiba-tiba saja Rasulullah Saw. berseru, “Pergilah, kalian adalah orang-orang
yang bebas.”
Betapa indah sikap dan tindakan Rasulullah Saw. itu. Ketika beliau berada
di puncak kekuasaan dan kemenangan, meminjam ungkapan Dr. Ali Shariati dalam karyanya, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min
Al-Hijrah hattâ Al-Wafâh, “ternyata beliau pun sampai pula di puncak
kerendahhatian dan kasih sayang beliau. Inilah salah satu di antara sifat
beliau yang menonjol. Selepas menyampaikan amnesti umum, beliau menggunakan
cara yang paling sederhana untuk mengampuni orang-orang yang dikecualikan karena
pengkhianatan yang luar biasa.”
Dalam memberi
komentar perihal sikap dan tindakan Rasulullah Saw. itu sendiri, Seyyed Hossein
Nasr, dalam karyanya Muhammad Man of
Allah, menulis, “Berkat keluhuran dan kasih sayangnya, beliau menerima
semua penentangnya ke dalam haribaan Islam. Selama mereka mengakui Islam, walau
hanya dengan kata semata, mereka diampuni dan diterima ke dalam masyarakat baru
ini. Beliau tak mendendam dan tak pula menaruh syak. Karena yang dicitakan
beliau adalah tatanan baru berlandaskan kebenaran dan keadilan. Bukan hasrat
membalas perbuatan buruk yang selama itu mereka lancarkan kepada Nabi dan para
sahabat.
Sampai sejauh itu
Nabi memaafkan manusia, walau beliau senantiasa ditantang oleh sifat musyrik
orang-orang yang menyembah berhala itu. Kemurkaan beliau sejatinya tidak
ditujukan kepada pribadi yang meminta diampuni dan menyatakan menyembah Allah.
Tak peduli apakah itu bertolak dari hati yang tulus atau hanya kemestian semata.
Tapi, ditujukan pada berhala-berhala yang bersifat benda dan individualis itu.
Ini karena berhala-berhala itu menistakan Rumah Allah dan menyembunyikan
Hadirat Allah, yang tak dapat digambarkan atau pun dicerminkan oleh patung atau
berhala mana pun jua.”
Ya, kerendahan hati dan puncak kasih sayang, itulah perilaku dan akhlak
indah Rasulullah Saw. ketika berhasil meraih kemenangan. Sebagai umat beliau,
tidak inginkah kita meneladani perilaku dan akhlak yang sangat indah itu? Semoga.
No comments:
Post a Comment