Monday, March 3, 2014

NAK, NAIKLAH KAPAL BERSAMAKU!

Menerima perintah Allah Swt. untuk menebarkan ajaran Tauhîd, Nabi Nuh a.s. pun dengan berbagai cara berusaha menyampaikan tugas utama tersebut. Namun, ternyata sebagian besar kaumnya tetap menentang keras dan membangkang terhadap ajaran mulia itu. Akibatnya, sang Nabi tidak berhasil menyadarkan mereka. Kejadian yang demikian itu dikemukakan dengan gamblang dalam ayat-ayat Al-Quran berikut, 

Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku. Sungguh, aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Ternyata, seruanku itu kian membuat mereka lari (dari kebenaran). Dan, sungguh, setiap kali aku menyeru mereka (menuju iman), agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga mereka dan menutupkan baju mereka (kemuka mereka) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian, sungguh, aku telah menyeru mereka (menuju iman) dengan cara terang-terangan (dan) kemudian sungguh aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam. Aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sungguh, Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, mengadakan untuk kalian kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai.” (QS Nûh [71]: 5-12).

Gagal. Dan, bukan hanya tidak diacuhkan dan ditolak saja. Itulah “nasib” langkah-langkah awal perjuangan yang dilakukan Nabi Nuh a.s. “Nasib” yang kelak kerap juga dialami para Nabi dan Rasul selepas dirinya, ketika mereka pertama kali menebarkan kebenaran dalam masyarakat mereka.

Selain membangkang, kaum Nabi Nuh a.s. juga gemar melecehkan sang Nabi. Tentu saja, juga terhadap para pengikutnya yang sebagian besar terdiri dari kaum papa yang terpinggirkan dari masyarakatnya kala itu. “Nuh, sejatinya engkau ini tidak lebih dari orang biasa. Ya, orang biasa tanpa kelebihan apa pun,” itulah komentar mereka atas diri sang Nabi. Malah, mereka memandang sang Nabi sebagai pembohong. Tutur Al-Quran berkenaan dengan sikap mereka terhadap diri sang Nabi, “Maka, pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya pun berkata, ‘Kami tidak melihat dirimu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami. Dan, kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang yang dusta.” (QS Hûd [11]: 27).

Dipandang sebelah mata dan dilecehkan demikian, Nabi Nuh a.s. tetap bersabar. Tentu saja, sang Nabi pun tetap berjuang dengan setulus dan sepenuh hati dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhannya. Namun, selepas berjuang dengan gigih dan penuh kesabaran, dalam masa yang tidak pendek (menurut QS Al-‘Ankabût [29]: 14 berlangsung selama ‘seribu tahun kurang lima puluh tahun), dengan pelbagai usaha dan cara, tetap saja perjuangannya mengajak masyarakatnya menuju jalan lurus menghadapi jalan buntu. Hanya sedikit di antara masyarakatnya yang bersedia mengikuti ajakannya yang luhur itu. Sebuah sumber mengemukakan, para pengikut sang Nabi kala itu dapat dihitung dengan jari. Tidak lebih dari sepuluh orang.

Malah, karena jengkel dengan ajakan itu, masyarakat Nabi Nuh a.s kala itu meminta sang Nabi untuk membuktikan kebenaran yang dia serukan. “Hai Nuh,” tantang mereka (lihat QS Hûd [11]: 32) dengan nada tinggi, “kau telah membantah kami. Demikian kerap. Karena itu, kini, coba buktikan kebenaran ucapanmu itu. Mintalah kepada Tuhanmu untuk menurunkan azab yang kerap kau ancamkan atas diri kami itu. Buktikan ucapanmu itu, bila ucapanmu itu memang benar.” 
“Wahai kaumku,” jawab Nabi Nuh a.s. yang tentu saja prihatin atas tantangan itu (QS Hûd [11]: 33). “Hanya Allah semata yang dapat menurunkan azab itu atas diri kalian. Namun, ingat, begitu azab itu diturunkan, kalian tidak akan dapat menghindarkan diri dari azab itu.”

Kian lama, kian membara penentangan dan pembangkangan mereka. Akibatnya, mereka pun kian jauh dari risalah indah yang diajarkan sang Nabi. Akhirnya, ketika penentangan dan pembangkangan mereka memuncak dan kian tidak terbendung lagi, sang Nabi pun menyerahkan sepenuhnya urusan itu kepada Sang Pemberi Risalah dan pasrah kepada-Nya. Kemudian, dengan sepenuh hati, sang Nabi pun berdoa (QS Hûd [11]: 25-27), “Tuhanku, jangan Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang yang menentang perintah-Mu itu tersisa di atas permukaan bumi-Mu ini. Sungguh, bila mereka Engkau biarkan tetap menikmati kehidupan di bumi ini, tentu mereka akan senantiasa menyesatkan hamba-hamba-Mu yang lain. Juga, mereka akan melahirkan generasi-generasi yang gemar melakukan perbuatan maksiat dan sangat menyimpang dari ajaran-Mu.”

Doa pendek, tapi diucapkan dengan sepenuh hati.

Menerima doa sepenuh hati dari seorang Nabi yang senantiasa bersyukur (QS Al-Isrâ’ [17]: 3) itu, Allah Swt. pun memerintahkan kepada sang Nabi untuk menyiapkan sebuah kapal, “Buatlah sebuah kapal, dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami. Janganlah kamu kemukakan lagi persoalan orang-orang yang zalim itu kepada-Ku. Sungguh, mereka akan ditenggelamkan.” (QS Hûd [11]: 37).

Menerima perintah demikian, Nabi Nuh a.s. pun segera menyiapkan sebuah kapal. Meski sejatinya sang Nabi pun tidak mengerti, mengapa dia diperintahkan membuat kapal. Menyaksikan “kelakuan dan perbuatan” sang Nabi yang aneh dan tidak lazim dilakukan dalam masyarakatnya, tentu saja cercaan dan malah hinaan kepada sang Nabi dan para pengikutnya kian membara. Memang, “kelakuan dan perbuatan” sang Nabi tampak aneh dan tidak lazim: membuat kapal di kawasan yang jauh dari laut, sungai, maupun danau.

Menghadapi cercaan dan hinaan yang demikian, sang Nabi tetap patuh melaksanakan perintah Tuhannya. Dan, dia hanya kuasa menjawab dengan suara pelan, “Sungguh, suatu saat, kelak, balik kami yang akan mengejek kalian. Kelak, kalian akan menyaksikan, siapa yang bakal tertimpa azab yang menghinakan. Bukan hanya itu, kalian juga akan merasakan azab yang abadi.” (QS Hûd [11]: 38-39).

Selepas kapal yang diperintahkan Allah Swt. untuk dibuat telah siap, Sang Khalik pun memenuhi janji-Nya: segera akan menurunkan azab atas diri para pembangkang pada masa Nabi Nuh a.s. Sebelumnya, Allah Swt. memerintahkan sang Nabi dan para pengikutnya untuk segera naik ke dalam kapal. Sang Nabi pun segera memerintahkan para pengikutnya, yang dapat dihitung dengan jari itu, untuk segera berkemas dan naik ke dalam kapal. Sebelum mereka naik ke dalam kapal, sang Nabi pun berpesan kepada mereka (QS Hûd [11]: 41), “Naiklah kalian semua ke dalam kapal dengan senantiasa menyebut nama Allah. Baik ketika kapal sedang berlayar maupun ketika telah berlabuh nanti. Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Senantiasa menyebut nama Allah.” Betapa indah pesan itu.

Selepas mengajak para pengikutnya untuk naik ke dalam kapal, Nabi Nuh a.s. kemudian mengajak keluarganya untuk masuk ke dalam kapal yang sama. Duh, ternyata istri dan putranya pun menolak keras ajakan itu. Betapa perih hati sang Nabi menyaksikan pembangkangan terang-terangan yang dilakukan istrinya dan putranya. Ternyata, sang istri dan sang putra lebih memilih bergabung dengan masyarakat yang menolak risalah yang ditebarkan sang Nabi, ketimbang menerima ajaran indah itu. Karena itu, Allah Swt. pun menggolongkan istri sang Nabi termasuk dalam kelompok para pembangkang, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami. Lalu, kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing). Karena itu, suaminya tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah dan (akan) dikatakan (kepada keduanya), ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (Jahannam).” (QS Al-Tahrîm [66]: 10).

Suatu pelajaran indah, lewat kisah Nabi Nuh a.s. dan istrinya, kembali diajarkan: pembangkangan terhadap ajaran mulia dapat saja berasal dari dalam keluarga sendiri.

Dengan hati yang sedih dan perih, akhirnya Nabi Nuh a.s. masuk ke dalam kapal. Kali ini dengan iringan doa (QS Al-Mu’minûn [23]: 29), “Ya Allah, Tuhanku. Tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi. Dan, sungguh, Engkau adalah Pemberi terbaik tempat itu.”

Tidak lama kemudian, langit “yang diwarnai mendung tebal” pun mulai menumpahkan hujan ke permukaan bumi. Sangat lebat dan berhari-hari tanpa henti. Sedangkan dari bumi sendiri air memancar kencang. Di mana-mana. Perpaduan antara hujan yang sangat lebat dan air yang memancar kencang di mana-mana menghasilkan banjir dahsyat disertai badai yang menggilas dan melibas segala sesuatu yang menghadang. Segera, kapal yang disiapkan Nabi Nuh a.s. dan para pengikutnya pun berlayar dengan menerjang “gelombang-gelombang yang laksana gunung” (QS Hûd [11]: 42). Banjir besar dengan gelombang-gelombang raksasa itu pun segera menenggelamkan masyarakat yang enggan diajak bersama sang Nabi menuju “jalan yang lurus”.

Ketika kapal itu sedang “sibuk” menghadapi hajaran gelombang-gelombang raksasa,  Nabi Nuh a.s. melihat putranya sedang berjuang untuk menyelamatkan dirinya. Sang putra kala itu sedang melarikan diri, dari gelombang-gelombang raksasa, menuju ke puncak sebuah gunung. Dan, ketika menyaksikan gelombang banjir kian ganas dan mendekati sang putra, hati ayah manakah yang tidak luluh meski dia seorang Nabi. Karena itu, sang Nabi pun memanggil putranya yang nyaris “digulung” air bah yang datang menyergapnya (QS Hûd [11]: 42-43), “Putraku! Naiklah ke kapal bersama ayah. Jangan kau turutkan kata hatimu sendiri.”

“Tidak! Aku dapat menyelamatkan diriku sendiri. Tanpa pertolongan ayah,” jawab sang putra. Keras kepala. Dan, dia tetap berusaha menaklukkan gelombang bah yang kian ganas menghajar dirinya.
“Nak! Naiklah ke kapal bersamaku. Aku akan memaafkanmu,” seru sang ayah. Tetap bersikap kasih kepada putranya yang membuat hatinya perih.
“Tidak! Tolong,” teriak sang putra meminta tolong. Tetapi, nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Gelombang bah melahapnya dan menghempaskannya entah ke mana.

Menyaksikan goresan nasib buruk sang putra yang malang itu, hati ayah manakah yang tidak menangis, meski dia seorang Nabi. Dia pun, kemudian, mengeluh kepada Tuhannya, “Tuhan, bukankah dia keluargaku. Bukankah Engkau akan menepati janji-Mu dan Engkau adalah Hakim Yang Paling Agung?” (QS Hûd [11]: 45).
“Bukan! Dia bukan keluargamu. Perilakunya buruk sekali. Karena itu, janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui hakikatnya. Aku peringatkan engkau supaya tidak termasuk orang-orang yang bodoh,” jawab Tuhan memperingatkan sang Nabi.
“Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu dari memohon sesuatu yang tidak aku ketahui hakikatnya,” ucap Nabi Nuh a.s. seraya memohon ampun kepada Tuhannya.

Suatu pelajaran indah diajarkan lewat kisah indah dalam sebuah peristiwa yang terjadi antara sang Nabi dengan putranya: kisah hubungan antara dua generasi yang bertolak pandangan dan gaya hidup mereka. Kisah itu memberikan pelajaran: peristiwa serupa itu dapat saja terjadi pada setiap keluarga. Seorang ayah, misalnya, ingin membantu anaknya, tapi sang anak menolak bantuan itu. Bila sang ayah seorang jenderal, sang anak tidak ingin mengikuti jejaknya. Bila sang ayah seorang pengusaha, sang anak ingin menjadi pelukis. Biasanya sang ayah ingin membantu. Namun, sang anak ingin mandiri dan menjadi pribadi yang lain serta memiliki jalan hidup sendiri tanpa mau menengok pengalaman hidup sang ayah. Hal itu dapat terjadi karena sang anak tidak mau dikatakan bahwa dia berhasil karena orang tuanya dan dia tidak layak menerima keberhasilan itu.

Kisah antara Nabi Nuh a.s. dan putranya itu juga menyajikan suatu suri teladan: sang Nabi tidak memaksakan kehendaknya kepada putranya. Dia hanya memberikan saran yang semestinya dilakukan sang putra. Meski dia tahu, sang putra tidak akan selamat. Sedangkan sang putra mempunyai kebebasan menentukan sikapnya sendiri, dengan pertanggungjawaban penuh atas tindakannya.

Kemudian, ketika banjir telah meluluhlantakkan semua orang yang menyembah selain Allah Swt., dan banjir telah surut dan badai telah mereda, Allah Swt. pun memerintahkan Nabi Nuh a.s. dan para pengikutnya turun dari kapal, untuk menikmati kehidupan baru yang sarat dengan kesejahteraan dan keberkahan dari-Nya, “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu. Dan (kelak) ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (QS Hûd [11]: 48).

Selepas turun dari kapal, Al-Quran tidak menuturkan kisah kehidupan Nabi Nuh a.s. selanjutnya. Demikian halnya, Kitab Suci itu juga tidak menuturkan apakah setelah turun dari kapal itu sang Nabi tinggal di Kota Cizre, Turki dan juga tidak menuturkan bahwa ketika berpulang (menurut sebagian sumber) sang Nabi dikebumikan di Makkah. Juga, Al-Quran tidak meneguhkan pandangan yang menyatakan bahwa setelah berpulang, sang Nabi dimakamkan di sebuah daerah di Lebanon, tepatnya di Karak, seperti dikemukakan Dominique dan Janine Sourdel dalam sebuah karya berjudul Dictionnaire historique de l’Islam.


No comments: