BERMIMPILAH DAN BERKELANALAH
"Ya Allah, ternyata tahun ini,
Engkau memberikan kesempatan kepada hamba-Mu ini untuk menengok sejumlah kota
di empat benua: Asia, Afrika, Eropa, dan Australia, dengan jarak sekitar 120
ribu kilometer," demikian gumam bibir saya seraya berdiri di pinggir
dermaga Darling Harbour, Sydney, Australia, minggu lalu (maaf, sejatinya saya
enggan menulis demikian, khawatir riya’). "Ya, Allah, hamba-Mu ini bukan
pejabat, anggota DPR, ataupun orang yang Engkau karuniai harta melimpah. Tapi,
mengapa Engkau tahun ini memberikan kesempatan kepada hamba-Mu ini menginjakkan
kaki di empat benua?"
Berkelana memang sudah mendarah
daging dalam diri saya.
Sejatinya, keinginan untuk
berkelana, alias “ngluyur”, sudah tumbuh dalam diri saya ketika saya masih
menjadi anak sekolah dasar di sebuah kota kecil di Jawa Tengah: Cepu. Meski
kota kecil, kala itu kota itu cukup lengkap dengan prasarana dan sarana publik:
kolam renang, gedung bioskop megah, lapangan sepak bola yang lengkap, perumahan
megah dan indah, dan juga taman perpustakaan rakyat. Mungkin, karena kota di
perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur itu kala itu masih menjadi tempat tinggal
bule-bule Belanda yang mengendalikan perusahaan minyak BPM (Bataafsche
Petroleum Matschappij).
Sebagai rakyat biasa dan ayah bukan
karyawan BPM (ayah adalah seorang kiai yang juga pegawai di Departemen Agama),
tentu saja saya tidak memiliki hak untuk menikmati prasarana dan sarana mewah
tersebut di atas, selain Taman Perpustakaan Rakyat yang kala itu memiliki
buku-buku bacaan yang sangat lengkap. Betapa saya kala itu mendambakan dapat
menikmati prasarana dan sarana semua itu. Namun, saya hanya dapat “menikmati”
semua prasarana dan sarana itu dari kejauhan. Tak aneh bila kerap kali rasa
cemburu saya pun membuncah melihat nonik-nonik dan sinyo-sinyo
yang sedang asyik menikmati semua prasarana dan sarana mewah tersebut.
Tidak memiliki kesempatan menikmati
prasarana dan sarana mewah di tempat kelahiran saya itu, saya pun akhirnya
menjadikan Taman Perpustakaan Rakyat sebagai pelarian. Nah, lewat buku-buku
yang tersedia di taman perpustakaan itu, termasuk karya-karya Karl May, saya
mulai mengenal pelbagai kawasan dunia. Entah kenapa, sejak itu, dalam benak
saya mulai tumbuh keinginan untuk mengelilingi dunia, meski tidak tahu caranya.
Saya pun mulai bermimpi dapat mengunjungi pelbagai kota di pelbagai penjuru
dunia. “Mimpi” itu kian membuncah ketika keluarga saya pindah ke Blora. Di kota
itu, saya memiliki seorang saudara angkat, keturunan Arab, yang memiliki buku
bacaan yang sangat lengkap satu lemari besar: komik, kisah petualangan, kisah
cowboy, dan novel. Rasanya, kala itu, saya mulai mencandu buku. Segala jenis
buku saya baca dan mimpi saya untuk berkelana kian terbentuk. Di sisi lain,
kala itu saya mulai mendalami bahasa Arab di pesantren di Kudus selama sekitar
enam tahun.
Perjalanan selanjutnya mengantarkan
saya ke Jogjakarta. Selepas empat tahun menimba ilmu dan memperdalam bahasa
Arab di Pondok Pesantren Krapyak, di samping menimba ilmu di Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga, saya kemudian pindah ke daerah Sagan. Mengapa?
Adik bungsu Ibunda saya, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang
merangkap jadi mahasiswa IAIN, mengajak saya untuk “menaklukkan dunia”.
Ucapnya, “Ayo kita taklukkan dunia. Kita kan sudah menguasai bahasa Arab.
Sekarang, sebaiknya kita menguasai bahasa Inggris. Dengan dua bahasa itu, bagaimana
jika dik Rofi’ sebaiknya pergi ke Timur Tengah dan “menaklukkan” Universitas
Al-Azhar. Sedangkan saya akan pergi ke Amerika Serikat. Saya ingin “menaklukkan”
Universitas Harvard. Kan saya saat ini, selain bahasa Arab, sudah menguasai
bahasa Perancis.”
Tentu saja tidak mudah untuk
mewujudkan mimpi dan keinginan yang melambung tinggi tersebut. Apalagi kami
berdua kala itu adalah para mahasiswa berkantong tipis. Di Sagan kami hanya
mampu tinggal di sebuah tempat kos-kosan sangat sederhana. Tanpa listrik dan
hanya memakai lampu teplok. Namun, keinginan kami untuk mendalami bahasa
Inggris tak terbendung lagi. Kami pun memilih kursus bahasa Inggris di tempat
kursus yang paling bergengsi kala itu: di Institut Keguruan dan Pendidikan
Negeri Jogjakarta.
Untuk membiayai kursus mahal tersebut,
kami berdua mulai menulis di media massa. Hasilnya lumayan: kami kian lancar
menulis dan mampu membiayai kursus bahasa Inggris yang cukup mahal kala itu.
Karena kami sangat bersemangat dalam usaha untuk menaklukkan bahasa Inggris, akibatnya
di setiap jenjang hingga jenjang terakhir, advanced level, kami dengan
bergantian menjadi juara level. Kemudian, setelah meraih gelar sarjana, Allah ternyata
memberikan kesempatan kepada saya untuk memasuki Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir. Demikian pula mimpi paman saya pun terpenuhi: ia menerima beasiswa
program pascasarjana di John F. Kennedy School, Harvard University, Amerika Serikat,
salah satu sekolah paling prestisius di negara adikuasa tersebut. Luar biasa: mimpi
kami benar-benar terwujud. Dan, lewat kelana tersebut, betapa banyak pengalaman
dan ide kreatif yang kami dapatkan.
Selepas menapakkan kaki di Kairo,
mimpi saya untuk keliling dunia kian terpicu oleh kisah-kisah petualangan.
Khususnya karya seorang wartawan terkemuka Mesir kala itu, Anis Mansur, yang
menuturkan kisah perjalanannya keliling dunia selama 200 hari. Juga, kisah
petualangan Dr. Husain Fauzi ke Amerika Serikat dan Eropa. Kisah-kisah itu, ternyata,
membangkitkan obsesi yang kuat dalam benak saya dan memicu saya untuk
memelajari bahasa Perancis selama enam tahun di Mesir.
Karena itu, selepas kembali ke Tanah
Air, hingga kini, setiap ada kesempatan, entah kenapa saya selalu ingin
berkelana ke pelbagai negara yang belum pernah saya kunjungi. Alhamdulillah,
entah kenapa pula, hingga kini Allah senantiasa memberikan kesempatan kepada
saya untuk “ngluyur”. Dan, untuk tahun ini, kesempatan itu membuat saya
mengunjungi sejumlah kota di empat benua dan menempuh jarak tidak kurang dari
120 ribu kilometer: Singapura, Kuala Lumpur, Dubai, Jeddah, Madinah, Makkah,
Istanbul, Hong Kong, Shenzen, Macao, Kairo, dan Sydney.
Mungkin di sini timbul pertanyaan:
kawasan manakah yang kini ingin saya kunjungi? Hal itu sejatinya pernah ditanyakan
putri sulung saya, “Bapak, andai Mona memiliki rezeki dan dapat mengajak Bapak
berkelana, ke kawasan mana yang ingin Bapak kunjungi?” Jawab saya pasti, “Alaska!”
Kiranya Allah Swt. memenuhi mimpi
saya, amin.