Wednesday, December 14, 2011
Catatan Perjalanan Hidup: 33 Tahun yang Silam
Hari Ahad yang lalu, 11 Desember 2011, ketika sedang menerima sekitar 110 para ustadz dan ustadzah yang akan mendalami sebuah metode yang baik dalam mengajarkan Al-Quran, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya membersit pikiran, “Oh, pada hari ini, 33 tahun yang silam, untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di Kairo, Mesir, untuk menimba ilmu. Betapa fase kehidupan itu sangat bermakna atas perjalanan kehidupan saya selepas itu.”
Bagaimanakah kisah perjalanan pertama kali saya ke Kairo?
Senin, 10 Muharram 1399 H/11 Desember 1978 M, itulah hari pertama kali saya meninggalkan Kota Jeddah, selepas menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Juga, itulah pertama kalinya pula saya menjejakkan kaki di Kota Kairo, selepas naik pesawat terbang Royal Air Maroc selama sekitar dua jam dari Kota Jeddah. Tanpa mengenal siapa pun. Juga, belum mengenal sama sekali tentang ibukota Mesir itu. Yang saya ketahui, Mesir adalah sebuah “ladang perburuan” ilmu. Itu saja dan tak lebih. Saya pun tidak tahu, setiba di Kairo mau menemui siapa, tinggal di mana, dan meneruskan studi di mana. Yang saya kenal hanyalah nama seseorang yang tercantum dalam sepucuk surat yang diberikan seorang paman saya. Orang itu adalah Mas Marzuki Ali Sibromalisi (alm.), seorang putra kiai terkemuka Jakarta yang tinggal di Asrama Putra Universitas Al-Azhar (Madînah Al-Bu‘ûts Al-Islâmiyyah). Itu saja. Karena itu, saya pun tak pernah membayangkan akan ada seseorang yang akan menjemput saya di Cairo International Airport.
Ternyata, menjelang tiba di Kota Kairo, ternyata pesawat terbang yang saya naiki saat itu mengalami kejadian yang tidak pernah saya lupakan hingga kini. Bagaimana kisah kejadian itu?
Tidak lama selepas pesawat terbang Royal Air Maroc yang saya naiki itu tinggal landas dari King ‘Abdul ‘Aziz International Airport, Jeddah pesawat terbang Boeing 727 itu dengan cepat dan gagah itu menguak relung langit biru. Sementara bila memandang bumi, tampak tergelar pemandangan Laut Merah yang kemerah-merahan membentang di antara dan membelah benua Asia-Afrika. Di sebelah barat Laut Merah itu tampak Pelabuhan Yanbu‘, dan kadang muncul kilang-kilang minyak. Tampak pula jalur jalan-jalan panjang menyobek padang pasir yang lengang. Sedangkan di sebelah timur Laut Merah itu berhamparan gurun sahara. Di dalam pesawat terbang yang sedang menuju Kota Kairo itu para penumpang kelihatan senang dan ceria dalam menikmati perjalanan. Apalagi, pelayanan para pramugara dan pramugari Royal Air Maroc cukup memuaskan.
Selepas beberapa lama mengangkasa, pesawat terbang dari Maroko itu telah berada di angkasa tinggi. Pemandangan yang tampak kini hanyalah langit biru, awan, dan bumi di kejauhan. Kadang, pemandangan pekat belaka yang kelihatan, bila pesawat sedang melintasi awan tebal. Selepas menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam dan ketika pesawat terbang itu telah melintasi dan memasuki wilayah Mesir serta menjelang mendekati Kota Kairo, tiba-tiba pengumuman fasten seat belt (pasang sabuk pengaman di tempat duduk) menyala. Pramugara dan pramugari pun sigap membantu para penumpang memasang sabuk pengaman. Tiba-tiba telinga terasa tuli, perut mual sekali, dan kepala berkunang-kunang. Para penumpang yang sebelumnya tampak gembira, kini menampakkan wajah yang berbeda. Ada yang berdoa, ada yang terpaku diam, dan ada yang berwajah pucat pasi. Terasa sekali ketika itu Tuhan hadir dalam pesawat terbang. Kala itu, pesawat terbang terasa meluncur cepat sekali. Mungkin, pesawat itu terjerembab dalam ruang hampa udara. Belum lagi selesai meluncur, tiba-tiba pesawat terhempas keras sekali. Cuaca mendekati Kota Kairo kala itu benar-benar tak bersahabat. Musim dingin di bulan Desember dengan badai sedang menghantui.
Hampir setengah jam lamanya pesawat terbang tersebut bermain akrobat. Laksana sabut di lautan diguncang prahara. Sebentar terhempas ke sana, sebentar terbanting ke sini. Pemandangan menarik Kota Kairo, dengan piramid-piramid dan sphinx menghiasi salah satu sudutnya serta Bukit Muqaththam dengan perbentengan yang didirikan Shalahuddin Al-Ayyubi di sudut lain menjadi tak menarik lagi. Yang membersit dalam benak dan kalbu saya hanyalah doa kiranya Allah Swt. melindungi. Akhirnya, pesawat itu berhasil menguak mendung tebal dan mendapat lampu hijau untuk mendarat di Cairo International Airport. Begitu pesawat menjejakkan roda-rodanya di landasan dan kemudian berhenti, para penumpang pun berpelukan gembira. Ketika telah berada di dalam gedung bandar udara, tampak wajah mereka berseri kembali. Kejadian di angkasa yang belum lama mereka alami tinggal kenangan belaka.
Demikianlah “sambutan meriah” yang diberikan kepada saya menjelang kedatangan saya pertama kali ke Kota Seribu Menara itu.
Kemudian, selepas melewati pemeriksaan imigrasi dan menyelesaikan urusan bagasi, beberapa lama saya kebingungan. Ini karena, kala itu, saya tidak mengenal siapa pun di Kota Seribu Menara itu. Selepas lama merenung dan bingung, saya akhirnya mencari sebuah taksi dan meminta si sopir untuk mengantarkan saya menuju ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang terletak di 13 Aisha El Taymouria St., Garden City, yang terletak tak jauh dari pusat Kota Kairo yang ditandainya dengan Mîdân Tahrîr. Saya sendiri tidak tahu, di mana kawasan Garden City itu.
Taksi pun segera meluncur menuju kawasan Garden City, melintasi pelbagai jalan dan bangunan yang pertama kali saya kenal, sementara hujan rintik-rintik di musim dingin di pertengahan bulan Desember sedang menyergap seluruh penjuru kota yang didirikan oleh Jauhar Al-Shiqilli itu. Tak terbayangkan oleh saya kala itu, selepas tiba di KBRI, saya mau bertemu siapa dan selepas itu mau ke mana. Semua saya serahkan kepada Allah Swt., seperti halnya ketika saya pertama kali memasuki Yogyakarta pertama kali pada 1391 H/1972 M, sebagai anak daerah, untuk menimba ilmu di Kota Gudeg itu.
Sekitar satu jam selepas menelusuri Kota Kairo dari airport, taksi tua berwarna hitam yang saya naiki itu berhenti di depan sebuah gedung megah yang bentuknya mirip istana. Begitu turun dari taksi yang segera berlalu, dengan menjinjing tas satu-satunya yang saya bawa, saya menerobos hujan rintik menuju ke pos penjagaan. Yang ada di pos penjagaan itu hanyalah dua security Mesir berkulit hitam legam berseragam hitam dan menjinjing senjata bersangkur terhunus. Suasana perang kala itu masih sangat mewarnai Kairo. Kala itu, Perjanjian Camp David belum lagi dilangsungkan. Di depan setiap bangunan, kala itu, masih di“hiasi” bunker.
Dengan bahasa Arab baku (fushhah) dan sedikit bahasa harian (‘âmiyyah) ala Arab Saudi (karena belum menguasai bahasa harian Mesir), saya mencoba berkomunikasi dengan dua security Mesir tersebut. Sementara suasana di sekitar kian temaram dengan cepat, karena kala itu musim dingin sedang datang menyergap dan mendung sedang memayungi Kota Kairo. Hati pun kian gelisah dan galau, karena komunikasi dengan dua security dari Mesir Selatan itu tak berjalan lancar. Apalagi saya tak tahu, malam itu akan menginap di mana, sedangkan tubuh mulai menggigil kedinginan. Kala itu saya tak pernah berpikir untuk membawa jaket, karena sebelum itu saya belum pernah pergi ke kawasan yang mengenal empat musim.
Kepasrahan kepada Allah Swt. dan kenekadan, itulah bekal saya ketika pertama kali menapakkan kaki di Kota Kairo. Saya memang datang ke kota yang sedang disergap musim dingin ini sebagai “penerjun bebas”, sebuah istilah yang dikenakan bagi mahasiswa Indonesia yang datang ke Kairo tanpa beasiswa. Saya datang ke kota ini karena merasa tidak berhasrat menimba ilmu di Arab Saudi. Apalagi, sejak berangkat dari Tanah Air memang saya tidak berniat akan “memburu” ilmu di Timur Tengah. Yang terpikir oleh saya kala itu, selepas naik haji saya akan kembali ke Tanah Air dan kemudian mencari pekerjaan. Karena itu, saya “melarikan diri” ke Mesir hanya dengan sebuah tekad, saya harus dapat menaklukkan kota yang satu ini dengan segala kesulitannya, kepahitannya, keindahannya, keceriaannya, dan khazanah ilmiahnya yang kaya.
Tampaknya, Allah Swt. masih mencintai saya yang saat itu benar-benar galau dan gelisah. Tidak lama kemudian, seorang pria bercelana hitam dan berbaju putih dengan tubuh jangkung, hidung mancung, dan wajah dihiasi senyum serta berpayung mendekat. Begitu dekat, orang itu segera menyapa saya dengan ramah dan santun, “Anda siapa dan dari mana? Kenapa sore dan hujan begini masih ada di sini?”
Subhânallâh, betapa gembira dan damai hati saya begitu tahu orang itu tak lain adalah Prof. Dr. Fuad Hassan (alm.), seorang guru besar di bidang psikologi Universitas Indonesia yang kala itu sedang menjabat Duta Besar Indonesia di Kairo. Wajah dubes kelahiran Semarang pada Rabu, 18 Muharram 1348 H/26 Juni 1929 M itu sebelumnya telah saya kenal dari beberapa buku beliau yang pernah saya baca. Segera saja kami pun terlibat dalam perbincangan lama di pos keamanan. Karena kemudian tahu saya berasal dari Jawa Tengah, kemudian dubes yang gemar menggesek biola dan bermain biliar itu menelpon seseorang dan memerintahkan seorang sopir KBRI untuk mengantarkan saya ke flat seorang pegawai lokal KBRI yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Segera sebuah mobil KBRI membawa saya menuju ke ‘Abdullah Sharqawi St., Manial Raudhah, Kairo, untuk “menitipkan” saya kepada keluarga Mas Ahmad Zabidi (alm). Dan, selepas itu, ternyata selama enam tahun kemudian saya tidak pernah pindah dari distrik tersebut.
Kejadian demi kejadian yang saya alami itu kian menanamkan keyakinan dalam diri saya, manusia hanya kuasa berikhtiar dan Allah Swt. kuasa atas segala sesuatu. Di samping itu, dalam hidup kadang diperlukan kenekadan dan keberanian mengambil keputusan yang berisiko tinggi. Yang tak kalah penting, menurut saya, adalah doa orang tua. Mengapa? Mungkin, karena doa dan keinginan Ibunda saya yang sangat kuat agar saya menimba ilmu kembali, tak lebih dari sebulan setiba di Kairo, saya telah diterima sebagai mahasiswa di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Ya, dua universitas sekaligus. Ini karena saya mengajukan dua ijazah: untuk Universitas Al-Azhar saya mengajukan ijazah sarjana muda dan untuk Universitas Kairo saya mengajukan ijazah sarjana penuh. Ternyata, pengajuan saya diterima oleh kedua universitas tersebut.
Saturday, November 26, 2011
1433 Tahun yang Lalu
Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u
Telah lahir Sang Nabi, pembawa petunjuk nan cemerlang
Semesta alam pun berpendar sangat benderang
Mulut zaman tiada henti dan senantiasa menggemakan
Senyuman, pujian, serta sanjungan
Jibril dan para malaikat pun mengitarinya senantiasa
Karena berita gembira ‘tuk agama dan dunia sertai kelahirannya
‘Arasy bangga dan surga tak kalah ceria
Sidrah Al-Muntaha dan Mutiara Putih pun berdendang ria
Ahmad Syauqi
Seorang penyair terkemuka Mesir (1287-1351 H/1870-1932 M)
Hari itu, Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal 1 H, kala terik matahari di musim panas di penggal terakhir (tanggal 23) bulan September 622 M tengah menyengat dengan ganasnya, Rasulullah Saw. dan sahabat tercinta beliau, Abu Bakar Al-Shiddiq, menapakkan kaki memasuki Desa Quba’. Kala itu, orang-orang yang menantikan kedatangan Rasulullah Saw. dengan harap-harap cemas itu telah kembali ke rumah masing-masing dengan rasa putus asa. Tidak mungkin hari ini orang yang mereka nantikan kedatangannya itu tiba di Yatsrib. Tetapi, tiba-tiba seorang Yahudi berteriak-teriak nyaring, “Wahai Bani Qa’ilah! Itu orang yang kalian nantikan kedatangannya telah tiba!”
Semua orang menghambur dari rumah-rumah mereka. Rasulullah Saw. dan Abu Bakar Al-Shiddiq ternyata sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon kurma. Orang-orang pun berkerumun di sekeliling beliau. Sebagian besar di antara mereka tidak dapat membedakan mana Rasul Saw. dan mana Abu Bakar. Tetapi, di saat bayangan pohon kurma bergeser, Abu Bakar memayungkan jubahnya di atas kepala beliau. Kini, tahulah mereka yang mana Nabi mereka.
Di Desa Quba’ itu, Rasulullah Saw. kemudian beristirahat di rumah seorang lelaki lanjut usia yang selama itu dijadikan pangkalan oleh kaum Muslim Makkah yang baru tiba di Yatsrib, antara lain Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan Zaid bin Haritsah, yakni rumah Kultsum bin Hadm. Bani ‘Amr, kabilah Kultsum, adalah suku Aus. Sedangkan Abu Bakar Al-Shiddiq menuju rumah Khubaib bin Yasaf atau Kharijah bin Zaid (yang kemudian menjadi mertua Abu Bakar), seorang Khazraj di Sunh, sebuah desa yang agak dekat dengan Yatsrib. Selepas satu atau dua hari, ‘Ali bin Abu Thalib tiba dari Makkah, dan tinggal di rumah yang sama dengan Rasul Saw. Untuk mengembalikan semua barang yang dititipkan kepadanya bagi para pemiliknya, ia memerlukan waktu selama tiga hari.
Rasulullah Saw. berdiam di Desa Quba’ selama empat hari, semenjak Senin hingga Kamis. Lalu, atas saran ‘Ammar bin Yasir, beliau membangun Masjid Quba’. Inilah masjid pertama dalam sejarah Islam, dan beliau sendirilah yang meletakkan batu pertama di kiblatnya, yang kemudian diikuti Abu Bakar Al-Shiddiq, lalu diselesaikan beramai-ramai oleh para sahabat lainnya.
Pada Jumat pagi, Rasulullah Saw. meninggalkan Quba’. Di siang hari, beliau dan para sahabat berhenti di Lembah Ranuna, di perkampungan Bani Salim bin ‘Auf dari suku Khazraj, untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya. Sebelum melaksanakan shalat bersama sekitar seratus jamaah, seusai mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., beliau berkhutbah,
“Amma ba‘du. Wahai kaum Muslim, hendaklah kalian berbuat kebajikan demi keselamatan diri kalian sendiri. Demi Allah, kalian tentu mengetahui, setiap orang di antara kalian pasti akan berpulang ke hadirat Allah dan meninggalkan domba-domba piaraannyya. Tuhan akan bertanya kepadanya, langsung tanpa perantara dan tiada tirai apa pun yang akan memisahkannya, ‘Apakah Utusan-Ku tak datang kepadamu untuk menyampaikan amanah-Ku? Bukankah kepadamu telah kuanugerahkan harta dan pelbagai nikmat?’Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan demi keselamatan dirimu sendiri?’
Orang yang ditanya itu akan menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, ia tak melihat sesuatu. Ia kemudian melihat ke depan dan yang tampak hanyalah neraka Jahannam. Karena itu, barang siapa mampu melindungi dirinya dari api neraka, walau hanya dengan sebutir buah kurma, lakukanlah! Bila tiada sesuatu apa pun yang dapat diberikan, cukuplah dengan ucapan yang baik. Sungguh, setiap kebaikan akan memperoleh balasan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Wassalamu‘alaikum wa ‘ala Rasulillah.”
Sebuah khutbah sarat makna yang singkat, padat, dan sangat memikat! Inti khutbah itu ialah sejatinya manusia senantiasa kuasa berbuat kebaikan, dengan bersedekah dan memberi, walau ia seorang miskin. Beliau menyampaikan, seseorang kuasa menghindarkan diri dari neraka dan masuk surga walau hanya dengan sebutir buah kurma. Demikian halnya kata-kata yang baik pun juga dapat menghindarkan seseorang dari neraka dan masuk surga dalam timbangan Allah Swt. Dengan kata lain, kemampuan berbuat kebaikan dan memberi sejatinya terdapat pada diri setiap orang. Bagaimana pun kondisinya.
Usai melaksanakan shalat Jumat pertama kali dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanan ke pusat Kota Yatsrib. Bani Al-Najjar, suku terkenal di kota itu dan merupakan kerabat beliau dari pihak Ibunda beliau, Aminah binti Wahb, datang dengan memanggul senjata untuk menyambut kedatangan beliau. Dan, ketika memasuki kota, beliau mendapat sambutan yang sangat meriah. Banyak orang berusaha menghentikan beliau dan mengajak beliau tinggal bersama mereka. Bagi beliau, tentu sulit untuk memutuskan. Karena itu, beliau membiarkan untanya melanjutkan perjalanan, dan mengatakan kepada khalayak ramai bahwa beliau akan tinggal di tempat berhentinya unta. Ketika tiba di dekat lahan milik Abu Ayyub Al-Anshari, unta beliau berlutut tepat di depan rumah Abu Ayyub di atas lahan kosong milik dua anak yatim, Sahl dan Suhail, tempat tegaknya Masjid Nabawi dewasa ini. Unta itu lantas diurus oleh As‘ad bin Zurarah.
Abu Ayyub Al-Anshari, tentu, sangat gembira, suka cita, dan bahagia. Untuk menghormati beliau, ia mempersilakan beliau tinggal di lantai atas rumahnya yang bertingkat dua. Tapi, beliau memilih tinggal di lantai bawah, untuk memudahkan para tamu menemui beliau. Abu Ayyub menyediakan segala keperluan beliau yang tinggal di rumahnya selama sekitar tujuh bulan. Selepas itu, beliau pindah ke rumah beliau sendiri.
Selepas tinggal di Yatsrib, kota itu diganti namanya menjadi “Kota Nabi” (Madînah Al-Nabiy), atau “Kota nan Cemerlang” (Al-Madînah Al-Munawwarah), Thaibah, dan Thabah.(arofiusmani.blogspot.com/)
Thursday, November 24, 2011
Antara Cinta dan Sekat Politik
Entah kenapa siang tadi, 24 November 2011, ketika menyimak perhelatan pernikahan antara putra dan putri dua penggede Indonesia di tivi, tiba-tiba bibir saya bergumam, “Cinta, sejak dahulu, memang kerap tidak mengenal sekat politik.” Dan, tiba-tiba benak saya “melayang-layang” dan teringat kisah cinta antar dua sejoli dari latar belakang politik yang berbeda: pernikahan antara Khalid bin Yazid dengan Ramlah binti Al-Zubair. Nah, berikut kisah indah dua sejoli dari dua keluarga besar yang pernah terlibat dalam konflik politik keras dan berdarah. Selamat menikmati!
Betapa gembira dan bahagia hati Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah kala itu. Orang nomor satu Dinasti Umawiyyah kala itu, ‘Abdul Malik bin Marwan, mengajaknya ikut serta naik haji bersama sejumlah besar jamaah haji dari Syam. Dan, kegembiraan dan kebahagiaannya kian sempurna manakala ia menapakkan kedua kakinya di lingkungan Masjid Al-Haram, di Makkah Al-Mukarramah, untuk menunaikan ibadah umrah.
Kala putra Yazid bin Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, penguasa kedua dinasti itu, sedang bertawaf, tiba-tiba matanya beradu pandang tanpa sengaja dengan mata seorang perempuan jelita nan sangat memikat. Entah mengapa, Khalid tiba-tiba tak kuasa lagi mengendalikan gelegak hatinya. Juga, ia tak kuasa melupakan perempuan nan rupawan itu. Namun, selepas bertawaf dan mencari tahu tentang jati diri perempuan itu, betapa kaget Khalid. Perempuan bernama Ramlah itu, ternyata, adalah saudara perempuan seorang tokoh yang sangat anti terhadap ayahandanya dan Dinasti Umawiyyah: ‘Abdullah bin Al-Zubair, dan putri pasangan suami-istri seorang sahabat terkemuka: Al-Zubair bin Al-‘Awwam dan Al-Rabbab binti Alif bin ‘Ubaid Al-Kalbi.
Mengetahui semua itu, ternyata tak membuat gelegak cinta Khalid bin Yazid kepada Ramlah binti Al-Zubair kian mereda. Alih-alih, cintanya kian membara dan nyaris tak terkendali. Mengetahui kisah cinta Khalid tersebut, Al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi, panglima Dinasti Umawiyyah kala itu, benar-benar tak dapat menerimanya. Ia pun segera mengirim ‘Ubaidullah bin Mauhib, untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Khalid. Dalam surat itu Al-Hajjaj, antara lain, menulis, “Menurut saya, tak sepatutnya engkau meminang anggota keluarga Al-Zubair bin Al-‘Awwam sebelum engkau meminta pertimbangan kepadaku. Bagaimana engkau berani meminang sebuah keluarga yang tak sepadan dengan keluargamu. Begitulah yang pernah dikatakan kakekmu, Mu‘awiyah. Mereka adalah orang-orang yang pernah menyerang kekuasaan ayahandamu, menuduhnya dengan pelbagai tindak kejahatan, dan memandang ayahanda dan kakekmu sebagai orang sesat!”
Menerima surat demikian, Khalid bin Yazid dengan geram pun berucap kepada ‘Ubaidullah bin Mauhib, “Andai engkau bukan kurir yang memang tak boleh dijatuhi hukuman, tentu akan kupotong satu demi satu anggota tubuhmu, lantas kulempar di depan pintu rumah temanmu itu. Katakan kepada Al-Hajjaj, tak semua urusan harus diserahkan kepadanya dan dimintakan pertimbangannya. Perihal keluarga Al-Zubair yang menurutnya pernah menyerang kekuasaan ayahandaku, dan menuduhnya dengan segala kejahatan, kukira hal itu biasa berlaku di kalangan orang-orang Quraisy. Dan, bila Allah Swt. telah menetapkan suatu kebenaran, memboikot dan menandingi mereka tergantung pada cita-cita dan keutamaan mereka. Perihal keluarga Al-Zubair yang menurutnya tak sepadan, kiranya Allah mencelakakan Al-Hajjaj. Betapa picik pengetahuannya perihal garis keturunan kaum Quraisy. Bukankah Al-Zubair bin Al-‘Awwam sepadan dengan ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, karena pernikahannya dengan Shafiyyah, dan juga karena pernikahan Rasul Saw. dengan Khadijah binti Khuwailid. Apakah ia tak melihat bahwa mereka sepadan dengan Abu Sufyan?”
Kemudian, seusai naik haji, ketika ‘Abdul Malik bin Marwan dan jamaah yang dipimpinnya sedang bersiap-siap untuk kembali ke Damaskus, Khalid pun menemui ‘Abdul Malik bin Marwan, dengan tujuan meminta izin untuk menunda kepulangannya. Tentu saja ‘Abdul Malik bin Marwan merasa penasaran dan ingin tahu alasan Khalid yang sebenarnya. Karena itu, ia pun meminta Khalid datang untuk menemuinya dan menjelaskan maksudnya tinggal beberapa lama di Makkah.
“Wahai Amir Al-Mukminin,” ucap Khalid bin Yazid yang tak kuasa mengelak untuk menjawab pertanyaan orang nomor satu Dinasti Umawiyyah itu. “Ketika kita tiba di Kota Suci ini dan kemudian bertawaf, entah mengapa tiba-tiba mata saya tanpa sengaja beradu pandang dengan mata seorang perempuan nan jelita. Ternyata, perempuan itu adalah Ramlah binti Al-Zubair bin Al-‘Awwam.”
“Oh, Ramlah binti Al-Zubair?” sahut ‘Abdul Malik bin Marwan terkejut seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukankah perempuan itu adalah saudara perempuan ‘Abdullah bin Al-Zubair? Bukankah saudara laki-lakinya adalah lawan politik berat ayahandamu dan kita?”
“Benar, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab putra Yazid bin Mu‘awiyah (yang memerintahkan pasukannya untuk melibas ‘Abdullah bin Al-Zubair yang menentangnya) dengan suara pelan dan merundukkan kepala. “Perempuan jelita itu memang adalah saudara perempuan ‘Abdullah bin Al-Zubair. Walau demikian, kecantikan dan kepribadiannya yang menawan benar-benar membuat pikiran saya kacau tak karuan. Demi Allah, semenjak semula sejatinya saya berniat tak akan menuturkan hal ini kepada Paduka. Tapi, ternyata kesabaran saya pun ada batasnya. Mata saya telah saya paksa untuk melupakannya, tapi ia menolak dan tak mau menerimanya. Saya pun telah mencoba dengan segala cara untuk menghibur hati saya, tapi ia juga menolak.”
“Wahai Khalid bin Yazid,” ucap sang khalifah, yang merasa heran mendengarkan penjelasan cucu pendiri Dinasti Umawiyyah yang demikian itu, seraya menarik napas panjang. “Saya tak mengira, cinta dapat menguasai diri seseorang semisal engkau ini.”
“Wahai Amir Al-Mukminin,” jawab Khalid bin Yazid seraya merundukkan kepala. “Saya sendiri sejatinya lebih heran ketimbang Paduka. Sebab, sejak semula saya berpendapat, cinta hanya dapat menguasai dua jenis orang: para penyair dan orang-orang Badui. Adapun para penyair, ini karena pikiran mereka hanya tertuju kepada perempuan, menggambarkan keindahannya, dan merayunya. Akibatnya, watak mereka menyukai perempuan dan dengan sendirinya hati mereka gampang meyerah di hadapan sergapan cinta. Sedangkan orang-orang Badui, ketika salah seorang di antara mereka tinggal hanya berduaan dengan istrinya, tiada yang menguasai perasaannya selain hanya cintanya kepada istrinya. Juga, tiada kesibukan apa pun yang kuasa memalingkan cintanya itu. Akibatnya, hatinya tak kuasa untuk menolak cinta. Sehingga, cinta pun menguasai dirinya. Tapi, saya merasa heran, saya belum pernah melihat satu pun pandangan yang dapat menghalang-halangi diri saya dari kebulatan tekad saya dan membuat diri saya terasa mudah melakukan perbuatan dosa selain pandangan saya kali ini.”
“Wahai Khalid,” sergah sang khalifah seraya menatap tajam cucu Mu‘awiyah bin Abu Sufyan itu. “Apakah sudah sedemikian parahnya cinta menguasai dirimu?”
“Demi Allah, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab Khalid bin Yazid seraya mendongakkan kepalanya dan salah tingkah, “Sebelum ini, saya tak pernah mengalami kekacauan dalam berpikir sebagaimana yang terjadi saat ini.”
Memahami “penyakit” yang sedang menyergap Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah tersebut, ‘Abdul Malik bin Marwan akhirnya memutuskan untuk meminang Ramlah binti Al-Zubair sebelum bertolak ke Damaskus. Mengetahui gelegak cinta Khalid kepadanya, Ramlah pun dengan tinggi hati menjawab, “Tidak! Demi Allah, saya tak mau menerima lamarannya sebelum Khalid bin Yazid menceraikan semua istrinya!”
Khalid bin Yazid pun menceraikan semua istrinya. Dan, selepas melangsungkan acara pernikahan dengan Ramlah binti Al-Zubair di Makkah, ia kemudian memboyong istri nan jelita yang sangat dicintainya itu ke Damaskus, Suriah.(arofiusmani.blogspot.com/)
Sunday, November 13, 2011
"Turunkan Saja Dia dari Jabatannya!"
“Banyak pejabat negara yang sangat perlente, hidup mewah, dan berideologi pragmatis dan hedonis,” demikian kritik seorang ketua komisi pemberantasan korupsi di Indonesia beberapa hari yang lalu. Menurut tokoh tersebut, ideologi pragmatis dan hedonis adalah akar korupsi di negeri ini. Kritik yang menarik. Ternyata, banyak pihak yang tidak senang dengan kritik yang “menyengat” tersebut.
Entah kenapa, ketika membaca kritik tersebut, saya teringat dengan kritik yang dikemukakan seorang hakim agung terkemuka Andalusia, Al-Mundzir bin Sa‘id Al-Baluthi, kepada seorang penguasa terkemuka kala itu, ‘Abdurrahman III Al-Nashir li Dinillah. Penguasa yang satu itu, kala itu, terkenal sebagai seorang penguasa yang lagi suka hidup bermewah-mewah dan menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan yang dipimpinnya. Bagaimanakah sikap sang penguasa dalam menghadapi kritik yang membuat “telinganya merah” itu? Nah, berikut adalah kisah sang penguasa dalam menghadapi kritik tersebut:
Membangun Kota Al-Zahra’, itulah yang dilakukan ‘Abdurrahman III Al-Nashir li Dinillah, penguasa ke-8 Dinasti Umawiyyah di Cordoba, selepas berhasil memancangkan kekuasaannya. Kota istana yang dimaksudkan sebagai tanda cinta kepada istri tercintanya, Al-Zahra’, itu terletak di sebelah barat Cordoba. Kota yang setelah jatuh kembali ke tangan pasukan Spanyol disebut “Cordoba la Vieja” ini dirancang di dekat Sungai Guadalquivir dan di atas Bukit Siera Morina. Pembangunan kota di bawah pengawasan Al-Hakam II ini dimulai pada permulaan Muharram 325 H/Desember 936 M, dengan mengerahkan tenaga kerja sebanyak sekitar sepuluh ribu orang setiap hari, berlangsung terus menerus selama dua puluh lima tahun. Lebih dari tiga ribu hewan dikerahkan untuk mengangkut pelbagai ragam bahan bangunan dari berbagai belahan dunia. Misalnya, marmer hijau dan ungu yang didatangkan dari Carthago dan marmer putih dari Almeria. Sedangkan beberapa bahan lainnya yang terbuat dari emas dan perak didatangkan dari Suriah dan Constantinople.
Kota yang juga disebut dengan nama “Mahkota Pengantin Putri” (Tâj Al-‘Arûs) dan terdiri dari tiga blok ini demikian megah. Blok pertama diperuntukkan bagi istana-istana, perumahan, dan pasar. Blok kedua dikhususkan untuk taman dan tempat pesiar. Sedangkan blok ketiga untuk toko-toko, pemandian umum, dan tempat satuan pengamanan. Karena demikian megahnya, tak aneh bila pembangunannya tiap tahunnya menghabiskan biaya sekitar tiga ratus ribu dinar. Tak mengherankan pula ketika kota ini rampung dibangun, kota ini mampu menyediakan akomodasi ratusan kamar dan apartemen, di samping bangunan-bangunan lainnya, seperti masjid dan memungkinkan pula ribuan pasukan pengawal tinggal di kota ini.
Pembangunan kota itu ternyata membuat penguasa yang lahir di Cordoba pada Ramadhan 277 H/Desember 890 M itu pernah meninggalkan shalat Jumat di masjid sebanyak tiga kali berturut-turut. Mengetahui hal itu, Al-Mundzir bin Sa‘id Al-Baluthi, hakim agung (qâdhi al-qudhah) terkemuka Andalusia kala itu, bermaksud memberikan nasihat kepada penguasa yang lalai itu. Karena itu, suatu hari, ketika sedang menyampaikan khutbah shalat Jumat yang dihadiri ‘Abdurrahman III Al-Nashir, ia antara lain mengutip firman Allah Swt., “Apakah kalian mendirikan pada setiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kalian mendirikan benteng-benteng dengan maksud agar kalian kekal (di dunia)? Dan, manakala kalian menyiksa, kalian menyiksa sebagaimana orang-orang yang kejam dan bengis. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Juga, bertakwalah kepada Allah yang telah menganugrahkan kepada kalian sesuatu yang kalian ketahui. Dia telah menganugerahkan kepada kalian hewan-hewan ternak, anak-anak, dan kebun-kebun serta mata air. Sungguh, aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 128-135).
Usai mengutip ayat-ayat Al-Quran tersebut, Al-Mundzir bin Sa‘id kemudian melengkapi khutbahnya yang pedas dengan uraian perihal larangan berlaku boros dan menghambur-hamburkan harta kekayaan.
Mendengar khutbah tersebut, penguasa yang berhasil menjadikan Andalusia sebuah negara adikuasa yang makmur dan kaum Muslim sebagai pelopor ilmu pengetahuan di Eropa itu tak kuasa menahan lelehan air matanya dan menyesali tindakannya. Kemudian, selepas kembali ke istana, ia berucap kepada putranya, Al-Hakam, “Sungguh, Al-Mundzir begitu keterlaluan dalam mengecam dan menyinggung diriku. Demi Allah, aku selamanya tak akan lagi melaksanakan shalat Jumat di belakangnya!”
“Apa yang membuat Ayahanda tak mencopot dan memberhentikan dia sebagai hakim agung? Turunkan saja dia dari jabatannya!” sahut sang putra.
“Celaka engkau,” sergah sang Ayahanda yang menyadari kembali kekeliruan dirinya. “Apakah tokoh setinggi Al-Mundzir dalam hal kesalihan, keilmuan, dan keutamaannya harus dicopot demi membela hawa nafsu yang senantiasa menyimpang dari kebenaran, menampakkan kemewahan, dan menempuh tujuan yang tak benar? Ini tak boleh terjadi. Sungguh, aku akan malu di hadapan Allah Swt. bila aku tak kuasa menjadikan orang seperti Al-Mundzir bin Sa‘id sebagai penolongku di Hari Kiamat kelak.” (arofiusmani.blogspot.com/)
Sunday, November 6, 2011
Kisah Lengkap Perjalanan Haji Rasulullah Saw.
Selepas ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyyah pada 6 H/628 M, kaum Muslim di bawah pimpinan Rasulullah Saw. kian bersemangat menebarkan dakwahnya ke pelbagai wilayah. Sehingga, segera seluruh kawasan Hijaz pun berada di bawah naungan Islam. Karena itu, ketika musim haji tahun kesembilan Hijriah tiba, beliau yang sibuk menerima berbagai utusan dari berbagai wilayah, memerintahkan Abu Bakar Al-Shiddiq untuk memimpin sekitar tiga ratus jamaah dari Madinah untuk bertolak ke Makkah. Abu Bakar dan rombongannya pun berangkat Makkah.
Kala itu, ibadah haji masih dilakukan pula oleh bukan para pemeluk Islam. Merasa telah waktunya untuk menyatakan bahwa ibadah haji khusus hanya untuk kaum Muslim, Rasulullah Saw. pun mengutus ‘Ali bin Abu Thalib untuk menyusul Abu Bakar, dengan tugas menyampaikan pesan beliau di Mina tentang pengakhiran kebolehan ibadah haji bagi bukan pemeluk Islam. Ketika jamaah haji telah berada di Mina, untuk melaksanakan upacara haji, ‘Ali berdiri di samping Abu Hurairah dan menyampaikan pesan beliau (dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran berikut),
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang telah kalian ikat dengan suatu perjanjian. Oleh karena itu, kalian boleh berjalan di muka bumi ini selama empat bulan dan ketahuilah bahwa kalian tak akan dapat melemahkan Tuhan dan Tuhan akan menghinakan orang-orang kafir. Dan inilah sebuah maklumat dari Allah dan Rasul kepada umat manusia pada Hari Haji Akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Tapi, jika kalian (kaum musyrik) mau bertobat, itu lebih baik bagi kalian. Kalau kalian mengelak juga, ketahuilah, kalian tak akan dapat melemahkann Tuhan. Beritahukanlah kepada orang-orang kafir itu tentang siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrik yang telah kalian adakan perjanjian, dan mereka tak mengurangi sesuatu pun (dari perjanjian itu) dan tidak pula membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Allah menyukai orang-orang yang teguh dalam kebenaran.
Apabila bulan-bulan suci sudah berlalu, orang-orang musyrik itu boleh saja diperangi di mana saja kalian jumpai mereka, tangkap dan kepunglah mereka pada setiap tempat penjagaan. Tapi, apabila mereka telah bertobat, telah melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat, biarkanlah mereka bebas berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Dan apabila ada seseorang dari pihak musyrik itu meminta perlindungan kepada kalian, lindungilah ia supaya ia sempat mendengar Firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman. Demikianlah, sebab mereka orang-orang yang tak mengetahui.
Bagaimana mungkin di hadapan Allah dan Rasul-Nya akan ada suatu perjanjian dengan orang-orang musyrik; kecuali yang telah kalian adakan dengan mereka di dekat Masjid Al-Haram. Maka, selama mereka berlaku lurus kepada kalian, hendaklah kalian berlaku lurus juga kepada mereka. Sebab, Allah menyukai orang-orang yang teguh dalam kebenaran. Bagaimana mungkin (ada perjanjian demikian itu), padahal bilamana mereka dapat menguasai kalian, mereka tak akan menghormati kalian, baik dalam tali kekeluargaan maupun dalam perjanjian. Mereka menyenangkan kalian dengan mulut (manis), tapi hati mereka sebaliknya. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.
Ayat-ayat Tuhan mereka jual dengan harga sedikit dan mereka mau menghalangi orang dari jalan Allah. Memang, buruk sekali perbuatan mereka itu. Mereka tak lagi menghormati orang beriman, baik dalam kekeluargaan maupun dalam perjanjian. Mereka itulah orang-orang yang melanggar batas. Akan tetapi, bila mereka bertobat, menjalankan sembahyang, dan mengeluarkan zakat, maka mereka itu saudara-saudaramu seagama. Ayat-ayat itu Kami uraikan kepada mereka yang mau mengerti. Tapi, bilamana mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri setelah perjanjian mereka itu, dan mereka memaki agamamu, maka perangilah pemuka-pemuka orang kafir itu; mereka orang-orang yang tak dapat menahan diri.
Kalian tak mau melawan golongan yang telah melanggar sumpahnya sendiri. Padahal, mereka telah berkomplot hendak mengusir Rasul, dan mereka itulah yang pertama kali mulai memerangi kalian. Takutkah kalian kepada mereka? Padahal, Allah yang harus lebih ditakuti, kalau kalian orang-orang yang beriman. Lawanlah mereka itu! Tuhan akan menyiksa mereka melalui tangan kalian. Allah akan menista mereka dan akan menolong kalian melawan mereka, akan melegakan hati orang-orang beriman. Tuhan akan menghapuskan kemarahan hati mereka, akan menerima tobat siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Adakah kalian mengira bahwa kalian akan dibiarkan begitu saja? Padahal, Allah belum membuktikan kalian yang benar berjuang dan tidak pula mengambil teman akrabnya selain Allah, Rasul, dan orang-orang beriman. Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat.
Bukanlah orang-orang musyrik itu yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah, karena mereka telah mengakui sendiri kekufuran mereka. Perbuatan mereka itu rendah sekali, dan mereka akan kekal dalam api neraka. Tapi, yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang sudah beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta menjalankan sembahyang, mengeluarkan zakat, dan tak takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Mereka inilah yang diharapkan akan mendapat petunjuk.
Apakah pemberian minuman kepada jamaah haji dan mengurus Masjid Al-Haram kalian samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berjuang di jalan Allah? Dalam pandangan Tuhan, mereka tak sama. Allah tak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman, yang berhijrah, dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa raga mereka dalam pandangan Allah lebih tinggi derajatnya; dan mereka itulah orang-orang yang meraih kemenangan. Tuhan memberikan kabar gembira kepada mereka dengan rahmat, keridhaan, dan surga dari-Nya buat mereka. Di sanalah tempat kesenangan yang abadi. Mereka kekal selalu di sana. Dan pahala yang besar ada pada Tuhan.
Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai wakil-wakil kalian kalau mereka lebih mengutamakan kekufuran daripada iman; dan barang siapa mengambil mereka sebagai wakil, mereka itulah orang-orang yang zalim. Katakanlah: Kalau bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara dan istri-istri kalian serta keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan akan menjadi rugi, tempat-tempat tinggal yang kalian senangi, semua itu lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta daripada berjuang di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan. Allah tak memberikan bimbingan kepada orang fasik.
Allah telah menolong kalian pada beberapa tempat dan pada Peristiwa Hunain, tatkala kalian merasa bangga sekali karena jumlah kalian yang besar. Tapi, ternyata jumlah yang besar itu sedikit pun tak menolong kalian. Dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit oleh kalian. Lalu, kalian berbalik mundur. Sesudah itu, Allah menurunkan perasaan tenang ke dalam hati Rasul dan orang-orang beriman serta diturunkan-Nya pula balatentara yang tak kalian lihat, dan Allah Menimpakan bencana kepada orang-orang kafir itu, dan itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu, kemudian Allah menerima tobat siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun dan Penyayang.
Hai orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab itu, sesudah ini, janganlah mereka memasuki Masjid Al-Haram, dan kalau kamu khawatir akan menjadi miskin, maka Tuhan dengan karunia-Nya akan memberikan kekayaan kepada kamu. Jika dikehendaki, sungguh Tuhan Mahatahu dan Mahabijaksana. Perangilah orang-orang yang tak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan tak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula beragama menurut agama yang benar, yaitu orang-orang yang telah mendapat Al-Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk.
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah.” Demikianlah kata-kata mereka, menurut mulut mereka. Mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir masa lalu. Tuhan mengutuk mereka. Bagaimana mereka sampai dipalingkan? Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka tuhan selain Allah, dan Al-Masih putra Maryam (juga mereka pertuhankan). Padahal, mereka diperintahkan hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tiada tuhan selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Mereka berkehendak memadamkan Cahaya Ilahi dengan mulut mereka. Tapi, kehendak Tuhan hanya akan menyelesaikan pancaran cahaya-Nya itu, meski orang-orang kafir tak menyukai. Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk Al-Quran dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, meski orang-orang musyrik tak menyukai.
Hai orang-orang beriman! Banyak sekali pendeta dan rahib memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka merintangi orang dari jalan Allah. Dan mereka yang menimbun emas dan perak dan tak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka adanya siksa yang pedih. Tatkala semuanya (emas dan perak) dipanaskan dalam api jahanam, lalu dengan itu, dahi mereka, lambung mereka, dan punggung mereka dibakar, (dikatakan kepada mereka), inilah harta benda kalian yang kalian timbun untuk diri kalian sendiri. Sebab itu, rasakan sekarang akibat apa yang kalian timbun itu.
Sesungguhnya bilangan bulan dalam pandangan Tuhan ialah duabelas bulan. Demikian ditentukan Allah tatkala Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan suci. Itulah ketentuan agama yang lurus. Oleh karena itu, janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan-bulan itu. Lawanlah orang-orang musyrik itu semua, seperti mereka juga memerangi kalian semua. Ketahuilah, Allah beserta orang-orang yang teguh bertakwa.” (QS Al-Taubah [9]: 1-36).
Seusai menyampaikan ayat-ayat Al-Quran tersebut, ‘Ali bin Abu Thalib berhenti sejenak. Kemudian, serunya lagi kepada khalayak ramai, “Saudara-saudara! Orang kafir tak akan masuk surga. Selepas tahun ini, orang musyrik tak boleh lagi naik haji, tak boleh lagi bertawaf di Ka‘bah dengan telanjang. Barang siapa terikat oleh suatu perjanjian dengan Rasul, hal itu tetap berlaku sampai pada waktunya!”
‘Ali bin Abu Thalib menyampaikan perintah itu di tengah-tengah khalayak ramai. Kemudian, kepada mereka diberi waktu empat bulan supaya masing-masing golongan sempat pulang ke daerah dan negerinya masing-masing. Semenjak saat itu, tiada seorang musyrik pun naik haji dan tiada lagi orang telanjang bertawaf di Ka‘bah.
Tahun berikutnya, melihat Islam kian kuat dan berkembang luas, Rasulullah Saw. merasa tugasnya hampir usai. Beliau menandainya dengan melaksanakan ibadah haji wada‘ (perpisahan) ke Makkah pada 10 H/632 M. Maka, pada Syawwal 10 H/Januari 632 M, di bulan puncak musim dingin tahun itu, diumumkan di seluruh Kota Suci itu bahwa beliau sendiri yang akan memimpin jamaah haji tahun itu, “Barang siapa ingin menunaikan ibadah haji bersamaku, hendaknya ia datang ke Madinah, untuk bersama berangkat menuju Ka‘bah.”
Berita itu disebarkan ke pelbagai suku di padang pasir. Orang-orang pun datang berbondong-bondong ke oasis itu dari pelbagai penjuru ke Madinah. Dalam setiap langkahnya, mereka bergembira mendapat kesempatan menyertai Rasululalh Saw. melakukan perjalanan ke Makkah dan sekaligus inilah ibadah haji terakhir yang dilaksanakan oleh beliau. Ibadah haji kali berbeda dengan yang dilakukan beratus-ratus tahun silam: seluruh jamaah akan menyembah hanya kepada satu Tuhan, dan tiada lagi para penyembah berhala yang akan mencemari Baitullah dengan mengadakan ritus-ritus kemusyrikan.
Lima hari sebelum akhir bulan Dzulqa‘dah, tepatnya pada 25 Dzulqa‘dah 10 H/23 Februari 632 M, Rasulullah Saw. keluar dari Madinah memimpin tiga puluh ribu pria dan perempuan. Selain diikuti oleh banyak kaum Muslim tersebut, beliau juga disertai oleh semua istri beliau. Di antara mereka adalah ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, istri satu-satunya beliau yang masih gadis ketika menikah dengan beliau, Saudah binti Zam‘ah, Shafiyyah binti Huyay, dan Ummu Salamah. Mereka menginap semalam di Dzulhulaifah.
Menjelang waktu shalat subuh tiba, Rasulullah Saw. mandi untuk niat berihram. Kemudian, ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq memercikkan wewangian ke tubuh dan kepala beliau, hingga tetesan wewangian itu terlihat meleleh di anak-anak rambut dan jenggot beliau. Tetesan wewangian itu dibiarkan begitu saja dan tak dibasuhnya. Selepas itu, beliau mengenakan kain ihram. Selepas melaksanakan shalat sunnah dua rakaat, beliau kemudian membaca talbiyah untuk haji dan umrah di tempat itu, “Labbaika Allâhumma labbaik... Labbbaika lâ syarîka laka, labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu, Allâhumma, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Segala puji, kenikmatan, dan kemaharajaan hanyalah semati bagi-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu... Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu.”
Sebelum iring-iringan jamaah haji tersebut akan bertolak dari Madinah, Rasulullah Saw. memerintahkan para calon jamaah haji yang tak bergabung dari Kota Suci itu untuk menempuh jalur tepi pantai, dengan harapan mereka bisa bertemu di tengah perjalanan. Benar, rombongan yang tak bertolak dari Kota Madinah itu akhirnya bertemu dengan rombongan yang berangkat bersama beliau. Setelah kedua rombongan itu bertemu, mereka semua kemudian berihram kecuali Abu Qatadah.
“Langit hari itu,” tulis Ali Shariati dalam karyanya Muhammad Saw., Khâtim Al-Nabiyyîn, “belum pernah menyaksikan pemandangan di muka bumi seperti yang ada kala itu. Lebih dari seratus ribu orang, laki-laki dan perempuan-di bawah sengatan matahari yang amat terik dan di padang pasir yang sebelumnya tak pernah dikenal orang-bergerak menuju satu arah. Tiada tanda-tanda apa pun yang mereka kenakan dan yang membedakan seseorang dari orang lainnya, satu bangsa dari bangsa lainnya yang bergabung dalam rombongan besar itu. Warna yang dimiliki semua orang sama: putih. Dan, potongannya pun sama pula: satu kain dibelitkan di bagian bawah tubuh, dan sehelai lainnya dibelitkan di pundak.”
“Medan ini merupakan lukisan paling indah dari satu warna yang menghiasi kehidupan umat manusia. Ia merupakan lukisan tentang persamaan seorang anak manusia dengan yang lain yang lainnya. Tiada perbedaan antara mereka. Busana yang mereka kenakan tak boleh dijahit yang bisa menutupi pengungkapan ciri pribadi. Semua orang yang berhimpun di sana adalah “manusia”. Bukan yang lain. Segala tanda-tanda yang membedakan seseorang dari yang lain telah ditinggalkan di Dzulhulaifah.”
“Muhammad melanjutkan perjalanannya diikuti oleh seratus ribu lebih manusia, dengan busana yang sama dan warna yang sama pula. Sementara itu, dunia dan sejarah menatap dengan kagum.”
“Aneh sekali. Pasukan apa ini? Komandannya berjalan kaki kelelahan. Demikian pula pengikut-pengikutnya. Nabi memang berjalan kaki semenjak dari Dzulhulaifah di belakang umatnya. Sejarah memang mendengar bahwa “penguasa” itu berada di tengah-tengah pasukan itu. Tapi, ketika dicari-carinya, ia tak juga kuasa menemukannya.”
Ketika rombongan jamaah haji yang dipimpin oleh Rasulullah Saw. tiba di Makkah, mereka segera bersiap-siap untuk melaksanakan umrah di Baitullah. Ummu Salamah, yang juga ingin segera melaksanakan umrah, segera menemui Rasulullah Saw., yang sedang melaksanakan shalat di sisi Ka‘bah, untuk mengadukan dirinya yang sedang sakit. Ucap Ummu Salamah, “Wahai Rasul! Aku ingin segera melaksanakan umrah bersama mereka! Tapi, aku sedang sakit!”
“Lakukanlah dengan naik unta di belakang mereka,” jawab Rasulullah Saw.
Maka, perempuan bangsawan Quraisy-yang oleh Ibn Hajar Al-‘Asqallani, dalam karyanya, Al-Ishâbah fî Tamyîz Al-Shahâbah, dilukiskan sebagai “perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa, suara nan merdu, kekuatan berpikir cepat, dan kemampuan untuk memberikan pendapat yang tepat”-itu pun melaksanakan umrah dengan naik unta, sesuai dengan arahan sang suami tercinta.
Seusai melaksanakan shalat shubuh dan mandi, pada pagi hari Senin, 4 Dzulhijjah 10 H/2 Maret 632 M, begitu memasuki Baitullah, Rasulullah Saw. lantas memulai ibadah dengan mencium atau mengusap, dan memberi isyarat ke arah Hajar Aswad. Beliau melakukan tawaf dengan berlari kecil pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat kali putaran terakhir.
Usai melakukan tawaf, Rasulullah Saw. dan rombongan lantas menuju Maqam Ibrahim a.s. seraya membaca ayat, “Jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (QS Al-Baqarah [2]: 125). Di tempat itu, beliau melaksanakan shalat dua rakaat.
“Muhammad datang kepada Tuhannya-di hari-hari akhir kehidupannya-di Maqam Ibrahim, Bapak agama-agama langit dalam sejarah umat manusia,” tulis lagi Ali Shariati dalam karyanya Muhammad Saw., Khâtim Al-Nabiyyîn, “untuk menyodorkan hasil jerih payah perjuangannya yang sarat semangat. Dan, di hadapan-Nya pula, beliau meminta kesaksian umat manusia bahwa beliau tak pernah berhenti bekerja dan tak pula kenal lelah dalam berjuang menunaikan risalahnya.”
“Beliau juga ingin memperlihatkan kepada Ibrahim, bahwa karya besar yang dimulainya dalam kehidupan manusia kini telah diantarkannya hingga batas tersebut, dan telah digerakkannya selaras dengan pedoman yang digariskannya.”
Selepas itu, Rasulullah Saw. kembali lagi ke Hajar Aswad untuk mencium atau mengusapnya. Dari situ, beliau kemudian melangkahkan kaki menuju Bukit Shafa untuk melaksanakan sa‘i. Ketika telah dekat dengan Shafa, beliau membaca ayat, “Sungguh, sa‘i antara Shafa dan Marwah merupakan sebagian dari pelbagai tanda kebesaran Allah.” (QS Al-Baqarah [2]: 158).
Rasulullah Saw. memulai sa‘i dari Bukit Shafa. Beliau pertama-tama naik ke Bukit Shafa sehingga bisa melihat Baitullah. Lantas, beliau menghadap ke arah kiblat dengan mengucapkan kalimat yang mengesakan dan mengagungkan Allah, “Tiada Tuhan selain Allah. Dialah satu-satunya Tuhan, tiada sekutu bagi-Nya. Kekuasaan dan segala puji milik-Nya dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allah. Dialah satu-satunya Tuhan. Dia menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan musuh-musuh-Nya dengan sendiri-Nya.”
Usai berucap demikian, Rasulullah Saw. lantas berdoa. Doa tersebut diulanginya sampai tiga kali. Lalu, beliau berjalan menuju Bukit Marwah. Sesampainya di lembah, beliau berlari kecil, lantas berjalan biasa sampai beliau tiba di Bukit Marwah. Di situ, beliau melakukan seperti apa yang beliau lakukan di Bukit Shafa. Ketika beliau mengakhiri sa‘i di Bukit Marwah, beliau berpesan, “Andaikan aku belum melakukan apa yang telah kulakukan, tentu aku tak membawa hewan kurban (hadyu) dan ibadahku tadi kujadikan sebagai umrah saja. Karena itu, barang siapa yang tak membawa hewan kurban, hendaknya ia bertahallul dan menjadikan ibadahnya tadi sebagai umrah!”
Mendengar pernyataan Rasulullah Saw. yang demikian, Suraqah bin Malik bin Ju’tsum berdiri dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasul! Apakah hal itu untuk tahun ini saja ataukah juga untuk seterusnya?”
“Umrah untuk haji? Tak hanya untuk tahun ini saja. Tapi, juga untuk seterusnya!” jawab Rasulullah Saw.
Keberangkatan Rasulullah Saw. untuk beribadah haji itu, selain diikuti oleh banyak kaum Muslim dan para istri beliau, juga disertai oleh putri sangat tercinta beliau: Fathimah Al-Zahra’. Putri keempat dan termuda pasangan suami-istri Rasulullah Saw. dan Khadijah binti Khuwailid ini lahir pada Selasa, 20 Jumada Al-Tsaniyyah tahun pertama kenabian/13 Juli 605 M, di Makkah. Ibunda Al-Hasan bin ‘Ali dan Al-Husain bin ‘Ali ini dikatakan sebagai “pemimpin kaum perempuan di surga”. Perempuan yang menurunkan anak keturunan beliau ini berhijrah ke Madinah bersama ‘Ali bin Abu Thalib atau Zaid bin Haritsah. Ia menikah dengan khalifah keempat dalam sejarah Islam itu seusai Perang Badar. Ketika ‘Ali bin Abu Thalib meminangnya, Rasulullah Saw. langsung menanyakannya kepada putrinya. Ternyata, ia diam seribu bahasa. Diamnya wanita, menurut hukum Islam, adalah tanda setuju. ‘Ali ketika itu tak mempunyai apa-apa selain baju perang, sepotong kulit domba, dan sepotong pakaian. Lantas, ‘Ali bin Abu Thalib menjual baju perangnya, dan uangnya ia berikan kepada Fathimah sebagai mahar. Upacara pernikahan mereka sangat sederhana, tanpa kebesaran, pertunjukan, dan upacara.
Pada saat itu, ‘Ali bin Abu Thalib sedang berada di perjalanan pulang dari Yaman. Ia berada di sana semenjak bulan Ramadhan, bersama tiga ratus orang prajurit berkuda, untuk mengajak warga negeri itu memeluk Islam. Ia baru balik dari sana pada akhir bulan Dzulqa‘dah dan langsung menuju Makkah untuk bergabung dengan Rasulullah Saw. dan kaum Muslim yang akan menunaikan ibadah haji. Setibanya di Kota Suci itu, ia segera menemui sang istri yang sedang berihram dengan mengenakan busana berwarna-warni dan bercelak mata. Melihat hal itu, ia berupaya melarang sang istri melakukan hal yang demikian.
“Ayahkulah yang menyuruhku begini!” jawab Fathimah Al-Zahra’ membela diri.
Merasa kurang yakin dengan jawaban sang istri, ‘Ali bin Abu Thalib pun menemui Rasulullah Saw. dan mengeluhkan tentang busana berwarna-warni yang dikenakan sang istri. Menerima keluhan sang menantu, beliau pun menjawab, “Fathimah benar! Fathimah benar!”
Kemudian, ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) tiba, Rasulullah Saw. bermaksud meninggalkan Makkah menuju Mina dan kemudian ke Dataran ‘Arafat. Sebelum bertolak, beliau masuk ke tempat seorang putri pasangan suami-istri Abu Bakar Al-Shiddiq dan Ummu Ruman binti ‘Amir bin Uwaimir Al-Kinaniyyah: ‘A’isyah. Ternyata, istri beliau yang kala itu baru berusia tujuh belas tahun itu sedang menangis. Melihat sang istri menangis, beliau pun bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku sedang haid, wahai Rasul! Orang-orang lain telah bertahalul. Sedangkan aku sendiri saat ini belum bertahalul dan belum melakukan tawaf di Baitullah. Dan, kini, orang-orang telah bersiap-siap untuk memulai ibadah haji!” jawab putri Abu Bakar Al-Shiddiq-yang terkenal sebagai penutur hadits yang berwawasan luas, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam-itu seraya menahan tangisnya.
“Ini adalah ketetapan Allah terhadap kaum perempuan. Mandilah, lalu berihramlah untuk haji!” ucap Rasulullah Saw. menenangkan hati sang istri tercinta.
‘A’isyah, yang kala bertolak dari Madinah berniat memilih haji tamattu‘ (beribadah umrah sebelum beribadah haji) tanpa membawa hewan kurban, kemudian melaksanakan perintah Rasulullah Saw. tersebut, lalu bertolak bersama beliau untuk melaksanakan wukuf di ‘Arafat dan rangkaian ibadah haji lainnya. Setelah suci, ia kemudian melaksanakan tawaf di Baitullah dan sa‘i antara Shafa dan Marwah serta bertahallul.
Melihat ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq telah bertahalul, Rasulullah Saw. pun berkata kepada sang istri, “Engkau telah bertahallul dari hajimu dan umrahmu bersama-sama!”
“Wahai Rasul!” sergah sang istri dengan nada manja. “Tapi aku kan tak melakukan tawaf di Baitullah kecuali setelah aku menunaikan ibadah haji?”
Beberapa hari kemudian Rasulullah Saw. menyuruh ‘Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Shiddiq agar menemani ‘A’isyah, saudara kandung perempuannya, untuk berumrah dari Tan‘im, sebagai ganti umrah sebelumnya yang gagal karena dialihkan menjadi ibadah haji, padahal ‘A’isyah saat itu belum bertahalul, tanpa harus memberikan hewan kurban, tanpa puasa, dan tanpa sedekah.
Rasulullah Saw. pun pergi ke Mina dan melaksanakan shalat zuhur, asar, magrib, ‘isya’, dan subuh di sana. Seusai menanti beberapa saat hingga matahari terbit, beliau lantas melanjutkan perjalanan hingga tiba di Arafah. Tenda-tenda waktu itu telah didirikan di sana. Beliau pun masuk tenda yang disiapkan bagi beliau. Setelah matahari tergelincir, beliau meminta agar Al-Al-Qashwa’, unta beliau, didatangkan. Beliau kemudian menungganginya hingga tiba di tengah Dataran ‘Arafat. Melihat ribuan jamaah yang memenuhi panggilan Allah dan menaati perintah-Nya, beliau merasa lega karena umatnya telah menegakkan kebenaran Islam dengan ikhlas. Saat itu beliau berniat menanamkan inti ajaran Islam di dalam hati mereka dengan memanfaatkan pertemuan mulia itu sebagai kesempatan itu untuk mengucapkan khutbah guna mengikis habis sisa-sisa kejahiliahan yang masih mengendap dalam jiwa kaum Muslim. Beliau juga hendak menekankan soal-soal akhlak, hukum, dan hubungan antar sesama kaum Muslim, termasuk hubungan antara suami-istri.
Rasulullah Saw. kemudian berdiri di hadapan sekitar seratus dua puluh empat ribu atau seratus empat puluh ribu kaum Muslim untuk menyampaikan khutbah haji terakhir beliau, yang diulang dengan ucapan yang lebih keras oleh Rabi‘ah bin Umayyah bin Khalaf, yang lebih dikenal dengan sebutan haji wada‘,
“Wahai manusia! Dengarkanlah nasihatku baik-baik, karena barangkali aku tak dapat lagi bertemu muka dengan kamu semua di tempat ini. Tahukah kalian semua, hari apakah ini? (Beliau menjawab sendiri) Inilah Hari Nahr, hari kurban yang suci. Tahukah kalian bulan apakah ini? Inilah bulan suci. Tahukah kalian tempat apakah ini? Inilah kota yang suci. Karena itu, aku permaklumkan kepada kalian semua bahwa darah dan nyawa kalian, harta benda kalian dan kehormatan yang satu terhadap yang lainnya haram atas kalian sampai kalian bertemu dengan Tuhan kalian kelak. Semua harus kalian sucikan sebagaimana sucinya hari ini, sebagaimana sucinya bulan ini, dan sebagaimana sucinya kota ini. Hendaklah berita ini disampaikan kepada orang-orang yang tak hadir di tempat ini oleh kamu sekalian! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Hari ini hendaklah dihapuskan segala macam bentuk riba. Barang siapa memegang amanah di tangannya, hendaklah ia bayarkan kepada yang empunya. Dan, sungguh, riba jahiliah adalah batil. Dan awal riba yang pertama sekali kuberantas adalah riba yang dilakukan pamanku sendiri, Al-‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib.
Hari ini haruslah dihapuskan semua bentuk pembalasan dendam pembunuhan jahiliah, dan penuntutan darah cara jahiliah. Yang pertama kali kuhapuskan adalah tuntutan darah ‘Amir bin Al-Harits.
Wahai manusia! Hari ini setan telah putus asa untuk dapat disembah pada bumi kalian yang suci ini. Tapi, ia bangga bila kalian dapat menaatinya walau dalam perkara yang kelihatannya kecil sekalipun. Karena itu, waspadalah kalian atasnya! Wahai manusia! Sungguh, zaman itu beredar semenjak Allah menjadikan langit dan bumi.
Wahai manusia! Sungguh, bagi kaum perempuan (istri kalian) itu ada hak-hak yang harus kalian penuhi, dan bagi kalian juga ada hak-hak yang harus dipenuhi istri itu. Yaitu, mereka tak boleh sekali-kali membawa orang lain ke tempat tidur selain kalian sendiri, dan mereka tak boleh membawa orang lain yang tak kalian sukai ke rumah kalian, kecuali setelah mendapat izin dari kalian terlebih dahulu. Karena itu, sekiranya kaum perempuan itu melanggar ketentuan-ketentuan demikian, sungguh Allah telah mengizinkan kalian untuk meninggalkan mereka, dan kalian boleh melecut ringan terhadap diri mereka yang berdosa itu. Tapi, bila mereka berhenti dan tunduk kepada kalian, menjadi kewajiban kalianlah untuk memberi nafkah dan pakaian mereka dengan sebaik-baiknya. Ingatlah, kaum hawa adalah makhluk yang lemah di samping kalian. Mereka tak berkuasa. Kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari Allah dan kalian telah halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah tentang urusan perempuan dan terimalah wasiat ini untuk memperlakukan mereka dengan baik. Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang bila kalian memeganginya erat-erat, niscaya kalian tak akan sesat selamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik apa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia untuk selamanya dalam hidup kalian!!
Wahai manusia! Kalian hendaklah mengerti bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu, bagi masing-masing pribadi di antara kalian terlarang keras mengambil harta saudaranya, kecuali dengan izin hati yang ikhlas. Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Janganlah kalian, setelah aku meninggal nanti, kembali kepada kekafiran, yang sebagian kalian mempermainkan senjata untuk menebas batang leher kawannya yang lain. Sebab, bukankah telah kutinggalkan untuk kalian pedoman yang benar, yang bila kalian mengambilnya sebagai pegangan dan lentera kehidupan kalian, tentu kalian tak akan sesat, yakni Kitab Allah (Al-Quran). Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah!
Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian itu satu, dan sesungguhnya kalian berasal dari satu bapak. Kalian semua dari Adam dan Adam terjadi dari tanah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian semua di sisi Tuhan adalah orang yang paling takwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa. Wahai umatku! Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Tuhan, saksikanlah! Karena itu, siapa saja yang hadir di antara kalian di tempat ini berkewajiban untuk menyampaikan wasiat ini kepada mereka yang tak hadir!’”
Kemudian, begitu usai melaksanakan wukuf di ‘Arafat, ketika matahari telah terbenam dan mega kuning mulai sirna, Rasulullah Saw. lantas meneruskan perjalanan hajinya dengan menaiki unta bersama Usamah bin Zaid, putra Zaid bin Haritsah. Setelah tiba di Muzdalifah, beliau melaksanakan shalat magrib dan isya dengan sekali azan dan dua kali iqamat, tanpa shalat sunnah apa pun di antara kedua shalat itu. Selepas itu, beliau berbaring sampai shubuh. Lalu, beliau melaksanakan shalat shubuh dengan sekali azan dan sekali iqamat. Usai shalat, beliau lantas naik unta beliau dan meneruskan perjalanan hingga tiba di Masy‘ar Al-Haram. Ketika tiba di sana, beliau lantas menghadap ke aras kiblat, kemudian berdoa, bertakbir, bertahlil, dan mengucapkan kalimat tauhid. Beliau tetap berada di sana hingga langit kekuning-kuningan. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan beliau sebelum matahari terbit dengan naik hewan tunggangan beliau, kali ini bersama Al-Fadhl bin Al-‘Abbas, saudara sepupunya dan putra sulung Al-‘Abbas bin ‘Abdul-Muththalib, yang memiliki rambut yang bagus dan wajah yang tampan.
Ketika Al-Fadhl bin Al-‘Abbas mulai menggerakkan unta yang ditungganginya bersama Rasulullah Saw., ada sejumlah perempuan lewat di dekat beliau. Melihat Al-Fahdl menatap mereka berlama-lama, beliau pun menutupkan tangannya pada wajah Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari mereka. Tiba-tiba salah seorang di antara perempuan itu mendekati beliau dan bertanya, “Wahai Rasul! Sesungguhnya ibadah haji yang diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya berlaku atas ayahku yang telah berusia lanjut. Namun, ia tak kuat lagi berada di atas hewan tunggangan lama-lama. Bolehkah saya beribadah haji atas nama ayah saya?”
“Ya, boleh,” jawab Rasulullah Saw.
Usai memberikan jawaban demikian, Rasulullah Saw. lantas melanjutkan perjalanan beliau. Ketika beliau sampai di tengah Lembah Muhassir, beliau mempercepat langkah-langkah unta yang dinaikinya bersama Al-Fadhl, lantas menempuh jalan tengah yang langsung menuju Jamrah ‘Aqabah. Begitu tiba di dekat jamrah tersebut, beliau lantas menambatkan untanya di sebuah pohon. Selepas itu, beliau melempar jamrah tersebut dengan tujuh buah kerikil dengan bertakbir pada setiap kali lemparan. Beliau melempar dari tengah lembah. Setelah itu, beliau menuju ke tempat penyembelihan hewan dan menyembelih enam puluh tiga hewan kurban, sesuai dengan usia beliau kala itu, dengan tangan beliau sendiri. Sisanya beliau serahkan kepada ‘Ali bin Abu Thalib, menantu tercinta beliau.
Di sisi lain, selain diikuti oleh banyak kaum Muslim, seperti telah dikemukakan di muka, Rasulullah Saw. juga disertai oleh para istri beliau. Di antara mereka adalah ‘A’isyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, satu-satunya istri beliau yang masih gadis ketika menikah dengan beliau. Dan, tak lama selepas penyembelihan hewan-hewan kurban tersebut, seseorang membawa sebagian daging hewan kurban tersebut ke hadapan para istri beliau. Melihat hal itu, ‘A’isyah pun bertanya, “Apa ini?”
“Wahai Ibunda Orang-Orang Beriman! Ini adalah daging hewan kurban yang disembelih Rasulullah Saw. atas nama istri-istri beliau,” jawab orang yang membawa daging tersebut.
Kemudian, ketika hari Idul Adha tiba dan di saat dhuha, selepas Rasulullah Saw. dan kaum Muslim usai melaksanakan wukuf di ‘Arafat dan melempar jamrah di Mina, beliau pun menyampaikan pidato kepada kaum Muslim, ada yang berdiri dan ada yang duduk, dari atas punggung bagal. Pidato tersebut ditirukan ‘Ali bin Abu Thalib dengan suara yang nyaring, “Sesungguhnya masa beredar laksana bentuknya saat langit dan bumi diciptakan. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, di antaranya empat bulan suci, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa‘dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang terletak di antara Jumada Al-Tsaniyyah dan Sya‘ban.”
Selepas berucap demikian, Rasulullah Saw. sejenak diam. Dan, beberapa saat kemudian beliau bertanya, “Bulan apakah sekarang ini?”
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak. Sehingga, mereka yang hadir kala itu mengira beliau akan memberi nama yang lain. Dan, beberapa saat kemudian, beliau berucap, “Bukankah sekarang ini bulan Dzulhijjah?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
“Negeri apakah ini?” tanya Rasulullah Saw. lebih lanjut.
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak seperti sebelumnya. Sehingga, mereka yang hadir kala itu mengira beliau akan memberi nama lain. Dan, beberapa saat kemudian, beliau berucap, “Bukankah ini negeri Haram, negeri kalian?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir, tak tahu ke mana arah ucapan Rasulullah Saw. itu.
“Hari apakah sekarang ini?” tanya Rasulullah Saw. lebih jauh.
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir.
Rasulullah Saw. kemudian diam sejenak seperti sebelumnya. Sehingga, mereka yang hadir kala itu mengira beliau akan memberi nama lain. Dan, beberapa saat kemudian, beliau berucap, “Bukankah hari ini adalah hari nahar (hari penyembelihan hewan kurban)?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir, kian tak tahu ke mana arah ucapan Rasulullah Saw. itu.
Rasulullah Saw. kemudian berucap, “Sungguh, darah, harta, dan kehormatan diri kalian adalah suci atas kalian, laksana kesucian hari ini, di negeri kalian ini, dan di bulan kalian ini. Kalian akan menghadap Tuhan. Lalu, Dia akan menyakan amal-amal kalian. Karena itu, janganlah kalian menjadi sesat sepeninggalku, hingga sebagian di antara kalian memenggal leher sebagian yang lain. Apakah aku sudah menyampaikan pesan ini?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab mereka yang hadir kala itu.
“Ya Allah, saksikanlah! Ingat, hendaklah yang hadir saat ini mengabarkan kepada yang tak hadir. Betapa banyak orang yang diberitahu lebih sadar daripada orang yang mendengarnya langsung dariku,” ucap Rasulullah Saw.
“Nabi,” komentar Tariq Ramadan dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad perihal khutbah Rasulullah Saw. itu, “benar-benar menjadi saksi bagi masyarakat spiritual Muslim. Dalam berhubungan dengan mereka, di titik pusat ibadah haji-di mana ibadah itu sendiri menuntut kesederhanaan dan keharmonisan manusia di hadapan Pencipta mereka-Rasul mengingatkan butir penting dalam pesan Tuhan: tanpa melihat ras, kelas sosial, atau jender, karena satu-satunya yang membedakan mereka adalah apa yang mereka perbuat terhadap diri, intelijensia, kualitas, dan, di atas segalanya, hati mereka. Dari mana pun asal mereka, orang Arab atau bukan; apa pun warna kulit mereka, hitam, putih atau lainnya, manusia menjadi unggul karena perhatian mereka terhadap hati, pendidikan spiritual, pengendalian diri, dan kemekaran iman, kebaikan, kemulian jiwa, dan untuk kepentingan persatuan, komitmen terhadap sesama manusia atas dasar prinsip-prinsip mereka. Di hadapan ribuan jamaah dari semua tempat dan kedudukan, budak dan pemuka suku, laki-laki dan perempuan, Nabi bersaksi bahwa beliau telah menunaikan risalahnya. Dan, semua kaum Muslim serentak bersaksi bahwa mereka telah menerima dan memahami makna dan kandungannya.”
Tak lama kemudian, beberapa jam kemudian, selepas Rasulullah Saw. menyampaikan khutbah tersebut, turunlah firman Allah, “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Islam telah Kuridhai menjadi agama bagi kalian.” (QS Al-Mâ’idah [5]: 3).
Mendengar firman Allah tersebut, ‘Umar bin Al-Khaththab pun tak kuasa menahan air matanya. Melihat hal itu, ia pun ditanya, “‘Umar! Mengapa engkau menangis? Bukankah engkau ini jarang sekali menangis?”
“Karena aku tahu, selepas kesempurnaan hanya ada kekurangan!” jawab mertua Rasulullah Saw. itu. Ia merasa, beliau akan segera kembali ke tempat pilihan beliau, rumah beliau di balik kehidupan dunia ini. Di sisi Tuhan beliau.
Thursday, September 29, 2011
Sekali Lagi: Pesan Al-Ghazali kepada Para Calon Jamaah Haji
“Ya Allah, betapa masa-Mu bergerak begitu cepat! Tidak lama lagi, para calon tamu-Mu akan segera berdatangan kembali ke Tanah Suci. Sudahkah mereka benar-benar melakukan persiapan ruhaniah, sehingga mereka benar-benar layak Engkau muliakan sebagai para tamu-Mu?”
Entah kenapa ucapan yang demikian itu membara dalam hati dan pikiran saya, tidak lama selepas seorang sahabat mengabarkan dan mengingatkan keterlibatan saya dalam pengarahan kepada para calon tamu Allah Swt. yang segera akan bertolak ke Tanah Suci Makkah dan Madinah.
Tentu kita semua tahu, berbeda dengan perjalanan wisata atau perjalanan dinas ke negara-negara lain, perjalanan untuk melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji memiliki nuansa tersendiri. Sebab, dalam perjalanan menuju Tanah Suci diperlukan persiapan ruhaniah yang mantap, di samping persiapan jasmaniah. Ini karena berbeda dengan kebanyakan ibadah lain, ibadah umrah maupun ibadah haji adalah ibadah ruhaniah yang sekaligus ibadah jasmaniah. Menyadari kabar dan pesan tersebut, entah kenapa tiba-tiba saya teringat pemaparan seorang tokoh berdarah Iran: Abu Hamid Al-Ghazali, perihal pentingnya persiapan ruhaniah bagi para calon tamu Allah Swt. di Tanah Suci.
Mengapa Al-Ghazali?
Lembaran sejarah menorehkan, tokoh yang pertama adalah seorang ulama dan pemikir terkemuka yang terkenal dengan karya besarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn itu lahir di Thus, Khurasan, pada 450 H/1058 M. Perjalanan hidupnya, dengan krisis ruhaniah yang pernah menimpa dirinya, hingga akhirnya bertolak ke Tanah Suci, menurut saya, menarik sebagai bekal bagi siapa pun yang akan melaksanakan ibadah umrah maupun ibadah haji. Pada masa kecilnya, ia menimba ilmu di bawah bimbingan Ahmad Al-Radzkani. Selepas itu, ia lantas pergi ke Jurjan dan menimba ilmu kepada Imam Abu Nashr Al-Isamili. Dari Jurjan, ia kemudian kembali ke Thus, lalu merantau ke Nishapur. Di kota terakhir itu, ia belajar kepada Abu Al-Ma‘ali Al-Juwaini, yang mendapat gelar Imâm Al-Haramain. Ia tetap mendampingi gurunya itu hingga sang guru berpulang pada 478 H/1085 M. Selepas itu, ia lantas melanjutkan kelana ilmiahnya ke Al-‘Askar.
Enam tahun kemudian, tokoh yang acap dilukiskan dengan kepala botak, berjenggot panjang, dan bermata tajam itu menapakkan kaki dan memasuki Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah. Ya, Perguruan Nizhamiyyah, sebuah perguruan terkemuka di Bagdad pada masa pertengahan. Perguruan yang satu ini dididirikan Nizham Al-Mulk, seorang perdana menteri tersohor dalam pemerintahan Dinasti Saljuq, pada 440 H/1048 M. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di lembaga pendidikan kenamaan yang menjadi model perguruan tinggi di kemudian hari dan melahirkan banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu itu.
Melalui jabatannya sebagai mahaguru, nama Al-Ghazali pun berkibar: sebagai seorang pemikir yang disegani dan ahli hukum yang dikagumi. Tidak saja di lingkungan lembaga itu. Namun, juga di kalangan pemerintahan di Bagdad. Lantas, pada 488 H/1095 M, ia meninggalkan Bagdad, dengan memberikan kesan akan pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, sejatinya, kala itu ia sedang mengalami krisis berat dalam kehidupan ruhaniahnya. Ya, krisis ruhaniah.
Tentang krisis ruhaniah yang menghajar dirinya kala itu, Al-Ghazali mengungkapkannya dengan indah sebagai berikut, “Kondisi diriku pun lantas kurenungkan. Ternyata, aku terlalu tersibukkan dengan pelbagai ikatan duniawi yang menyergap diriku dari segala penjuru. Amal-amalku pun lantas kurenungkan. Khususnya, amalku yang terbaik, yaitu mengajar. Ternyata, aku hanya menerima ilmu yang remeh dan tak berguna. Aku pun lantas merenungkan niatku dalam mengajar. Ternyata, niatku pun tak ikhlas. Malah, hanya karena terdorong keinginan untuk memburu jabatan dan menjadi tokoh tersohor. Aku pun menjadi yakin, aku nyaris mengalami kehancuran dan benar-benar tak akan terselamatkan dari neraka, andaikan aku tak meninggalkan semua hal yang remeh temeh itu.
Untuk beberapa lama, aku tak henti-hentinya merenungkan semua hal itu. Kala itu, aku masih jauh lagi dari mengambil keputusan. Terkadang, aku begitu ingin melarikan diri dari Bagdad dan meninggalkan kondisi yang ada. Namun, keinginan itu lantas mereda kembali. Lalu, kucoba untuk melangkah lagi. Tapi, aku lantas balik surut. Manakala pagi menampakkan semburatnya, aku sangat berkeinginan untuk menggapai kehidupan akhirat. Namun, begitu sang senja mulai menampakkan diri, pasukan hawa nafsu pun menghancurkan keinginan itu. Akibatnya, manakala pesona duniawi begitu kuat menahan diriku agar tetap tinggal, di kala yang sama seruan keimanan menyeru diriku agar pergi. Ya, pergi, karena usia tinggal tersisa sedikit lagi, sedangkan perjalanan masih sangat panjang membentang. Padahal, semua ilmu maupun amalku hanya untuk menonjolkan diri dan merupakan ilusi semata. Setan pun kembali muncul dan menggodaku, ‘Ah, bukankah keadaanmu yang demikian ini hanya selintas saja. Kau tentu kuasa menundukkannya. Bukankah hal itu gampang sirna?’
Aku tetap dalam keadaan ragu. Terombang-ambing di antara tarikan pesona duniawi dan seruan akhirat. Keadaanku berlangsung selama enam bulan. Akhirnya, keadaanku ini memaksaku untuk mengambil keputusan. Sebab, Allah telah mengunci kalbuku hingga tak kuasa mengajar.
Suatu hari, dengan semangat penuh, aku berusaha menyenangkan berbagai pihak. Ternyata, sepatah kata pun tak terucapkan olehku. Aku sama sekali tak kuasa mengucapkannya. Keadaan yang menimpa diriku itu lantas menimbulkan derita dalam kalbu. Hancurlah, bersamanya, kemampuanku untuk mencerna. Juga, sirna bersamanya nafsu makan maupun minum. Kala itu, setetes minuman atau sesuap makanan tak terasakan. Keadaan ini berlanjut dengan melemahnya semua daya dan kekuatan. Sehingga, para dokter pun merasa tak kuasa menyembuhkannya. Ucap mereka, ‘Keadaan ini pertama-tama menimpa kalbu. Lantas, dari situ, menjalar ke seluruh tubuh. Akibatnya, kini tiada jalan untuk menyembuhkannya, kecuali dengan perginya rahasia terpendam dalam pikiran yang menderita.’
Ketika aku menyadari ketidakmampuanku, dan seluruh kesanggupanku untuk memutuskan sirna, aku pun kembali kepada Allah laksana kembalinya orang yang tersudut dan tanpa daya.”
Untuk mengatasi krisis ruhaniah itu, Al-Ghazali akhirnya meninggalkan segala pencapaian ilmiahnya dan ketenaran namanya, yang telah ia bangun dengan kedudukannya sebagai mahaguru yang tenar dan tersohor, dan memasuki hidup berkontemplasi. Kemudian, dari bilik-bilik tertutup di masjid-masjid Damaskus, Suriah dan Bait Al-Maqdis, Palestina serta dari keheningan dan kebeningan tafakur, ia tatap dengan kritis arus pemikiran agama dominan yang, dengan meninggalkan dunia ramai, kini secara lahiriah telah ia tinggalkan pula. Tentang bagaimanana ia akhirnya berhasil mengatasi krisis itu, ia mencatat sebagai berikut, “Penyakit itu pun kian merajalela. Hampir selama dua bulan, terpepet oleh kondisi yang ada dan bukannya berdasarkan logika yang sehat, aku meniti jalur kaum sofis. Kondisi itu berlangsung hingga Allah menyembuhkan sakitku itu, hingga jiwaku pun kembali sehat dan normal kembali. Hasil daya pikir pun kembali dapat diterima dan dipercaya penuh rasa aman serta yakin.
Semua itu bukan karena adanya dalil yang teratur rapi. Juga, bukan karena adanya kata yang tersusun benar. Tapi, karena adanya cahaya yang diturunkan Allah ke dalam kalbu. Yaitu, cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan. Jelasnya, siapa pun mengira bahwa iluminasi (kasyf) hanya tergantung pada dalil-dalil semata, sejatinya ia telah mempersempit karunia Allah yang demikian luas.”
Selepas itu, barulah Al-Ghazali naik haji. Seusai melaksanakan ibadah tersebut, dari Makkah Al-Mukarramah, pada 489 H/1096 M ia merantau ke Suriah dan tinggal di Kota Damaskus. Selama menetap di kota terakhir itulah ia menyusun karya puncaknya, Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Dan, kini, bagaimanakah pesan Al-Ghazali kepada seseorang yang bermaksud melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji?
Nah, dalam Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, tokoh yang seorang ulama dan pemikir terkemuka itu dengan begitu indah mengemukakan catatan dan pesannya kepada orang yang berniat melaksanakan melaksanakan ibadah haji atau umrah ke Makkah Al-Mukarramah. Tentang persiapan ruhaniah yang perlu disiapkan seseorang yang bermaksud menunaikan kedua ibadah tersebut, dalam karya besarnya itu ia antara lain berpesan:
“Wajar, bila seseorang yang akan menapakkan kaki menuju Baitullah tak menyia-nyiakan kunjungannya. Juga, kiranya ia berharap, maksud kunjungannya adalah untuk mendapatkan anugerah pada Hari Kembali yang ditentukan atas dirinya. Yaitu, memandang wajah Allah Yang Maha Mulia di tempat ketetapan pada saat mata yang picik tak siap menerima pandangan terhadap wajah Allah Swt. Juga, tak kuasa menanggungnya serta tak bersedia berhiaskan dengannya, karena kepicikan pandangannya. Di negeri akhirat, manakala pandangan itu ditopang oleh kekekalan dan dibersihkan dari seluruh penyebab perubahan dan kebinasaan, tentu ia menjadi sedia untuk memandang dan melihat wajah-Nya.
Namun, dengan bermaksud mengunjungi Baitullah dan memandanginya, tentu ia berhak bertemu dengan Yang Memiliki Baitullah, berdasarkan hukum perjanjian yang mulia. Karena itu, tak mustahil kerinduan untuk bertemu dengan Allah Swt. juga merupakan kerinduan terhadap pelbagai penyebab pertemuan itu. Di samping itu, juga karena mencintai sesuatu akan membangkitkan kerinduan terhadap segala sesuatu yang dinisbatkan pada sesuatu yang ia cintai. Baitullah, yang dinisbatkan kepada Allah Swt., wajar bila dirindukan semata karena adanya penisbatan itu. Lebih-lebih bila untuk meraih pahala banyak yang dijanjikan.”
Tentang tekad untuk melaksanakan ibadah di Tanah Suci, baik ibadah umrah maupun ibadah haji, tokoh yang pernah menapakkan kaki dan memasuki Bagdad untuk mengajar di Perguruan Nizhamiyyah, sebuah perguruan terkemuka di Bagdad pada Masa Pertengahan itu mengemukakan, manakala seseorang telah memancangkan tekad untuk bertolak ke Tanah Suci, hal itu berarti ia telah berniat bulat akan berpisah dengan keluarga dan tempat tinggal. Juga, ia telah berniat akan meninggalkan hawa nafsu dan kesenangan serta mengarahkan diri sepenuhnya menuju Baitullah. Tokoh itu juga menyarankan, hendaknya dalam kalbu calon peziarah Tanah Suci tumbuh sikap mengagungkan kedudukan Baitullah dan kedudukan Yang Memiliki Baitullah. Demikian halnya hendaknya ia mengetahui bahwa ia telah bertekad menuju sesuatu yang tinggi kedudukannya dan penting keadaannya.
“Sejatinya, barang siapa mendambakan sesuatu yang agung, niscaya keagungan tersebut akan mekar dalam kalbunya,” demikian ucap Al-Ghazali. “Karena itu, hendaknya ia menjadikan tekadnya ikhlas sepenuhnya. Demi Allah Swt. semata dan lepas sepenuhnya dari paduan dengan sikap menonjolkan diri dan keinginan disanjung orang. Juga, hendaknya ia meyakini bahwa orang yang bermaksud beramal tak akan diterima selain dengan ikhlas karena-Nya semata. Sejatinya, sebagian dari kekejian yang paling buruk adalah pergi menuju Baitullah dan Tanah Haram, tapi maksudnya yang sejatinya adalah lain. Karena itu, hendaknya ia meluruskan tekad dalam dirinya dan membetulkannya dengan kalbu yang ikhlas. Keikhlasan bakal timbul dengan menjauhkan diri dari sikap ingin menonjolkan diri dan perasaan bangga yang membara dalam diri. Untuk itu, hendaknya ia waspada agar tak menggantikan sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk.
Sementara maksud memutuskan seluruh hubungan ialah mengembalikan seluruh hak orang lain yang diperoleh dengan secara tak sah dan bertobat dari seluruh perbuatan maksiat dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt. Sebab, setiap tindakan aniaya sejatinya senantiasa memiliki kaitan. Setiap kaitan laksana orang yang berutang yang hadir yang digantungi kain yang diikatkan di lehernya. Lalu, ia dipanggil dan ditanya, “Hendak pergi ke mana Anda? Apakah Anda bermaksud menemui Sang Maharaja? Bukankah Anda telah menyia-nyiakan perintah-Nya di tempat Anda ini, melecehkannya, dan mengabaikannya? Apakah Anda tak malu datang menghadap kepada-Nya laksana seorang hamba yang durhaka, lantas Dia menolak kedatangan Anda dan tak menerima Anda? Bila Anda menghendaki agar kunjungan Anda diterima, kembalikanlah seluruh hak orang lain dan bertobatlah kepada-Nya dari seluruh perbuatan maksiat! Lantas, putuskanlah hubungan Anda, sehingga Anda tak lagi berpaling ke belakang! Ini agar Anda dapat berhadapan dengan-Nya sepenuh hati Anda, seperti halnya ketika Anda berhadapan dengan Rumah-Nya dengan lahiriah tubuh Anda. Bila Anda tak melaksanakan hal yang demikian, pertama-tama tiada yang Anda dapatkan dari perjalanan Anda selain kepenatan dan kesengsaraan, sedangkan pada akhirnya Anda akan diusir dan ditolak.”
Lebih jauh Al-Ghazali berpesan, hendaknya orang yang akan bertolak ke Tanah Suci memutuskan hubungan dengan tempat asal, bagaikan tindakan seseorang yang memutuskan diri dari-Nya. Juga, hendaknya ia mengandaikan tak akan kembali lagi. Karena itu, hendaknya ia menuliskan wasiat kepada anak-anak dan keluarganya. Sebab, orang yang meniti perjalanan jauh sejatinya hartanya dalam bahaya, kecuali orang yang dipelihara Allah Swt. Ketika ia telah memutuskan seluruh hubungan karena perjalanan ke Tanah Suci, hendaknya ia ingat bahwa pemutusan seluruh hubungan ia lakukan karena ia hendak melakukan perjalanan ke akhirat. Ini karena perjalanan yang demikian itu tak akan lama lagi akan berada di hadapannya.
Kini, bagaimanakah sebaiknya tentang bekal bagi seseorang yang akan bertolak ke Tanah Suci?
“Hendaknya bekal itu didapat dari hal-hal yang halal,” demikian pesan Al-Ghazali. “Manakala seseorang merasa dirinya masih berupaya memperbanyak bekalnya, masih memburu bekal yang masih tersisa selama di tengah perjalanan, sedangkan sikap dan tindakannya yang demikian tak berubah dan sirna sebelum meraih sesuatu yang dimaksudkan, hendaknya ia ingat bahwa perjalanan di akhirat lebih panjang daripada perjalanan ini dan perbekalannya adalah takwa. Selain itu, sesuatu yang dikira bekal sejatinya akan ditinggalkan ketika mati dan juga akan mengkhianatinya. Karena itu, bekal itu tak akan senantiasa menyertainya, bagaikan makanan basah yang busuk pada permulaan tempat persinggahan selama di tengah perjalanan. Akibatnya, ketika saat diperlukan tiba, ia kebingungan dan memerlukan sesuatu yang menjadi berada di luar jangkauannya. Di samping itu, hendaknya ia waspada atas seluruh amal perbuatannya yang akan menjadi bekalnya ke akhirat yang tak jadi menyertainya selepas mati. Malah, dirusak oleh sikap ingin menonjolkan diri dan kekotoran kelengahan.”
Di sisi lain, tentang mengapa seseorang harus mengenakan pakaian ihram ketika ia sedang melaksanakan ibadah umrah atau ibadah haji, Al-Ghazali mengemukakan, “Hendaknya dengan hal itu mengingatkan pemakainya pada kain kafan dan ia akan dibalut dengan kain itu. Sejatinya, ketika mendekati Baitullah, ia akan terbalut dengan dua helai kain ihram itu. Tapi, perjalanannya itu bisa saja tak sempurna dan tak mustahil pula ia akan bertemu Allah Swt. dalam keadaan terbalut kain kafan itu. Karena itu, seperti halnya ia tak menjumpai Baitullah kecuali dalam keadaan yang di luar kebiasaannya, begitu pula ia hendaknya tidak akan menjumpai Allah Swt. selepas mati kecuali dalam pakaian yang berbeda dengan pakaian yang ia kenakan selama di dunia. Dan, pakaian ihram mirip pakaian kafan, karena pakaian ihram tanpa jahitan seperti halnya kain kafan…”
“Selanjutnya,” demikian tokoh yang melewatkan usia senjanya di tempat kelahirannya hingga ia menghadap Yang Maha Pencipta pada Senin, 14 Jumada Al-Tsaniyyah 505 H/19 Desember 1111 M, dengan meninggalkan banyak karya, antara lain Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, Al-Iqtishâd fî Al-I‘tiqâd, Ayyuhâ Al-Walad, Al-Munqidz min Al-Dhalâl, Maqâshid Al-Falâsifah, dan Tahâfut Al-Falâsifah, itu mengakhiri pesan indahnya, “ketika meninggalkan kampung halaman, hendaknya ia mengetahui bahwa ia kini berpisah dengan keluarga dan tempat asalnya serta menghadapkan diri kepada Allah Swt. dalam suatu perjalanan yang tiada persamaannya dengan pelbagai perjalanan di dunia. Karena itu, hendaknya ia memancangkan dalam kalbunya, dalam kaitannya dengan sesuatu yang ia kehendaki, ke mana arah yang ia akan tuju dan siapa yang akan ia ziarahi: kini ia menghadap Sang Maharaja bersama duyunan para peziarah yang mengunjungi-Nya. Mereka mendapat panggilan dan memenuhi panggilan itu, dirindukan lalu merindukan, diminta bangkit lalu bangkit dan memutuskan seluruh ikatan serta berpisah dengan seluruh manusia. Lalu, mereka menghadapkan diri ke Rumah Allah yang agung perintah-Nya, yang mahabesar keadaan-Nya, dan mahatinggi kedudukan-Nya, merasa gembira bertemu dengan Baitullah sebagai ganti bertemu dengan Yang Memilikinya hingga mereka berhasil meraih puncak cita-cita mereka dan merasa berbahagia memandang Yang Maha Menguasai mereka.”
Betapa indah pesan-pesan Al-Ghazali!(arofiusmani.blogspot.com/)
Sunday, September 25, 2011
Pengemis dan "Burung Merak Para Ulama"
“Apakah semua pengemis memang berniat mengemis? Tiadakah di antara mereka pengemis yang berhati mulia seperti seorang pengemis yang pernah membuat Al-Junaid merasa bersalah?”
Entah kenapa, pertanyaan yang demikian tiba-tiba “mencuat” dalam benak saya, tadi pagi 25 Sepetember 2011, seusai membaca sebuah tulisan tentang mafia pengemis di sebuah media elektronik. “Ah, tentu saja pengemis yang pernah membuat Al-Junaid segera melakukan introspeksi itu tidak akan pernah ada lagi,” jawab saya segera ketika menyadari pertanyaan yang muncul mendadak tersebut.
Siapakah Al-Junaid yang pernah dibikin TKO (technical knockout) oleh pengemis itu? Juga, bagaimanakah kisah antara dirinya dan si pengemis itu?
Al-Junaid, tokoh yang satu ini, tentu kini tidak banyak lagi yang mengenalnya. Mengapa? Ini karena tokoh yang mendapat gelar “Burung Merak Para Ulama”, alias Thawus Al-‘Ulama’ ini hidup pada abad ke-3 Hijriah/9 Masehi. Dengan kata lain, tokoh yang satu ini muncul sebelum kemunculan Abu Hamid Al-Ghazali, seorang sufi, pemikir, dan tokoh yang terkenal dengan karya besarnya berjudul Ihya’ ‘Ulum Al-Din. Nah, Al-Junaid yang satu ini bernama lengkap Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Khazzaz Al-Nihawandi. Putra seorang pedagang pecah belah yang berdarah Iran ini lahir di Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ibundanya adalah saudara perempuan Sari Al-Saqathi, seorang sufi terkemuka pada masa itu yang kemudian menjadi gurunya. Di samping itu, ia juga menimba ilmu kepada Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, juga seorang sufi terkemuka kala itu. Dan, ia memerdalam ilmu fikih atas mazhab Abu Tsaur, seorang sahabat Al-Syafi‘i.
Dalam tasawuf, Al-Junaid mewakili aliran moderat. Dengan kata lain, ia mewakili tasawuf para fuqahâ’ yang mendasarkan diri pada Al-Quran dan Sunnah. Di samping itu, ia juga dipandang sebagai seorang tokoh penting dalam sejarah tasawuf. Ini karena pendapat-pendapatnya yang kaya, sikapnya yang memadukan antara syariah dan hakikat, dan termasuk kelompok sufi yang tidak suka menyatakan ungkapan-ungkapan yang ganjil. Malah, ia lebih mendahulukan kesadaran ketimbang kondisi ketidaksadaran (trance) dan lebih mendahulukan kebakaan ketimbang kefanaan. Demikian halnya ia seorang guru yang terkenal dan mempunyai banyak murid yang ia ajari tasawuf serta ia tunjuki wawasan tentang kesempurnaan ilmu ataupun amal. Dan, ia juga mendirikan sebuah aliran yang terkenal dalam tasawuf yang metodanya kelak diikuti Al-Ghazali, pemikir yang sufi terkemuka, dan Al-Syadzili, pengasas Tarikat Syadziliyyah.
Menurut sufi yang berpulang kepada Sang Pencipta di Baghdad pada 298 H/909 M ini, amaliah seorang sufi harus melaksanakan tiga rukun amal. Pertama, melaksanakan secara konsisten dzikir tanpa pernah berhenti dan disertai tekad serta kesadaran penuh. Kedua, memertahankan tingkat kegairahan (wajd) yang tinggi. Ketiga, senantiasa melaksanakan syariah secara tepat dan ketat.
Nah, pada suatu hari, Al-Junaid diberi kesempatan untuk memberikan pengarahan kepada khalayak ramai di sebuah masjid di Baghdad Darussalam. Ketika ia sedang asyik berpidato dengan penuh semangat, tiba-tiba salah seorang di antara hadirin berdiri dan mulai mengemis di antara mereka. “Orang itu kok kelihatannya cukup sehat,” ucap Al-Junaid dalam hati seraya menghentikan pidatonya sejenak. “Bukankah dengan tubuh sehat demikian, ia dapat mencari nafkah. Tapi, mengapa ia mengemis dan menghinakan diri seperti itu?”
Malam harinya, ketika tidur, Al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung. “Makanlah, Al-Junaid!” sebuah suara memerintah Al-Junaid. Ketika Al-Junaid mengangkat tudung itu, terlihat olehnya si pengemis terkapar di atas piring.
“Aku tidak mau makan daging manusia,” Al-Junaid menolak seraya menundukkan kepalanya.
“Lo, bukankah itu yang kau lakukan kemarin, ketika kau berpidato di hadapan khalayak ramai?”
Al-Junaid segera menyadari, ia bersalah karena telah berbuat fitnah dalam hatinya. Karena itu, ia pantas dihukum. “Aku pun tersentak bangun dalam keadaan takut,” tutur Al-Junaid.
Segera, Al-Junaid bersuci dan melakukan shalat sunnah dua rakaat. Selepas itu, ia pergi mencari si pengemis. Ia dapatkan si pengemis sedang berdiri di tepi Sungai Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Melihat Al-Junaid mendatanginya, si pengemis lantas mengangkat kepalanya dan berucap kepada Al-Junaid, “Al-Junaid! Sudahkah kau bertobat karena telah berburuk sangka terhadap aku?”
“Sudah, saudaraku, ” jawab Al-Junaid dengan suara lirih. Malu.
“Jika demikian, pergilah dari sini. Dia-lah Yang Menerima tobat hamba-hamba-Nya. Dan, jagalah hati dan pikiranmu,” ujar si pengemis.
Sebuah pelajaran indah dari si pengemis untuk kita semua, “Jagalah hati dan pikiran kita. Kepada siapa pun!” (arofiusmani.blogspot.com/)
Thursday, September 22, 2011
Sang Marsekal dan Sang Kolonel
“Sungguh, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasib mereka sendiri.” (QS Al-Ra’d [13]: 11).
“Dilema besar bagi Barack Obama,” demikian komentar Imam Shamsi Ali dalam facebooknya tadi pagi, 22 September 2011, tentang sikap presiden Amerika Serikat perihal masalah kemerdekaan Palestina. “Kata hatinya berbisik, 'kemerdekaan' adalah hak setiap manusia dan karenanya memiliki hak penuh untuk merdeka. Pidatonya yang mengutip berkali-kali Piagam PBB menjadi bukti 'bisikan nurani' itu. Namun, sebagai politisi dia sadar bahwa masa depan politiknya juga ditentukan 'realitas' di lapangan. Dan, idealisme ternyata tertelan pahit oleh kepentingan politik. Sekaligus menjadi kenyataan bahwa mendukung kemerdekaan Palestina, mesti melalui 'grass root movement' dengan mengubah peta kekuatan politik AS. Selama kekuatan politik masih terkendalikan oleh kelompok tertentu, selama itu pula jangan harapkan sikap politisi akan berubah terhadap isu klasik ini.”
Entah kenapa, ketika membaca komentar Imam Shamsi Ali (seorang Imam muda asal Indonesia di New York, Amerika Serikat) tersebut, beberapa lama saya termenung. Termenung, karena tersadarkan, betapa persoalan “konflik antara idealisme dan realitas” tersebut begitu kerap terjadi dalam kehidupan kita. Tidak hanya dalam kehidupan politik saja, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dan, ternyata, tidak mudah “menaklukkan” realitas: tidak semudah membalikkan tangan. Diperlukan sikap teguh dan tidak mudah putus asa untuk dapat membuat realitas dapat diarahkan dan dikendalikan.
Entah kenapa pula, ketika merenung demikian, saya teringat kisah antara “sang Marsekal dan sang Kolonel”. Kisah itu mengajarkan kepada kita, betapa tidak mudah “menundukkan” realitas, karena itu diperlukan daya juang yang tidak mudah patah arang. Tidak seperti sikap sang Marsekal yang gampang tunduk pada realitas, sikap sang Kolonel jelas: tidak mau dipecundangi realitas dan terus berjuang, sehingga akhirnya ia berhasil meraih kemenangan. Nah, berikut adalah kisah antara “sang Marsekal dan sang Kolonel” tersebut:
“Saya datang untuk memeriksa pasukan ini,” ucap seorang perwira tinggi kepada seorang sahabatnya. “Saya tahu, sebenarnya kedatangan saya ini tidak Anda harapkan. Tetapi, apa yang dapat saya lakukan? Saya menerima perintah untuk memeriksa pasukan ini. Perintah itu saya patuhi, karena selama ini saya selalu patuh. Dengan cara demikian, saya berhasil meraih pangkat Marsekal.”
Sahabatnya tidak memberikan komentar apa pun. Semua orang tahu, sang Marsekal adalah orang yang selalu patuh. Tidak hanya terhadap atasannya saja, tapi juga terhadap realitas di hadapannya. Dan, tidak berapa lama kemudian, sang Marsekal diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Kini, sang Marsekal bertanggungjawab atas keamanan militer negerinya.
Pada suatu hari datang sebuah laporan, “Di Jerman kini muncul seorang tokoh baru bernama Adolf Hitler. Ia ingin membalas dendam kekalahan negerinya oleh negara kita dalam Perang Dunia I.” Menerima laporan demikian, sang Marsekal hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Jangan pedulikan omongan Hitler. Ucapannya hanya untuk konsumsi dalam negeri saja.”
Beberapa minggu kemudian datang lagi sebuah laporan: Hitler sedang menyusun kekuatan Angkatan Bersenjata Jerman dan melengkapinya dengan sederet pesawat tempur dan tank. Mendengar laporan itu, sang Marsekal tetap tidak tertarik dan berkomentar, “Pesawat terbang akan selalu jatuh ke Bumi. Sedangkan tank tidak menimbulkan bahaya apa-apa di medan pertempuran.”
Melihat sikap sang Marsekal yang demikian, seorang bawahannya yang berpangkat Kolonel tidak tahan lagi menahan perasaan sebalnya. Ucap sang Kolonel dengan menahan perasaan jengkel, “Marsekal! Pesawat tempur dan tank akan menjadi senjata andal dalam perang mendatang!” Jawab sang Marsekal, “Siapa bilang akan terjadi perang lagi? Kau tidak mengerti sedikit pun tentang perang. Kau anak yang baru lahir kemarin sore!”
Anak yang dikatakan “baru lahir kemarin sore” itu berusia 50 tahun dan bernama Charles de Gaulle. Sedangkan sang Marsekal bernama Henri Philippe Petain. Karena kepatuhan bagi sang Marsekal berarti segala-galanya, maka ia pun mengeluarkan memo supaya sang Kolonel tidak dinaikkan pangkatnya. Ternyata, Perang Dunia II kemudian benar-benar meletus. Serdadu-serdadu Hitler pun mulai memasuki kawasan Perancis. Pemerintah negara itu pun memanggil Menteri Pertahanan untuk dimintai pendapat. Nasihatnya jelas, “Kita harus tunduk kepada Hitler. Realitas lebih kuat daripada kita!”
Nasihat itu tidak aneh, karena keluar dari mulut seseorang yang selama hidupnya selalu tunduk dan patuh. Bila sebelumnya ia menyerahkan kepatuhannya kepada pribadi-pribadi, kini ia menyerahkannya pada realitas. Tiba-tiba sang Kolonel Charles de Gaulle muncul. Sejak semula ia menolak sikap menyerah terhadap realitas dan menolak patuh kepada sang Menteri Pertahanan. Ia tidak mau melaksanakan perintah atasannya itu. Dengan meninggalkan keluarganya, rumahnya, pangkatnya yang lumayan tinggi, dan kehidupannya yang cukup mapan, ia pergi ke Inggris dengan membawa kehormatan negerinya. Sedangkan sang Marsekal tetap tinggal di negerinya menghadapi realitas negerinya sedang dijarah serdadu-serdadu Hitler. Di Inggris, sang Kolonel menyatakan pemberontakannya terhadap realitas. Dari negeri itu, ia memulai perlawanan Perancis terhadap pendudukan Jerman. Sedangkan sang Marsekal, yang telah membentuk sebuah pemerintahan, segera menyatakan menyerah kepada pasukan pendudukan. Di negerinya sendiri.
Perancis pun terbelah di antara dua tokoh. Salah satunya tokoh yang memuja kepatuhan terhadap realitas. Sedangkan yang seorang lagi pembelot terhadap realitas. Yang pertama melihat apa yang ada di hadapannya sebagai realitas yang harus diterima. Yang kedua melihat perubahan atas realitas harus dimulai dengan melakukan pembelotan. Yang pertama berpandangan, nilai manusia (juga masyarakat) tidak melebihi harganya yang dinyatakan di pasar. Sementara yang kedua berpendapat, nilai manusia (juga masyarakat) dimulai dari kehendaknya, semangatnya, keyakinannya terhadap masyarakatnya, dan keteguhannya dalam memegang prinsip.
Akhirnya, menanglah prinsip atas realitas. Beberapa tahun kemudian, sang Kolonel memasuki Perancis dengan bendera kemenangan. Sedangkan kisah sang Marsekal berakhir bersama penyerahan pasukan pendudukan Jerman. Dan, lembaran sejarah menorehkan, betapa sering suatu masyarakat memerlukan sejumlah anggotanya yang mampu memukul lonceng peringatan. Yakni, peringatan terhadap bahaya sikap menerima dan menyerah terhadap realitas. Juga, terhadap sikap menolak kemungkinan dilakukannya perubahan terhadap realitas yang ada.
Bagaimana dengan sikap Anda dalam menghadapi realitas yang sedang Anda hadapi dan berlawanan dengan idealisme Anda? Silakan memilih: mau menjadi “pengikut” Sang Marsekal atau mau menjadi “pendukung kuat” Sang Kolonel!(arofiusmani.blogspot.com/)
Subscribe to:
Posts (Atom)