Tuesday, July 17, 2007

"Taman Surga" dan Makam Rasulullah Saw.

Usai melaksanakan shalat subuh, saya kemudian menapakkan kedua kaki dengan khidmat menuju Raudhah dan Makam Rasulullah Saw. serta dua sahabat tercinta beliau: Abu Bakar Al-Shiddiq dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Seperti diketahui, bagi kaum pria, Raudhah dan Makam tersebut dibuka menjelang waktu subuh hingga selepas isya. Sedangkan bagi kaum perempuan, Raudhah dan Makam tersebut dibuka jam tujuh pagi hingga jam sebelas siang hari dan sore hari. Alhamdulillah, setelah mengantri beberapa lama, Allah Swt. mengizinkan saya memasuki Raudhah dan mengunjungi Makam Rasulullah Saw. dan kedua sahabat beliau yang terletak di bagian depan sebelah kiri Masjid Nabawi, Madinah.

Seperti diketahui pula Raudhah adalah suatu bangunan yang berdiri di atas makam Nabi Muhammad Saw. Nama bangunan itu sendiri diambil dari sabda beliau, “Di antara rumahku dan mimbarku terdapat taman (raudhah) di antara taman-taman surga.” Nama tempat ini juga disebut “Mushalla Nabi”. Beliau sendiri memilih tempat di mana beliau akan dimakamkan. Yaitu kamar ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, yang kini masuk dalam lingkungan Masjid Nabawi tersebut.

Sejarah Raudhah ini sendiri hampir seusia dengan Masjid Nabawi. Seusai membangun masjid di Kota Madinah itu, yang hanya berukuran 70 X 60 kaki, Nabi Muhammad Saw. membangun dua bilik. Sebuah untuk istrinya bernama Saudah binti Zam‘ah. Satu lagi untuk ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq. Dua bilik itulah rumah beliau dan tempat tinggal istri beliau, tak lebih. Karena memang kala itu beliau beristri dua. Kedua kamar itu kecil dan bersambung dengan Masjid Nabawi. Dua bilik yang bersahaja itu baru ditambah setelah beliau menikah lagi.

Bilik yang di dalam sejarah Islam dikenal dengan “Rumah ‘A’isyah” adalah satu-satunya rumah Ummahat Al-Mu’minin (Ibu-ibu Kaum Beriman) yang menyatu dengan bangunan masjid. Selebihnya, bilik yang dibangun Rasulullah di sebelah selatan. Bilik itu dikhususkan untuk tempat tinggal Hafshah binti ‘Umar, satu dari dua istri beliau di hari-hari pertama beliau di Madinah. Bilik terakhir itu tidak menyatu dengan masjid. Bangunan itu dipisahkan oleh lorong sempit yang terdapat di arah selatan, areal tempat dibangun mihrab. Sebelah timurnya di kelak hari menjadi Bab Al-Nisa’ (Pintu Gerbang Wanita).

Bilik-bilik tempat tinggal istri-istri Rasulullah ini dilengkapi dengan beranda kecil dan sebuah kamar berfondasikan pelepah kurma. Lotengnya rendah sekali, tak lebih tinggi dari jangkauan tangan orang berdiri. Ketika beliau wafat, beliau dimakamkan di kamar ‘A’isyah. Kepala beliau di sebelah barat dan wajahnya dihadapkan ke arah Kiblat. Dalam perjalanan waktu selanjutnya, Abu Bakar Al-Shiddiq dimakamkan di sebelah utara Rasulullah Saw. Sedangkan ‘Umar bin Al-Khaththab dimakamkan di sebelah utara Abu Bakar. Dengan begitu, bilik ‘A’isyah kini terbelah dua dan diberi dinding. Sebagian dijadikan makam dan sisanya tetap menjadi tempat tinggalnya.

Rumah-rumah istri Rasulullah lainnya tetap seperti sediakala. Rumah-rumah itu baru berubah status pada masa Al-Walid bin ‘Abdul Malik, seorang penguasa Dinasti Umawiyyah di Damaskus, pada 88 H. Kala itu, Al-Walid merasa dihadapkan pada persoalan sulit. Antara memenuhi kebutuhan ruang shalat berjamaah, khususnya shalat Jumat, dengan melestarikan peninggalan sejarah. Tetapi, setelah bermusyawarah, warga Madinah mendukung langkah Al-Walid yang memprioritaskan perluasan Masjid Nabawi. Maka tiada jalan lain kecuali meruntuhkan rumah-rumah istri Rasulullah Saw., kecuali bilik ‘A’isyah.

Kubur-kubur yang ada, oleh Al-Walid dibuatkan ruangan. Agar makam-makam itu tidak diperlakukan seperti Ka‘bah, dihadapi langsung oleh umat Islam yang sedang shalat, Al-Walid membuatkan pagar. Pagar itu bersudut lima. Tingginya sekitar 6,5 meter. Di sebelah utara-antara ruang tempat makam Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan ‘Umar dengan pagar yang bersudut lima itu- ada ruang lumayan luas. Hanya, ruang itu menyempit di bagian timur dan selatan. Di bagian barat malah tidak ada ruang kosong sama sekali. Di sini, di bagian barat, kamar makam menyatu dengan dinding pemisah yang bersudut lima itu. Bangunan hasil pemugaran Al-Walid ini hingga kini masih dipertahankan. Perubahan hanya terjadi pada konstruksinya.

Sementara mengenai kain sutra bertuliskan La ilâha illa Allâh (Tiada Tuhan kecuali Allah) yang dilingkari kain lain bertuliskan Ma kâna Muhammadun Abâ ahadin min Rijâlikum wa lâkin Rasûlallâhi wa Khâtaman Nabiyyîn (Muhammad bukanlah bapak salah seorang di antara kalian, tapi ia adalah Utusan Allah dan penutup para nabi), serta kain yang bertuliskan nama para nabi yang berukuran sekitar 2,5 meter yang terpajang di makam Rasulullah Saw., memiliki asal usul yang berbeda-beda.

Ide penulisan kalimat-kalimat dengan huruf emas itu lahir dari Khaizuran, ibunda kandung Harun Al-Rasyid, seorang penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah di Irak. Ide itu ia wujudkan ketika ia naik haji pada 173 H/789 M. Karya Khaizuran ini lah yang disaksikan para peziarah makam Rasulullah Saw. hingga 564 H/1168 M. Pada tahun itu, Ibn Abi Al-Hija menambah dengan tulisan lengkap Surah Yasin. Dua tahun kemudian, Al-Mustadhli mengirim kiswah bersulam. Selanjutnya, pada 575 H/1179 M, sebuah kiswah lagi didatangkan Sultan Al-Nashir dari Mesir. Warnanya hitam. Kiswah yang dirajut dengan benang sutra putih dan ditulis dengan benang emas dan perak itu mengawali pengiriman kiswah dari Mesir secara rutin, enam tahun sekali.

Dalam pada itu Sultan Qalawun-juga dari Mesir- tak mau ketinggalan. Pada 678 H/1279 M ia bersaham dalam pembuatan kubah yang bawahnya bersegi empat, sementara atasnya bersegi delapan. Kubah dari kayu itu, oleh Qalawun, dipasang di ujung tiang yang dipasang di seputar ruangan makam. Lalu atapnya dilapisi kayu pula. Agar tidak bocor, manakala turun hujan, bagian atap kayu itu dilapisi semen. Tak aneh bila karya ini bisa bertahan cukup lama, 200 tahun lebih. Baru pada 886 H/1481 M Sultan Qa’it-Bey memugar karya Qalawun akibat musibah kebakaran.

Bangunan yang didirikan agak beda dengan bangunan yang didirikan Qalawun yang menyanggakan kubah kayu di atas tiang khusus dan kubah itu diletakkan di atas dinding ruangan. Kubah yang terakhir inilah yang bertahan hingga kini. Pemugaran selanjutnya dilakukan Sultan Mahmud bin Sultan ‘Abdul Hamid I, seorang penguasa Dinasti Usmaniyyah di Turki. Selepas itu, pada 1233 H/1817 M, Sultan ‘Abdul Hamid I memugar karya Qa’it-Bey. Duapuluh dua tahun kemudian karya Sultan ‘Abdul Hamid I dirapikan lagi. Dinding-dinding berukir yang sebelumnya berwarna biru pun diganti dengan warna hijau yang bertahan hingga dewasa ini.

2 comments:

Anonymous said...

betapa rindunya kami

Anonymous said...

terima kasih memberi informasi yg cukup bermanfaat...saya yang pernah mengunjunginya dapat membayangkannya dan dapat dijadikan panduan kepada mereka yang belum mengunjunginya..semoga satu masa nanti saya dapat mengunjungi raudhah kembali kerana dalam hati ada raudhah..rindu untuk berjiran dengan Rasulullah S.A.W.