Bandung, Senin 26 Februari 2007. Ketika saya sedang berada di RS Borromeus, Bandung, menengok Diyah Anggi, putri Mas Tarno dan Mbak Wiwik, Jakarta yang sedang dirawat karena terjatuh dari sepeda motor, istri tercinta saya, Ummie Wasitoh, menelpon dan meminta saya untuk pergi ke sebuah biro perjalanan di Jl. Sunda. Usai pamitan dengan Mbak Wik, Mas Tarno, dan Anggi, saya segera meluncur ke Jl. Sunda. Begitu bertemu dengan seorang karyawan biro perjalanan tersebut, hati rasanya tiada hentinya bersyukur kepada Allah Swt: visa ke Mesir telah disetujui dan mendapat visa berkunjung ke negara itu selama sekitar sebulan.
“Oh Cairo, I’ll see u again!” Betapa kangen hati saya dengan kota indah yang satu itu. Sekitar enam tahun lamanya Kota Seribu Menara itu benar-benar telah memperkaya warna hidup saya. Selama enam tahun, dengan segala suka dan dukanya, hidup di kota yang didirikan oleh Jawhar Al-Shiqilli pada 972 M itu telah memberi saya kesempatan untuk menikmati kehidupan yang kaya warna di kota yang sangat riuh itu dan terakhir kali saya kunjungi pada Februari 1995 untuk menghadiri Cairo International Bookfair. Kala itu, selama sekitar tujuh hari, saya menjadi tamu Mas Dja’far Bushiri (alm.), seorang mahasiwa Indonesia yang kala itu menjadi koresponden majalah Gatra, dua bulan sebelum sahabat saya yang satu itu berpulang tak jelas penyebab kematiannya ketika sedang melakukan liputan di sebuah negara Arab. Padahal, rencananya selepas liputan itu sahabat yang berasal dari Bangkalan, Madura itu akan maju sidang program S-3nya dan menikah dengan putri seorang Imam Masjid sebuah masjid kepresidenan. Allah Maha Kuasa dengan takdir-Nya atas diri setiap hamba.
Kapankah pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota Seribu Menara itu? Sore 11 Desember 1978, itulah hari pertama kali saya menjejakkan kaki di Kota Kairo selepas naik pesawat terbang Royal Air Maroc selama sekitar dua jam dari Jeddah, tanpa mengenal siapa pun. Karena kala itu tak kenal siapa pun di kota itu, saya pun meminta taksi yang saya naiki menuju ke Kedutaan Besar Republik Indonesia yang terletak di Aicha Taimouria St., Garden City, yang terletak tidak jauh dari pusat Kota Kairo yang ditandainya dengan Midan Tahrir. Taksi pun segera meluncur menuju Garden City, sementara hujan rintik-rintik musim dingin sedang menyergap kota itu. Tak terbayangkan oleh saya kala itu, setibanya di KBRI, saya mau ke mana. Semua saya serahkan kepada Allah Swt., seperti halnya ketika pertama kali memasuki Yogyakarta pertama kali pada 1972, sebagai anak daerah, untuk menimba ilmu di Kota Gudeg itu.
Sekitar satu jam selepas menelusuri Kota Kairo dari airport, taksi tua yang saya naiki berhenti di depan sebuah gedung megah yang bentuknya mirip istana. Begitu turun dari taksi yang segera berlalu, dengan menjinjing tas satu-satunya yang saya bawa, saya menerobos hujan rintik menuju ke pos penjagaan. Yang ada hanyalah security Mesir berkulit hitam legam berseragam hitam dan menjinjing senjata bersangkur terhunus. Dengan bahasa Arab fushah (karena belum menguasai bahasa ‘âmiyah (harian) Mesir), saya mencoba berkomunikasi dengan security Mesir tersebut. Sementara suasana di sekitar semakin temaram, karena kala itu sedang musim dingin. Hati semakin gelisah, karena komunikasi dengan security dari Mesir Selatan itu tidak berjalan dan saya tidak tahu malam itu akan menginap di mana, sementara tubuh mulai menggigil kedinginan. Saya memang datang ke kota yang sedang disergap musim dingin ini sebagai “mahasiswa terjun bebas”, sebuah istilah yang dikenakan bagi mahasiswa Indonesia yang datang ke Kairo tanpa beasiswa. Saya datang ke kota ini karena merasa tidak cocok menimba ilmu di Arab Saudi. Karena itu, saya “melarikan diri” ke Mesir hanya dengan sebuah tekad saya harus dapat menaklukkan kota yang satu ini, dengan segala kesulitannya, kepahitannya, keindahannya, keceriaannya, dan khazanah ilmiahnya yang kaya.
Alhamdulillah, Allah Swt. masih mencintai saya yang saat itu benar-benar gelisah. Tak lama kemudian, seseorang dengan tubuh jangkung, hidung mancung, dan wajah tersenyum serta berpayung mendekat. Begitu dekat, orang itu segera menyapa dengan ramah dan santun, “Anda siapa dan dari mana? Kenapa sore dan hujan begini masih ada di sini?”
Subhânallâh, betapa gembira dan damai hati saya begitu tahu orang itu tidak lain adalah Prof. Dr. Fuad Hassan, seorang guru besar Universitas Indonesia yang kala itu menjabat Duta Besar Indonesia di Kairo. Wajah beliau sebelumnya telah saya kenal dari beberapa buku beliau. Segera saja kami terlibat dalam perbincangan. Dan, karena kemudian tahu saya berasal dari Jawa Tengah, maka kemudian beliau menelpon seseorang dan memerintahkan seorang sopir KBRI untuk mengantarkan saya ke flat seorang pegawai lokal KBRI yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Dan, segera sebuah mobil KBRI membawa saya menuju Manial Rawdhah, Kairo, untuk “menitipkan” saya kepada keluarga Mas Ahmad Zabidi (alm). Dan, selepas itu, ternyata selama enam tahun kemudian saya tidak pernah pindah dari distrik tersebut. Terima kasih Pak Fuad Hassan dan Keluarga Mas Ahmad Zabidi (alm.). Jazakumullah Ahsanal Jaza’.
Dan, kalau Allah Swt. mengizinkan, wahai Kairo, 22 Maret 2007 nanti, saya ingin bernostalgia kembali bersamamu, Insya Allah, selama sekitar seminggu, bersama istri tercinta untuk mengikuti simposium internasional tentang diabetes mellitus, dan selepas itu menziarahi Rasul Saw. tercinta di Madinah dan Kota Makkah selama 9 hari. Terima kasih, ya Allah, Engkau masih memberi kesempatan saya untuk ngluyur kembali, untuk merenungkan makna firman-Mu, Fasîrû fi Al-Ardh (Kunjungilah pelbagai belahan dunia).
Berikut sedikit catatan saya tentang cv ringkas Kota Kairo: Ibukota Mesir ini dibangun oleh Jawhar Al-Siqilli, panglima perang Dinasti Fathimiyyah kala menaklukkan Mesir, setelah berhasil menaklukkan negeri itu pada 358 H/969 M. Pembangunan kota yang menurut rancangan aslinya berbentuk persegi empat ini semula dimaksudkan sebagai kamp militer. Kota baru ini diberi nama Al-Qahirah (Sang Penakluk). Yang pertama-tama dibangun, kala itu, adalah sebuah istana besar di sayap timur kota itu, sebagai tempat tinggal khalifah dan para pegawainya serta sebagai pusat pemerintahan. Bagian ini menyita sekitar 70 feddan. Bangunan selanjutnya yang didirikan adalah istana di sayap barat kota ini yang ukurannya lebih kecil. Di antara kedua istana itu dipisahkan oleh sebuah tempat lapang yang dipakai untuk berbagai acara dan upacara.
Ketika khalifah Dinasti Fathimiyah kala itu, Mu‘iz li Dinillah (319-365 H/931-975 M), pindah dari Kota Al-Mahdiyyah, Tunisia ke Kairo, kota terakhir ini ia jadikan sebagai ibukota dinastinya. Pada mulanya sang khalifah menginginkan kota ini sebagai kota tertutup bagi masyarakat luas. Bagi mereka telah disediakan kota Fusthath yang telah ada sebelumnya dan dibangun oleh ‘Amr bin Al-‘Ash pada 21 H/642. Itulah sebabnya Mu‘iz li Dinillah membangun benteng batu bata di sekeliling kota yang dilengkapi beberapa pintu gerbang yang mengikuti gaya pintu gerbang Kota Al-Mahdiyah.
Kota ini sendiri mencapai puncak perkembangannya pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Khususnya setelah bintang Baghdad memudar akibat gempuran pasukan Tartar pada 1258 M. Kemudian dilengkapi dengan jatuhnya kota Granada pada 898 H/1492 M. Dengan jatuhnya kedua kota itu, Kairo pun menjadi bintang kota-kota di dunia Islam kala itu.
Wednesday, February 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment