Bila Anda mengunjungi Cordoba, Spanyol, di depan Pintu Gerbang Sevilla kota tersebut yang di masa silam menuju ke arah Balath Mughits, akan Anda jumpai patung seorang lelaki tegak dengan gagahnya. Lelaki gagah mengenakan jubah itu seakan sedang menapakkan kedua kakinya menuju Masjid Cordoba, tempat ia menjadi mahasiswa dan guru besar serta menunaikan shalat setiap harinya. Patung itu didirikan atas prakarsa masyarakat dan pemerintah Kota Cordoba pada 1963, sebagai penghargaan atas jasa-jasa tokoh yang dipatungkan itu. Lelaki itu, tak salah lagi, adalah Ibn Hazm Al-Andalusi, yang fotonya penulis tampilkan di samping kiri tulisan ini. Ulama yang satu ini ternyata pernah mengalami kisah cinta tragis: cinta bertepuk sebelah tangan. Dan, menariknya, kisah cinta yang gagal itu ditampilkan dengan indahnya dalam karyanya, Thauq Al-Hamamah, yang sebentar lagi edisi Indonesianya akan hadir dengan judul Risalah Cinta: Kitab Klasik Legendaris tentang Seni Mencinta. Bagaimana kisah cinta bertepuk sebelah tangan sang ulama ketika masih muda usia, berikut kisahnya:
“Ketika saya masih remaja, saya jatuh cinta kepada seorang hamba sahaya perempuan nan amat jelita milik keluarga saya yang tinggal serumah dengan kami,” tutur Ibn Hazm Al-Andalusi. “Hamba sahaya itu masih gadis, berusia enam belas tahun. Wajahnya elok nan sangat memesona. Kecerdasan dan kesucian dirinya menawan hati. Ia begitu pintar memelihara kehormatan dan harga dirinya. Ia tinggalkan segala perbuatan yang kurang ajar dan tak senonoh. Ia pun berpakaian rapi dan tertutup rapat senantiasa. Juga, ia sedikit bicara, tak suka mencela, pandangannya senantiasa terjaga, memelihara jarak dengan lawan jenis, dan senantiasa bersikap hati-hati. Sungguh, ia benar-benar amat memesona.
Selain itu, ia begitu pandai berkelit dan piawai dalam menyatakan penolakan. Ia begitu tenang dan santun kala duduk. Ia lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Ia senantiasa menghindar bila ada orang yang ingin berbuat macam-macam dengannya. Karena itu, orang pun segan kepadanya. Ia bukan tipe perempuan gampangan, di mana setiap laki-laki dapat menyinggahinya. Kepribadiannya memikat hati setiap orang yang mengenalnya. Kesantunan tabiatnya mengusir orang yang hendak menjahilinya. Ia dermawan dan ringan tangan. Ia sungguh cekatan dalam pekerjaan. Ia tak senang canda yang tiada manfaatnya. Dan, ia sangat pandai membalas budi dan memendam rasa. Duhai, ia benar-benar gadis sangat memikat nan memesona.”
Demikian kenang tokoh yang sarat pengalaman itu perihal gadis yang dicintainya. Selepas bertutur demikian, ahli hukum Islam yang menganut Aliran Zhahiriyyah, menolak ra‘y (rasio), dan mengambil lahiriah teks-teks Al-Quran itu kemudian menuturkan kembali kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu, “Saya sangat mencintainya. Sungguh, sangat mencintainya. Selama dua tahun saya terus berusaha keras untuk dapat mendengar satu kata khusus saja yang terucap dari mulutnya untuk saya. Ya, kata khusus di luar pembicaraan yang sifatnya umum. Namun, sekeras apa pun usaha saya, tetap tak menghasilkan harapan yang saya damba. Ia tak pernah mau berucap kepada saya. Walau itu sepatah saja. Lantas, suatu hari, ada pesta kecil di rumah kami. Seluruh anggora keluarga dan handai tolan saya berkumpul. Beberapa ibu, anak gadis, dan beberapa tetangga yang selama ini membantu keluarga saya juga ikut berkumpul. Di siang hari mereka semua berkumpul di ruang tengah. Dan selepas acara usai, mereka semua menuju balkon rumah yang langsung tersambung dengan taman. Dari balkon, seluruh lekuk-lekuk dan pernik-pernik Kota Cordoba terlihat begitu jelasnya. Sungai-sungainya, bukit-bukitnya, dan pegunungan hijau yang menghampar dan mengelilinginya. Mereka berkumpul di balkon seraya menikmati pemandangan indah Kota Cordoba.”
Saya pun ikut berkumpul di sana. Masih terekam jelas di benak, saat itu saya berjalan menuju pintu tempat perempuan nan jelita yang saya damba itu berada. Saya sengaja mendekatinya. Kami berdiri berdekatan. Dekat sekali. Namun, begitu ia tahu saya berdiri di sampingnya, ia segera beranjak meninggalkan saya. Ia beranjak ke pintu lain dengan langkah nan lamban dan menawan. Saya tak dapat tinggal diam. Saya ikuti dia. Dan, begitu saya berada di sampingnya, ia segera beralih ke pintu sebelumnya. Begitu seterusnya.
Sepertinya ia telah tahu dengan rahasia hati saya yang saya pendam dalam. Sementara itu, segenap hadirin dan kaum perempuan di sana tiada yang mengetahui apa sejatinya yang terjadi di antara kami berdua. Hal itu lantaran saking banyaknya orang yang hadir. Sehingga, kami pun luput dari perhatian mereka. Lagi pula mereka juga disibukkan oleh keasyikan mereka sendiri. Yaitu hilir mudik ke sana kemari, dari satu pintu ke pintu yang lainnya, untuk menyaksikan pemandangan Kota Cordoba yang mengundang decak kagum. Mereka juga terlalu asyik masyuk menikmati keindahan taman.
Seraya menikmati keindahan Kota Cordoba, segenap hadirin, terutama dari kaum hawa dan ibu-ibu meminta tuan rumah (yakni keluarga kami) untuk menghibur mereka dengan senandung lagu-lagu memesona. Dan ibu saya, yang tak lain adalah sang nyonya rumah, segera menyuruh perempuan nan jelita yang saya cinta itu untuk menyenandungkan lagu-lagu penuh pesona. Saya lihat ia begitu malu-malu menyanggupi permintaan itu. Saya belum pernah melihat ada perempuan yang memperlihatkan rasa malu dengan begitu anggun seperti dirinya. Duhai, begitu eloknya ia ketika dalam keadaan seperti itu. Rasa malu yang ia tunjukkan justru mempercantik wajah jelitanya. Sejenak kemudian, ia menyanyikan beberapa bait lagu karya Al-‘Abbas bin Al-Ahnaf.:
Kala matahari mulai tenggelam, kusapalah ia
Cahayanya indah bagai pesona istana para raja
Ia telah menjelma di wajah gadis belia
Duhai, betapa keelokannya sungguh memesona
Tentu ia bukan seorang manusia
Andai saja ia tak beraga
Malaikat ia selayaknya
Angin sepoi meniupkan tubuhnya
Duh wanginya bak minyak anbar saja, seolah dari cahaya ia tercipta
Jalannya, wahai laksana di atas perak dan kaca
Duh, mendengar dendang lagu itu, hati saya seolah baru saja ditampar-tampar. Saya tak akan pernah dapat melupakan peristiwa itu. Tak akan pernah! Malah, hingga pun kematian menjemput saya. Sebab, itulah kesempatan terlama kala saya dapat melihat wajahnya dan mendengar suaranya.
Dari rumah baru, yang terletak di sebelah timur Cordoba, tepatnya di Rabadh Al-Zahirah, ayahanda saya pindah ke rumah lama kami di sebelah barat Cordoba, tepatnya di komplek Balath Mughits. Kami pindah di hari ketiga semenjak Amirul Mukminin Muhammad Al-Mahdi menjadi khalifah. Tepatnya pada Jumada Al-Tsaniyyah 399 H/Februari 1009 M. Saya ikut pindah bersama mereka. Namun, karena alasan tertentu, perempuan nan jelita yang saya cintai tak turut serta.
Kami disibukkan oleh aneka ragam kesulitan, selepas kekuasaan khilafah berada di tangan Amirul Mukminin Hisyam Al-Mu’ayyad. Para pejabat pemerintahan Hisyam Al-Mu’ayyad acap mengintimidasi keluarga kami. Kami dicekal serupa tahanan kota. Segala gerak kami diawasi dengan ketat. Akhirnya, konflik horizontal pun meledak. Tak hanya melibatkan keluarga kami. Tapi, juga masyarakat luas. Saat itu, kala keadaan lagi genting-gentingnya, Ayahanda saya meningga1 dunia. Ia wafat di hari Sabtu selepas shalat asar, dua malam sebelum Dzulqa‘dah 402 H (22 Juni 1012).”
Ibn Hazm kemudian sejenak berhenti berkisah. Dan, beberapa saat kemudian, ia menuturkan kembali kisah cintanya, “Nampaknya, cerita tentang kisah-kasih saya dengan hamba sahaya perempuan yang saya cintai harus saya lanjutkan: suatu hari ada anggota keluarga kami yang berpulang. Jenazahnya masih disemayamkan di rumah kami. Saya melihat hamba sahaya perempuan itu berada di antara kaum perempuan yang mengelilingi jenazah sambil menangisinya. Ia juga ikut menangis bersama mereka. Kejadian itu tentu saja membangkitkan cinta saya yang beberapa lamanya terpendam. Membangunkan perasaan hati saya yang lama tertidur. Saya jadi teringat dengan masa lalu saya. Masa di mana kisah cinta pernah menyinggahi saya, bulan-bulan telah berlalu, dan hari-hari telah pergi meninggalkan saya sendiri.
Semua itu hanyalah menambah kesedihan saya. Karena saya tahu, malah sangat tahu, cinta saya bertepuk sebelah tangan. Belum lagi saya juga tertimpa oleh beragam kesedihan yang belakangan menimpa keluarga saya. Saat itu awan kesedihan, keperihan, dan kedukaan yang menaungi saya terasa lebih tebal dari sebelumnya. Pelbagai kepedihan dan cobaan masih mendera keluarga kami. Kemudian, ketika bangsa Berber yang biadab memorakporandakan Cordoba, kami pun terpaksa harus pergi meninggalkan rumah kami. Kami laiknya tawanan perang yang terusir dari tanahnya sendiri. Peristiwa itu terjadi pada awal Muharram 404 H/13 Juli 1013 M. Dan enam tahun sejak peristiwa itu-ketika terakhir kali saya melihatnya di tempat rumah duka keluarga saya-saya tidak pernah lagi melihat hamba sahaya perempuan yang sangat saya cintai itu. Saya baru melihatnya lagi ketika datang ke Cordoba. Tepatnya pada Syawwal 409 H/Februari 1019 M. Mula-mula saya tak mengenalinya lagi. Namun, begitu ada seorang kawan yang memberitahu saya bahwa dia adalah perempuan yang dulu saya puja, saya baru mengenalnya.
Kini, ia sudah sangat berubah. Ia sama sekali berbeda dengan ia yang dulu. Nyaris seluruh pendar kecantikannya pudar sudah. Wajah nan jelitanya sirna. Cahayanya tak lagi memancar memesona. Keanggunannya lenyap tak berbekas. Kebeningan wajahnya, yang dulu nampak bak kilatan mata pedang dan cermin India, kini keruh dan lusuh. Kilauan pesona yang dulu menjadi pusat perhatian semua orang, kini redup dan sirna. Segala nama keindahan dan keelokan yang dulu dimilikinya, kini tiada tersisa. Kecuali hanya sedikit ciri yang menjadi pengenal saja yang tersisa. Duh, kasihan dia. Perubahan yang sangat besar itu terjadi lantaran ia kurang-malah bisa jadi sama sekali tidak-dapat memelihara keelokan dirinya. Keadaannya dirinya berbeda sekali dengan masa ketika kami masih tinggal bersama. Selepas tidak lagi bersama kami, konon, ia acap keluar rumah untuk mencari biaya hidup sehari-hari. Padahal, ketika dulu masih bersama keluarga kami, ia tak pernah disuruh melakukan hal-hal seperti itu sama sekali.
Perempuan itu ibarat pohon yang wangi bunganya. Bila pohon itu tak dirawat dengan baik, maka keindahan dan wanginya akan meluruh. Malah, dapat sirna sama sekali. Perempuan itu laksana bangunan. Bila bangunan tak dipelihara, seiring bertambahnya usia, ia akan binasa. Malah, sirna. ‘Andai saja dulu ia mau menerima cinta saya, atau mau berbicara dengan saya, walau barang sebentar saja, saat itu bisa jadi saya menjadi gila karena saking gembiranya, atau malah saya bisa mati lantaran terlalu bahagia. Untung, ia tak mau menerima cinta saya. Untung, ia berpaling dari saya. Sehingga, saya bisa bersabar dan akhirnya bisa melupakannya,’ gumam saya dalam hati.”
Membaca kisah itu, entah mengapa dalam benak saya muncul bersitan pikiran: beranikah KH Sahal Mahfuzh, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, KH Mustofa Bisri, Gus Dur atau kiai-kaian lainnya menuangkan kisah cinta mereka, kala mereka masih muda usia, seperti halnya yang telah dilakukan Ibn Hazm? Wallahu a‘lam bi al-shawab.
1 comment:
kisah cintanya pakde juga menarik buat dijadii bahan tulisan...tapi yang mana ya, yang bertepuk sebelah tangan di mesir atau yg happy ending sampai sekarang? ^___^
Post a Comment