Pagi tadi, ketika saya sedang asyik menyiapkan sebuah judul baru sebuah buku yang sedang saya siapkan untuk Penerbit MIZAN, tiba-tiba telpon berdering. Mona Luthfina, putri sulung saya, yang kebetulan berada tidak jauh dari meja telpon di rumah, segera mengangkat pesawat telpon. Ternyata, telpon dari Bapak Ir. Achmad Noe’man, seorang arsitek senior dan terkemuka Indonesia. Begitu pesawat telpon saya angkat, suara dari seberang berbunyi, “Assalamu’alaikum, Rofi’.” Suara santun dan ramah yang sudah sangat saya kenal, suara Pak Noe’man. Beliau sendiri sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, untuk merancang sebuah masjid yang akan dibangun oleh sebuah keluarga seorang mantan wakil presiden Indonesia.
Arsitek yang merancang Masjid Salman ITB ini memang sering berkomunikasi dengan saya. Biasanya, kalau beliau menelpon saya, beliau ingin menanyakan sesuatu. Benar saja, beliau kali ini bertanya tentang bahasa Arabnya “paguyuban”. Sebenarnya saya heran, kenapa beliau menanyakannya kepada saya. Bukankah teman-teman beliau banyak yang jauh lebih pintar dan pakar ketimbang saya yang hanya “tukang ngluyur” dan “tukang ketik”. Karena sering berbincang dengan beliau, saya pernah kebagian tugas memberi nama masjid sebuah taman makam pahlawan di sebuah kota besar di Jawa. Alhamdulillah, masjid cantik dan mungil yang dirancang oleh Pak Noe’man itu kini telah berdiri dan nama yang saya ajukan tersebut ternyata benar-benar dipakai untuk nama masjid tersebut.
Bagaimanakah riwayat hidup aristek yang santun, ramah, dan tawadhu’ (menurut saya beliau lebih tepat menjadi arsitek yang kiai) ini? Berikut ini catatan saya tentang biografi beliau:
Arsitek Muslim yang terkenal pula sebagai perancang piawai masjid ini lahir di Garut pada Jumat, 11 Rabi’ul Awwal 1343 H/10 Oktober 1924 M. Setelah merampungkan pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderweijs (MULO) di tempat kelahirannya, di samping menimba ilmu di madrasah, putra Haji Mas Djamhari ini lantas meneruskan sekolahnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ketanggungan, Yogyakarta.
Ketika Indonesia memasuki “zaman revolusi”, Noe’man muda bergabung dengan Divisi Siliwangi dan ditugaskan di Jakarta sambil sekolah di Sekolah Menengah Atas Republik. Lantas pada 1368 H/1948 M dia memasuki jurusan bangunan Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (kini menjadi Institut Teknologi Bandung). Tapi, ia merasa kurang “nyaman” di bagian itu. Kebetulan kala itu terjadi penyerbuan pasukan Belanda atas Yogyakarta. Maka, dia tidak melanjutkan kuliahnya dan memasuki Corps Polisi Militer di Bandung dengan pangkat letnan dua. Karier militer ini dia tekuni sampai 1373 H/1953 M.
Ketika di almamaternya dibuka jurusan arsitektur, perancang Masjid Salman di lingkungan Institut Teknologi Bandung ini lantas mengundurkan diri dari tugas militer dan memasuki bidang yang digandrunginya itu. Dia memilih bidang itu karena, menurutnya, “ada nilai-nilai yang cocok untuk beramal saleh dan dengan pensil dan kertas dia bisa berdakwah”. Pendidikan di bidang ini, yang mengantarkannya menjadi arsitek yang menurutnya “harus memiliki kepribadian yang jujur, independen, dan kompeten”, dia rampungkan pada 1378 H/1958 M.
Seusai menempuh pendidikan tingginya tersebut, arsitek yang berdarah Jawa tulen ini sebetulnya hendak dikirim ke Kentucky, Amerika Serikat, untuk mengambil program master. Tapi, dia memilih tidak berangkat dan membuka sebuah biro arsitektur dengan nama “Birano” yang merupakan singkatan dari “Biro Arsitek Achmad Noe’man”. Lewat biro itu dia melahirkan sederet karyanya di bidangnya, antara lain Masjid Salman ITB, Masjid Al-Furqan di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dan Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar.
Tentang pengalamannya dalam merancang Masjid Salman yang tanpa kubah itu, dia pernah menuturkan, “Tahun 1959, saya merancang Masjid Salman, waktu itu sudah lulus. Saat itu, yang namanya arsitek bisa dihitung dengan jari. Ada peristiwa yang menarik. Sekarang ini, mahasiswa yang tidak shalat justru aneh. Kalau dulu, waktu itu, justru yang shalat dianggap aneh. Teman-teman ada yang bilang, wah... salam ya pada Tuhan. My greeting to God. Ya kita acuh saja. Yang namanya di kampus, di ITB lagi, harus membuat masjid. Akhirnya saya bongkar-bongkar literatur arsitektur. Malah, saya sempat naik haji. Mampir ke Regent Park di London, waktu itu belum jadi. Lalu ke Bonn, Muenchen, ke Aya Sofia. Saya mencari acuan. Ketemu Surah Al-Taubah. Jangan kita membuat masjid yang mengakibatkan riya’, gitu kan. Saya justru mencari nilai-nilai yang universal, yang transendental. Jadi, saya hilangkan itu bentuk kubah. Memang, berat juga waktu menghilangkan kubah dari rancangan kita. Itu kan ciri kita.”
Di samping itu Achmad Noe’man juga aktif di berbagai kegiatan lain, antara lain menjadi anggota Majelis Arsitek Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), anggota Dewan Kehormatan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII), dan mantan Ketua Yayasan Universitas Islam Bandung.
Semoga Allah Swt. selalu memberkahi dan meridhai beliau yang telah berdakwah lewat karya-karya arsitekturalnya. Amin.
Tuesday, February 13, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
sampe sekarang cita cita merancang masjid belum kesampean :), salam salut buat Pa Noe'man
hai pakde!! :D
Post a Comment