Wednesday, February 19, 2014

KERENDAHAN HATI DAN KASIH SAYANG

Mas, punten, (calon) buku yang pernah saya janjikan beberapa waktu yang lalu akan segera rampung terpaksa saya tunda,” ucap saya kepada seorang editor sebuah penerbit di Bandung sekitar tiga minggu lalu. “Entah kenapa, ketika saya sedang bersujud di Masjid Al-Aqsha (sekitar empat minggu lalu), tiba-tiba muncul ide untuk mengubah sepenuhnya outline dan isi (calon) buku itu.”
“Tidak apa-apa, Pak Rofi’,” jawab editor yang ramah dan santun itu. “Silakan dilanjutkan penulisan (calon) buku itu.”

Usai mendapatkan “acc” demikian, segera saya pun “tenggelam” dalam dunia buku: membaca, membaca, dan membaca, serta menulis, menulis, dan menulis. Demikian yang terjadi nyaris selama tiga minggu terakhir dalam kehidupan saya.

Lantas, entah kenapa tadi pagi, ketika sedang menyiapkan salah satu anak pasal (calon) buku itu, lama saya termenung ketika membayangkan suatu peristiwa yang terjadi sekitar 1385 tahun silam. Itulah saat Rasulullah Saw. dan kaum Muslim berhasil menaklukkan Kota Makkah. Betapa indah perilaku dan akhlak beliau kala kemenangan yang sangat beliau dambakan akhirnya berhasil diraih di tangan.

Bagaimanakah perilaku dan akhlak Rasulullah Saw. dalam situasi dan kondisi demikian?

Sejenak mari kita ke Makkah, untuk menyimak apa yang terjadi pada 20 (ada yang menyatakan tanggal 21)  Ramadhan 8 H/11 Januari 630 M. Hari itu, ketika pasukan kaum Muslim mulai bergerak menuju jantung Makkah, Kota Suci itu sendiri membisu di depan Rasulullah Saw. dan para pendukung beliau. Ya, kini Makkah membisu dan tak lagi meneriakkan seruan-seruan Abu Jahal, Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib, Hindun bin ‘Utbah, Al-Walid bin Al-Mughirah, dan Umayyah bin Khalaf, digantikan oleh hiruk pikuk suara sekitar sepuluh ribu pasukan kaum Muslim yang membahana. Ketika pasukan kaum Muslim itu kian mendekati jantung Kota Makkah, mereka berpencar dan memasuki kota melalui empat penjuru. Khalid bin Al-Walid dari bawah, sedangkan yang lain dari bukit, melintasi tiga jalur yang berbeda. Dan, tak lama kemudian, Kota Makkah berhasil dikuasai pasukan kaum Muslim. Mereka kemudian bergabung kembali di sekitar Masjid Al-Haram. Kini, usai sudah tugas mereka.  

Ya, kini tugas mereka telah usai, karena Makkah telah jatuh. Kini, suasana kota itu pun beda jauh dengan suasana sekitar delapan tahun sebelum itu. Kala itu, Rasulullah Saw. terpaksa meninggalkan bumi kelahirannya secara sembunyi-sembunyi, tapi dengan kepala tegak. Sedangkan kini, beliau kembali ke Makkah di siang hari sebagai pemenang. Tapi, kali ini kepala beliau merunduk di atas untanya, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt., seraya membaca ayat berikut, “Sungguh, Kami telah memberikan kemenangan yang nyata kepadamu, agar Allah memberikan pengampunan kepadamu atas kesalahanmu yang lalu dan yang kemudian, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu, dan membimbing engkau ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fath [48]: 1-2).

Rasulullah Saw. memasuki Makkah dengan mengungkapkan kerendahan hati yang paling dalam, dan beliau memerintahkan agar kaum Muslim memperlihatkan kasih sayang yang paling luhur untuk merendah diri, bukan untuk menyombongkan diri. Sedangkan saat kebebasan agung adalah saat bersyukur kepada Zat yang telah memeliharanya dari kesewenang-wenangan dan penindasan. Dan, saat mendapatkan kekuatan adalah saat bersyukur atas anugerah yang dikaruniakan Yang Merajai langit dan bumi serta mengakui karunia-Nya.

Selepas Makkah jatuh, Rasulullah Saw. kemudian berwudhu, melaksanakan shalat sunnah delapan rakaat,  dan beristirahat di tenda bersama Ummu Salamah, Maimunah binti Al-Harits, dan Fathimah Al-Zahra’. Kemudian, saat yang sangat dinantikan kaum Muslim pun tiba. Selepas beristirahat cukup, beliau lantas menaiki unta beliau, Al-Qashwa’, dan pergi menuju Ka‘bah untuk bertawaf tujuh kali. Kemudian, dengan tongkatnya, beliau memerintahkan agar berhala-berhala yang ada diruntuhkan seraya mengulang-ulang ayat Al-Quran, Yang benar telah datang dan yang batil telah sirna. Sungguh, yang batil niscaya sirna.” (QS Al-Isra’ [17]: 81).

Usai itu, Rasulullah Saw. lantas memegang kunci masuk ke dalam Ka‘bah yang dibawakan ‘Utsman bin Thalhah untuk beliau. Beliau pun memasuki tempat suci itu bersama Usamah bin Zaid dan Bilal bin Rabah. Selepas beberapa lama di dalam Ka‘bah, beliau lantas keluar dan memerintahkan agar semua simbol sesembahan kaum musyrik disirnakan. Ini, agar Rumah Allah dikembalikan pada esensinya. Yaitu untuk mengungkapkan penyembahan Tuhan Yang tak dapat diserupakan atau diasosiasikan dengan simbol apa pun. Dengan tindakan itu, beliau mengubah Ka‘bah menjadi masjid sesungguhnya yang semenjak itu hanya diabdikan untuk penyembahan satu Tuhan.

Kala itu sendiri, sedikit demi sedikit, orang-orang Quraisy keluar dari rumah mereka. Mereka kemudian berkumpul di sekitar Ka‘bah. Kini, semua orang menanti dengan tak sabar apa yang terjadi berikutnya. Rasulullah Saw. kini berdiri di depan Ka‘bah, menghadap ke arah kaum Muslim. Sedangkan orang-orang Quraisy menanti nasib mereka. Sebab, hidup dan mati mereka, kini tergantung di bibir beliau. Sungguh, detik-detik yang mencekam dan menentukan.

“Inilah saat dimulainya sejarah”, tulis Dr. Ali Shariati dalam karyanya, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min Al-Hijrah hattâ Al-Wafâh, “karena kala itu Rasulullah Saw. telah merampungkan tugas berat yang telah beliau emban selama dua puluh tahun, dengan menanggung segala derita dan siksaan. Dan, kini, beliau dalam kemenangan besar dan di puncak cita-citanya dulu. Dengan sepuluh ribu pedang di tangan para pengikut beliau, beliau memegang nasib kota yang telah menimpakan siksaan atas diri beliau selama tiga belas tahun, dan senantiasa mengacungkan pedangnya selama dua puluh tahun dalam kehidupan beliau.”

Tak aneh jika manakala Rasulullah Saw. akan menyampaikan pernyataan beliau, jantung semua orang berdebar-debar. Puluhan ribu orang, laki-laki dan perempuan, kawan dan lawan, tegang menanti keputusan yang bakal keluar dari bibir beliau. Seakan, burung-burung bertengger di kepala mereka. Tiba-tiba beliau menghadapkan mukanya ke arah orang-orang Quraisy dan kemudian berucap, “Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Yang tak  memiliki sekutu. Ia telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan gabungan musuh-musuh-Nya. Hanya Ia sendiri (yang dapat melakukannya).”

Kemudian Rasulullah Saw. menyampaikan kepada orang-orang Quraisy pelbagai aturan Islam dan membaca ayat, Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kalian. Sungguh, Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” (QS Al-Hujurât [49]: 13).

Selepas itu, Rasulullah Saw. bertanya kepada orang-orang Quraisy, “Wahai orang-orang Quraisy. Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang akan kulakukan kini?”
“Amat baik, wahai saudara yang baik dan putra saudara kami yang mulia,” jawab mereka. Serempak.
Tiba-tiba saja Rasulullah Saw. berseru, “Pergilah, kalian adalah orang-orang yang bebas.”

Betapa indah sikap dan tindakan Rasulullah Saw. itu. Ketika beliau berada di puncak kekuasaan dan kemenangan, meminjam ungkapan Dr. Ali Shariati dalam karyanya, Muhammad Saw. Khâtim Al-Nabiyyîn: min Al-Hijrah hattâ Al-Wafâh, “ternyata beliau pun sampai pula di puncak kerendahhatian dan kasih sayang beliau. Inilah salah satu di antara sifat beliau yang menonjol. Selepas menyampaikan amnesti umum, beliau menggunakan cara yang paling sederhana untuk mengampuni orang-orang yang dikecualikan karena pengkhianatan yang luar biasa.”

Dalam memberi komentar perihal sikap dan tindakan Rasulullah Saw. itu sendiri, Seyyed Hossein Nasr, dalam karyanya Muhammad Man of Allah, menulis, “Berkat keluhuran dan kasih sayangnya, beliau menerima semua penentangnya ke dalam haribaan Islam. Selama mereka mengakui Islam, walau hanya dengan kata semata, mereka diampuni dan diterima ke dalam masyarakat baru ini. Beliau tak mendendam dan tak pula menaruh syak. Karena yang dicitakan beliau adalah tatanan baru berlandaskan kebenaran dan keadilan. Bukan hasrat membalas perbuatan buruk yang selama itu mereka lancarkan kepada Nabi dan para sahabat.

Sampai sejauh itu Nabi memaafkan manusia, walau beliau senantiasa ditantang oleh sifat musyrik orang-orang yang menyembah berhala itu. Kemurkaan beliau sejatinya tidak ditujukan kepada pribadi yang meminta diampuni dan menyatakan menyembah Allah. Tak peduli apakah itu bertolak dari hati yang tulus atau hanya kemestian semata. Tapi, ditujukan pada berhala-berhala yang bersifat benda dan individualis itu. Ini karena berhala-berhala itu menistakan Rumah Allah dan menyembunyikan Hadirat Allah, yang tak dapat digambarkan atau pun dicerminkan oleh patung atau berhala mana pun jua.”


Ya, kerendahan hati dan puncak kasih sayang, itulah perilaku dan akhlak indah Rasulullah Saw. ketika berhasil meraih kemenangan. Sebagai umat beliau, tidak inginkah kita meneladani perilaku dan akhlak yang sangat indah itu? Semoga.

No comments: