Ketika kemarin penulis membuka koran mingguan Al-Ahram Weekly Online, Kairo, dan membaca kisah Muntazhar al-Zaidi yang tiba-tiba mencopot sepatunya dan melemparkannya ke arah George W. Bush yang sedang berpidato, entah mengapa dalam benak penulis timbul pertanyaan: benarkah tindakan melemparkan atau menamparkan sesuatu ke muka seseorang di kawasan Timur Tengah dipandang sebagai penghinaan dan rasa tidak senang terhadap orang yang dilempar atau ditampar itu? Adakah penguasa di kawasan itu yang pernah mengalami kejadian yang serupa atau mirip?
Ternyata, ada seorang penguasa yang pernah mengalami kejadian yang serupa: mukanya ditampar rakyat yang ia pimpin. Penguasa itu tak lain adalah Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, pendiri dinasti pertama dalam sejarah Islam, Dinasti Umawiyyah dengan ibukota di Damaskus, Suriah. Lahir di Makkah sekitar 602 M, putra Abu Sufyan bin Harb ini memeluk Islam pada saat Penaklukan Makkah pada 8 H/629 M. Selepas bermukim di Madinah, ia diangkat sebagai salah seorang penulis Rasulullah Saw. Ketika Abu Bakar Al-Shiddiq menjabat khalifah, ia ikut bertempur menghadapi pasukan Romawi di Syam di bawah pimpinan kakaknya, Yazid bin Abu Sufyan. Malah, kemudian ia diangkat sebagai Gubernur Syam, menggantikan sang kakak dalam usia dua puluh enam tahun. Selepas ‘Ali bin Abu Thalib tewas, ia menabalkan dirinya sebagai penguasa pertama Dinasti Umawiyah dan menjadikan Damaskus, Suriah sebagai ibukota dinasti ini. Peristiwa ini terjadi pada 41 H/661 M. Bagaimana kisah penamparan atas muka Mu‘awiyah bin Abu Sufyan?
Kala itu Mu‘awiyah bin Abu Sufyan sedang memasuki Kota Madinah Al-Munawwarah, seusai melaksanakan ibadah haji di Makkah. Begitu ia menatapkan pandangannya ke arah Kota Nabi dari kejauhan, penguasa yang satu itu tak kuasa menahan lelehan air matanya. Kenangan indah ketika masih bermukim di Kota Nabi, bersama Rasulullah Saw., segera memenuhi benaknya. Segera saja muncul kenangan hari-hari ketika ia diminta beliau menjadi salah seorang penulis wahyu. Karena itu, dalam hati ia berjanji, tak lama selepas menapakkan kaki di kota ia akan berbuat kebaikan, dengan memberikan hadiah kepada warga Kota Nabi itu.
Benar saja, tak lama selepas menapakkan kakinya di Kota Nabi, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan memerintahkan sejumlah petugas untuk membagi-bagikan hadiah kepada para warga kota itu. Dan ketika tahu di antara para warga itu ada seorang Anshar yang pernah ikut Perang Badar, ia pun memerintahkan seorang utusan untuk menyerahkan hadiah uang dua ribu dinar dan sepuluh pakaian lengkap kepada orang Anshar tersebut. Namun, tak seperti diduga Mu‘awiyah bin Sufyan, orang Anshar itu ternyata marah besar begitu mengetahui maksud kedatangan utusan itu. Ucap orang Anshar itu kepada si utusan, “Apakah Mu‘awiyah juga memberikan hadiah yang sama kepada warga-warga lain? Tanyakan kepadanya!”“Maafkan saya. Saya tak kuasa menyampaikan pesanmu itu,” sahut si utusan.
Mendengar jawaban yang demikian, amarah orang Anshar itu kian membara. Dan, tak lama selepas itu, ia memanggil seorang putranya dan berucap kepadanya, “Putraku! Demi hakku atas dirimu, temuilah Mu‘awiyah dan kembalikan hadiah ini kepadanya. Lantas, tamparkan hadiah ini ke muka penguasa itu!”
Menerima permintaan sang ayahanda yang demikian, walau dengan berat hati, sang putra pun menemui Mu‘awiyah bin Abu Sufyan. Selepas mengucap salam dan berbagi sapa sejenak dengan sang penguasa, anak muda dari kalangan Anshar itu lantas berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Ayahanda menyampaikan salam kepadamu. Selain itu, ia meminta saya menanyakan kepadamu, apakah hadiah uang dua ribu dinar dan sepuluh pakaian lengkap yang diberikan kepada Ayahanda itu juga diberikan kepada warga-warga lain di kota ini?”“Siapakah utusan yang menemui ayahandamu?” sahut Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang segera tanggap atas amarah orang Anshar itu.“Si Fulan, wahai Amir Al-Mukminin.”“Kiranya Allah segera mengambil nyawa utusan itu. Dia telah melakukan kesalahan. Bukan hadiah itu yang semestinya diserahkan kepada ayahandamu. Hadiah yang semestinya diserahkan kepadanya adalah uang sepuluh ribu dirham dan tiga puluh pakaian lengkap.”
Seusai berucap demikian, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan lantas memerintahkan seorang petugas untuk menyiapkan hadiah yang ia katakan. Selepas hadiah itu tersedia, penguasa berkuasa selama sekitar dua puluh tahun, sampai berpulang pada Rajab 60 H/April 680 M dalam usia sekitar tujuh puluh delapan tahun, itu lantas berucap kepada putra orang Anshar itu, “Wahai saudaraku! Ambillah hadiah ini. Juga, sampaikanlah permintaan maafku kepada ayahandamu atas kesalahan utusanku.”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” sahut anak muda dari kalangan Anshar itu. “Tentu engkau tahu, seorang ayah memiliki hak atas putranya dan merupakan kewajiban sang putra untuk mematuhi perintahnya. Ayahanda memerintahkan sesuatu kepada saya.”“Apa itu?”“Ketika menyerahkan hadiah tadi kepada saya, Ayahanda meminta saya untuk menamparkan hadiah itu ke mukamu.”
Sejenak Mu‘awiyah bin Abu Sufyaan terkejut dan terbisu mendengar permintaan yang demikian. “Kurang ajar orang Anshar itu!” gumamnya dalam hati. Namun, ia tetap menahan amarahnya. Dan, beberapa lama kemudian, ia berucap, “Wahai saudaraku! Patuhlah kepada ayahandamu dan belas kasihlah terhadap pamanmu ini. Silakan tampar mukaku ini.”
Anak muda dari kalangan Anshar itu lantas menamparkan pelan hadiah itu ke muka sang penguasa.
Kisah itu menunjukkan bahwa penamparan atau pelemparan ke muka seseorang, di kawasan Timur Tengah, memang merupakan ungkapan rasa tidak senang dan jengkel si pelaku terhadap orang yang ditampar atau dilempar. Apa pun halnya, “nasib” Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang mukanya ditampar pelan masih mending ketimbang “nasib” George W. Bush yang dikasih “hadiah” lemparan sepatu. Barang kali ini karena dosa dan kesalahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan jauh lebih ringan ketimbang dosa dan kesalahan George W. Bush. Wallahu a‘lam bi al-shawab!
No comments:
Post a Comment