Tuesday, February 3, 2009

Baliho Pemilu dan Nasruddin Hoja

Minggu lalu, tepatnya pada 24-26 Januari 2009, ketika mengikuti acara family gathering yang diselenggarakan oleh Khalifah Tour, Bandung, di Pangandaran, penulis melihat baliho-baliho para calon anggota dewan perwakilan (baik pusat maupun daerah) bertebaran tanpa henti sepanjang jalan antara Bandung dan Pangandaran. Melihat baliho-baliho dengan aneka ragam janji, ucapan, dan kata-kata manis, entah mengapa sosok Nasruddin Hoja (lihat foto di samping: Nasruddin sedang naik keledai dengan menghadap ke belakang) yang hidup pada sepertiga terakhir abad ke-14 M dan sepertiga pertama abad ke-15 M (menurut pendapat terkuat) menggelayuti dan memenuhi benak penulis. Menurut kisah-kisah yang beredar, tokoh yang satu ini adalah seorang sufi jenaka yang kadang bertindak “kurang waras”.

Namun, menurut Dr Muhammad Rajab Al-Najjar, dalam karyanya Juha Al-‘Arabi, sosok Nasruddin Hoja sejatinya bukan sosok yang “kurang waras” atau sangat bego. Tapi, ia adalah sosok yang berusaha mendekati segala persoalan yang ia hadapi dari aspek-aspek yang paling dekat dengan kebenaran dan kenyataan. Karena itu, bagi orang-orang lain yang tidak menyukai kebenaran, sosok Nasruddin Hoja merupakan sosok yang kontradiktif. Selain itu, Nasruddin Hoja juga terkenal sebagai sosok yang suka “ceplas-ceplos” dalam mengungkapkan dirinya sendiri, tanpa memedulikan kerangka sosial yang acapkali memaksa orang-orang diam seribu bahasa dan mengemukakan segala sesuatu yang bergejolak dalam hati dan benak mereka lewat simbol-simbol. Perilakunya yang demikian seiring dengan contoh-contoh yang ia berikan. Sebab, ia senantiasa tunduk pada keinginannya di saat keinginan itu muncul. Filsafat hidupnya yang demikian itulah yang membuat ia tampak lebih kuat dibandingkan orang-orang lain. Malah, filsafat hidupnya itu pulalah yang membuat sosoknya seperti orang yang terbebaskan dari beban sosial atau “orang yang tak waras”.

Perlu dikemukakan, aspek sosial yang paling acap mendapat sindiran dan sentilan dari Nasruddin Hoja adalah kelalaian dan kebegoan masyarakat. Juga, sikap-sikap lain yang membuat mereka menerima pelbagai peristiwa dan kejadian dengan sikap pasrah sepenuhnya tanpa mau berpikir atau bersikap kritis. Malah, mereka kemudian bersikap membebek. Akibatnya, mereka pun menjadi bahan sindiran dan sentilan si Nasruddin. Karena itu, tak aneh jika sikap yang demikian itu acap diungkapkan dalam kisah-kisah jenakanya. Maksud dari kisah-kisah tersebut adalah untuk menyingkapkan kelalaian dan kebegoan yang menghinggapi sebagian anggota masyarakat, termasuk para penguasa, dan membukakan pikiran yang tertutup tentang pelbagai realitas kehidupan. Salah satunya adalah kisah berikut:

Hari itu Nasruddin Hoja sedang menghadap Timur Lenk. Penguasa yang  juga  dikenal  dengan  sebutan Shakhrisyabz ini lahir di Uzbekistan (terletak sekitar 75 kilometer  sebelah selatan  Samarkand) pada Selasa, 26 Sya'ban 736 H/9 April  1336 M,  dalam sebuah keluarga dari suku Barlas, sebuah  suku  berasal dari  Mongolia  yang telah memeluk Islam  dan  berbahasa  Turki. Sejak 771 H/1370 M, selepas naik ke pentas kekuasaan sebagai Raja Samarkand,  anak  keturunan  Jengis  Khan  ini  mulai   melakukan serangkaian  penaklukan panjang, sekitar 35 tahun  lamanya,  yang berlangsung  sampai ia meninggal dunia. Pertama-tama, dari  pusat kekuasaannya  di  Samarkand,  gerakannya  menembus  jantung  Asia Tengah, lalu menerobos Persia (781 H/1379 M) dan Irak.  Gerakan selanjutnya   menuju  Utara,  memasuki  Isfahan,  Shiraz,   dan mencapai  Moskow.  Ini  terjadi pada 797  H/1394  M.  Tiga  tahun kemudian  putra  Taragai ini menghajar  India  dengan  menguasai Delhi. Tidak  lama  kemudian  penguasa yang  terkenal  ganas,  tapi  juga pencinta ilmu, seni, dan budaya ini bergerak menuju Timur Tengah, menghajar Irak dan Suriah. Lantas, pada 804 H/1402 M ia,  dengan mengerahkan  20.000  serdadu dan pasukan  gajah,  terlibat  dalam peperangan  dengan  Sultan  Ildurum Bayazid  II,  yang  akhirnya berhasil  ia  tawan bersama istrinya yang  berasal  dari  Serbia, Maria  Despina.  Tiga  tahun  kemudian  penguasa  yang  mengagumi kecerdasan Ibn Khaldun, seorang sejarawan Muslim semasanya,  ini kembali   ke  markas  besarnya,  Samarkand.  Namun,   di   tengah perjalanan,  di Otrar, Syr-darya, sekitar 375  kilometer  sebelah utara  Samarkand,  ia  jatuh sakit  karena  demam  dan  berpulang menghadap  Sang  Maha  Pencipta pada Rabu, 18  Sya'ban  807  H/18 Februari 1405 M. Ia dimakamkan di pemakaman Gur Amir,  Samarkand. Penggantinya, secara berurutan, adalah kedua putranya: Miran Syah dan Syah Rukh.

Ketika Nasruddin Hoja sedang berada di majelis sang penguasa, seorang serdadu yang sedang mabuk karena menenggak minuman keras dibawa menghadap ke majelis. Akibat kelakuannya itu, Timur Lenk kemudian menjatuhkan hukuman cambuk delapan puluh kali atas diri si serdadu. Mendengar keputusan demikian, Nasruddin yang kala itu hadir di majelis sang penguasa, hanya tersenyum sinis. Sebab ia tahu, hukuman itu hanya dijatuhkan atas diri orang-orang kecil dan lemah saja. Melihat senyum sinis si Nasruddin, amarah Timur Lenk pun meledak. Ia kemudian memerintahkan kepada seorang serdadu, “Pukul lelaki brengsek itu dengan tongkat sebanyak lima ratus kali!”

Mendengar perintah Timur Lenk yang demikian, Nasruddin Hoja tak kuasa lagi menahan tawanya. Ia pun tertawa terpingkal-pingkal. Melihat kelakuan Nasruddin yang demikian, amarah Timur Lenk semakin membara. Penguasa itu kemudian memerintahkan, “Serdadu! Jatuhi lelaki keparat itu hukuman pukulan dengan tongkat sebanyak delapan ratus kali!”

Mendengar perintah sang penguasa, Nasruddin semakin tak kuasa menahan tawanya hingga meneteskan air mata. Karena tak kuasa lagi menahan amarahnya, Timur Lenk pun berdiri dan menghardik Nasruddin, “Hai pengkhianat hukum agama! Mengapa hukum agama yang kutegakkan engkau remehkan? Padahal kau tahu, aku ini seorang raja yang membuat gentar seluruh penghuni bumi!”

“Wahai Paduka,” jawab Nasruddin seraya tersenyum. “Saya memang tahu semua hal itu. Tapi, saya bingung, apakah Paduka tidak tahu hitungan, ataukah Paduka bukan manusia seperti kami. Mengucapkan perintah memang mudah. Tapi, melaksanakannya sulit. Wahai Paduka, siapakah yang kuat menanggung hukuman pukul dengan tongkat sebanyak delapan ratus kali?”

Kisah itu, yang dikemas dalam bentuk sindiran dan sentilan, sejatinya merupakan bentuk penentangan dan perlawanan terhadap penindasan dan kelaliman penguasa. Dan, entah mengapa, kisah itu seakan mengingatkan penulis agar dalam pemilu nanti tidak asal pilih dan tidak memilih para penguasa (siapa pun mereka, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif) yang tidak berpihak kepada masyarakat luas.

 

No comments: