Dua kemenakan yang bermukim di Pulau Dewata itu acap kali membuat saya kangen. Bukan apa-apa. Profesi arsitek yang mereka sandang acap mengingatkan saya dengan pelbagai karya arsitektur monumental yang dihasilkan para arsitek Muslim di pelbagai belahan dunia. Bila ketemu dua kemenakan yang "lucu-lucu dan imut-imut" itu, segera saja membuat saya terkenang ketika masih berada di Mesir.
Enam tahun berada di Mesir, jauh dari keluarga, acap membuat saya home-sick. Kalau sudah begitu, khususnya ketika sedang libur di hari Jumat, sejak pagi hari saya sudah bersiap-siap ngluyur. Biasanya mencari masjid-masjid historikal di Kota Kairo yang belum pernah saya kunjungi atau baru sekali atau dua kali saya datangi. Atau kalau lagi bosen mengunjungi masjid-masjid, saya biasanya berjalan kaki menuju pangkalan ferri yang menelusuri sepanjang Nil. Betapa nikmat menikmati pemandangan Kota Kairo dari atas feri.
Kenangan akan Kota Kairo tersebut kerap muncul setiap melihat blog kedua kemenakan itu. Saya senang sekali ketika mereka berdua punya cita-cita merancang sebuah masjid. Bicara masjid, segera saja mengingatkan masjid-masjid yang pernah saya kunjungi. Seperti halnya Masjid Al-Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, Masjid Al-Azhar, Masjid Muhammad 'Ali, Masjid Sultan Al-Hasan, Masjid Amr bin Al-'Ash, di Kairo, dan sebuah masjid tanpa tiang sama sekali di Karachi. Melihat masjid-masjid tersebut, saya pun merasa bahwa dunia Islam telah melahirkan para arsitek besar yang piawai memadukan dua disiplin: seni dan ilmu pengetahuan. Dan setiap kali mengenang masjid-masjid tersebut, saya merasa yakin suatu ketika dunia Islam akan melahirkan kembali arsitek-arsitek terbaiknya di tingkat dunia dan mampu berdakwah bil hal tanpa banyak bicara. Barangkali Ika & Priyatna dapat mengikuti jejak-jejak mereka.
Sebagai apresiasi saya terhadap para arsitek Muslim, khususnya buat Ika & Priyatna, kali ini saya akan menghadirkan catatan saya tentang Masjid Nabawi yang dipandang sebagai Bapak Masjid. Berikut ini catatan saya:
Enam tahun berada di Mesir, jauh dari keluarga, acap membuat saya home-sick. Kalau sudah begitu, khususnya ketika sedang libur di hari Jumat, sejak pagi hari saya sudah bersiap-siap ngluyur. Biasanya mencari masjid-masjid historikal di Kota Kairo yang belum pernah saya kunjungi atau baru sekali atau dua kali saya datangi. Atau kalau lagi bosen mengunjungi masjid-masjid, saya biasanya berjalan kaki menuju pangkalan ferri yang menelusuri sepanjang Nil. Betapa nikmat menikmati pemandangan Kota Kairo dari atas feri.
Kenangan akan Kota Kairo tersebut kerap muncul setiap melihat blog kedua kemenakan itu. Saya senang sekali ketika mereka berdua punya cita-cita merancang sebuah masjid. Bicara masjid, segera saja mengingatkan masjid-masjid yang pernah saya kunjungi. Seperti halnya Masjid Al-Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, Masjid Al-Azhar, Masjid Muhammad 'Ali, Masjid Sultan Al-Hasan, Masjid Amr bin Al-'Ash, di Kairo, dan sebuah masjid tanpa tiang sama sekali di Karachi. Melihat masjid-masjid tersebut, saya pun merasa bahwa dunia Islam telah melahirkan para arsitek besar yang piawai memadukan dua disiplin: seni dan ilmu pengetahuan. Dan setiap kali mengenang masjid-masjid tersebut, saya merasa yakin suatu ketika dunia Islam akan melahirkan kembali arsitek-arsitek terbaiknya di tingkat dunia dan mampu berdakwah bil hal tanpa banyak bicara. Barangkali Ika & Priyatna dapat mengikuti jejak-jejak mereka.
Sebagai apresiasi saya terhadap para arsitek Muslim, khususnya buat Ika & Priyatna, kali ini saya akan menghadirkan catatan saya tentang Masjid Nabawi yang dipandang sebagai Bapak Masjid. Berikut ini catatan saya:
Masjid Nabawi, sebuah masjid yang pertama kali dibangun di Madinah, Arab Saudi ini ketika pertama kali berdiri hanya memiliki luas sekitar 4.200 hasta. Masjid yang pembangunannya dimulai pada Rabi'ul Awwal 1 H/September 622 M ini didirikan di atas lahan yang dibeli dari dua anak yatim, Sahl dan Suhail. Pada 7 H/628-629 M Nabi Muhammad saw memperluas masjid ini menjadi 10.000 hasta. Perluasan selanjutnya pada 17 H/638 M, yang dilakukan Khalifah 'Umar bin al-Khaththab, membuat masjid ini menjadi seluas 11.400 hasta. Pada 29 H/649 M masjid ini kembali diperluas untuk keempat kalinya oleh Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Sehingga luas masjid ini mendapat tambahan 496 meter persegi.
Pada tahun-tahun 88-91 H/706-709 M al-Walid bin 'Abd al-Malik, penguasa ke-6 Dinasti Umawiyah di Damaskus, Syria memerintahkan perluasan dan pemugaran masjid ini, di bawah pengawasan 'Umar bin 'Abd al-'Aziz, Gubernur Madinah kala itu. Pada masa ini lah masjid ini mulai dihiasi dengan mosaik, pualam, dan emas. Kemudian pada 160 H/778 M, pada masa pemerintahan al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti 'Abbasiyah di Irak, sayap utara masjid ini mengalami perluasan sampai 2.450 meter persegi. Untuk perluasan ini terpaksa dilakukan penggusuran sejumlah rumah para sahabat Nabi saw.
Akibat musibah kebakaran yang menimpa masjid ini pada 654 H/1256 M, Sultan azh-Zhahir Baibars I al-Bunduqdari dari Dinasti Mamluk di Mesir (memerintah antara 659-676 M/1260-1277 M) memerintahkan pemugaran masjid ini. Musibah serupa menimpa dan terjadi lagi pada abad 9 H/15 M. Pemugaran kali ini dilakukan Sultan al-Asyraf Saif ad-Din Qa'it Bay, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk Burji (memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M). Di samping dipugar, luas masjid ini ditambah 120 meter persegi. Dan, pada 1263 H/1846 M, masjid ini dipugar dan diperluas sebanyak 1293 meter persegi, atas perintah Sultan 'Abd al-Majid I, penguasa ke-32 Dinasti Usmaniyah di Turki (memerintah antara 1255-1278 H/1839-1861 M).
Penguasa dari keluarga Sa'ud juga tidak mau ketinggalan dalam ikut memperluas dan memugar masjid ini. Pertama, perluasan dan pemugaran yang dilakukan Raja 'Abd al-'Aziz. Selanjutnya, perluasan dan pemugaran yang dilakukan pada masa pemerintahan Raja Fahd bin 'Abd al-'Aziz, dengan biaya sekitar 7 miliar dolar Amerika Serikat, membuat Masjid Nabawi yang kini dilengkapi dengan 10 menara dan 27 kubah yang bisa bergerak membuka dan menutup secara otomatis sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengatur sirkulasi udara alami ini menjadi seluas 165.000 meter persegi dengan kapasitas 257.000 jamaah. Dengan kata lain, masjid yang kini memiliki tujuh pintu gerbang utama yang dibuat dengan hiasan kaligrafi yang diukir dari emas di Utara, Timur, dan Barat, di samping dua pintu gerbang di Selatan ini menjadi seluas kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw.
Pada tahun-tahun 88-91 H/706-709 M al-Walid bin 'Abd al-Malik, penguasa ke-6 Dinasti Umawiyah di Damaskus, Syria memerintahkan perluasan dan pemugaran masjid ini, di bawah pengawasan 'Umar bin 'Abd al-'Aziz, Gubernur Madinah kala itu. Pada masa ini lah masjid ini mulai dihiasi dengan mosaik, pualam, dan emas. Kemudian pada 160 H/778 M, pada masa pemerintahan al-Mahdi, penguasa ke-3 Dinasti 'Abbasiyah di Irak, sayap utara masjid ini mengalami perluasan sampai 2.450 meter persegi. Untuk perluasan ini terpaksa dilakukan penggusuran sejumlah rumah para sahabat Nabi saw.
Akibat musibah kebakaran yang menimpa masjid ini pada 654 H/1256 M, Sultan azh-Zhahir Baibars I al-Bunduqdari dari Dinasti Mamluk di Mesir (memerintah antara 659-676 M/1260-1277 M) memerintahkan pemugaran masjid ini. Musibah serupa menimpa dan terjadi lagi pada abad 9 H/15 M. Pemugaran kali ini dilakukan Sultan al-Asyraf Saif ad-Din Qa'it Bay, penguasa Mesir dari Dinasti Mamluk Burji (memerintah antara 873-902 H/1468-1496 M). Di samping dipugar, luas masjid ini ditambah 120 meter persegi. Dan, pada 1263 H/1846 M, masjid ini dipugar dan diperluas sebanyak 1293 meter persegi, atas perintah Sultan 'Abd al-Majid I, penguasa ke-32 Dinasti Usmaniyah di Turki (memerintah antara 1255-1278 H/1839-1861 M).
Penguasa dari keluarga Sa'ud juga tidak mau ketinggalan dalam ikut memperluas dan memugar masjid ini. Pertama, perluasan dan pemugaran yang dilakukan Raja 'Abd al-'Aziz. Selanjutnya, perluasan dan pemugaran yang dilakukan pada masa pemerintahan Raja Fahd bin 'Abd al-'Aziz, dengan biaya sekitar 7 miliar dolar Amerika Serikat, membuat Masjid Nabawi yang kini dilengkapi dengan 10 menara dan 27 kubah yang bisa bergerak membuka dan menutup secara otomatis sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengatur sirkulasi udara alami ini menjadi seluas 165.000 meter persegi dengan kapasitas 257.000 jamaah. Dengan kata lain, masjid yang kini memiliki tujuh pintu gerbang utama yang dibuat dengan hiasan kaligrafi yang diukir dari emas di Utara, Timur, dan Barat, di samping dua pintu gerbang di Selatan ini menjadi seluas kota Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw.
2 comments:
Pak De rofi, judulnya ngga nyambung sama kontenya ah... hehehe. Mau juga dong cerita masjid-masjid kaironya.
hai pakde! *kedipkedip*
Post a Comment