NAK, NAIKLAH
KAPAL BERSAMAKU!
Menerima perintah Allah Swt. untuk menebarkan
ajaran Tauhîd, Nabi Nuh a.s. pun dengan berbagai cara berusaha
menyampaikan tugas utama tersebut. Namun, ternyata sebagian besar kaumnya tetap
menentang keras dan membangkang terhadap ajaran mulia itu. Akibatnya, sang Nabi
tidak berhasil menyadarkan mereka. Kejadian yang demikian itu dikemukakan
dengan gamblang dalam ayat-ayat Al-Quran berikut,
“Nuh berkata, ‘Ya
Tuhanku. Sungguh, aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Ternyata, seruanku
itu kian membuat mereka lari (dari kebenaran). Dan, sungguh, setiap kali aku
menyeru mereka (menuju iman), agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan
anak jari mereka ke dalam telinga mereka dan menutupkan baju mereka (kemuka
mereka) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.
Kemudian, sungguh, aku telah menyeru mereka (menuju iman) dengan cara
terang-terangan (dan) kemudian sungguh aku (menyeru) mereka (lagi) dengan
terang-terangan dan dengan diam-diam. Aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu. Sungguh, Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anak
kalian, mengadakan untuk kalian kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya)
untuk kalian sungai-sungai.” (QS Nûh [71]: 5-12).
Gagal. Dan, bukan hanya tidak diacuhkan dan
ditolak saja. Itulah “nasib” langkah-langkah awal perjuangan yang dilakukan
Nabi Nuh a.s. “Nasib” yang kelak kerap juga dialami para Nabi dan Rasul
selepas dirinya, ketika mereka pertama kali menebarkan kebenaran dalam
masyarakat mereka.
Selain membangkang, kaum Nabi Nuh a.s.
juga gemar melecehkan sang Nabi. Tentu saja, juga terhadap para pengikutnya
yang sebagian besar terdiri dari kaum papa yang terpinggirkan dari
masyarakatnya kala itu. “Nuh, sejatinya engkau ini tidak lebih dari
orang biasa. Ya, orang biasa tanpa kelebihan apa pun,” itulah komentar mereka
atas diri sang Nabi. Malah, mereka memandang sang Nabi sebagai pembohong. Tutur
Al-Quran berkenaan dengan sikap mereka terhadap diri sang Nabi, “Maka,
pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya pun berkata, ‘Kami tidak melihat
dirimu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami. Dan, kami
tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina
dina di antara kami yang lekas percaya saja dan kami tidak melihat kamu
memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami. Bahkan, kami yakin bahwa kamu
adalah orang yang dusta.” (QS Hûd [11]: 27).
Dipandang sebelah mata dan dilecehkan demikian,
Nabi Nuh a.s. tetap bersabar. Tentu saja, sang Nabi pun tetap berjuang
dengan setulus dan sepenuh hati dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhannya.
Namun, selepas berjuang dengan gigih dan penuh kesabaran, dalam masa yang tidak
pendek (menurut QS Al-‘Ankabût [29]: 14 berlangsung selama ‘seribu tahun kurang
lima puluh tahun), dengan pelbagai usaha dan cara, tetap saja perjuangannya
mengajak masyarakatnya menuju jalan lurus menghadapi jalan buntu. Hanya sedikit
di antara masyarakatnya yang bersedia mengikuti ajakannya yang luhur itu.
Sebuah sumber mengemukakan, para pengikut sang Nabi kala itu dapat dihitung
dengan jari. Tidak lebih dari sepuluh orang.
Malah, karena jengkel dengan ajakan itu,
masyarakat Nabi Nuh a.s kala itu meminta sang Nabi untuk membuktikan
kebenaran yang dia serukan. “Hai Nuh,” tantang mereka (lihat QS Hûd
[11]: 32) dengan nada tinggi, “kau telah membantah kami. Demikian kerap. Karena
itu, kini, coba buktikan kebenaran ucapanmu itu. Mintalah kepada Tuhanmu untuk
menurunkan azab yang kerap kau ancamkan atas diri kami itu. Buktikan ucapanmu
itu, bila ucapanmu itu memang benar.”
“Wahai kaumku,” jawab Nabi Nuh a.s.
yang tentu saja prihatin atas tantangan itu (QS Hûd [11]: 33). “Hanya Allah
semata yang dapat menurunkan azab itu atas diri kalian. Namun, ingat, begitu
azab itu diturunkan, kalian tidak akan dapat menghindarkan diri dari azab itu.”
Kian lama, kian membara penentangan dan
pembangkangan mereka. Akibatnya, mereka pun kian jauh dari risalah indah yang
diajarkan sang Nabi. Akhirnya, ketika penentangan dan pembangkangan mereka
memuncak dan kian tidak terbendung lagi, sang Nabi pun menyerahkan sepenuhnya
urusan itu kepada Sang Pemberi Risalah dan pasrah kepada-Nya. Kemudian, dengan
sepenuh hati, sang Nabi pun berdoa (QS Hûd [11]: 25-27), “Tuhanku, jangan
Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang yang menentang perintah-Mu itu
tersisa di atas permukaan bumi-Mu ini. Sungguh, bila mereka Engkau biarkan
tetap menikmati kehidupan di bumi ini, tentu mereka akan senantiasa menyesatkan
hamba-hamba-Mu yang lain. Juga, mereka akan melahirkan generasi-generasi yang
gemar melakukan perbuatan maksiat dan sangat menyimpang dari ajaran-Mu.”
Doa pendek, tapi diucapkan dengan sepenuh
hati.
Menerima doa sepenuh hati dari seorang Nabi
yang senantiasa bersyukur (QS Al-Isrâ’ [17]: 3) itu, Allah Swt. pun
memerintahkan kepada sang Nabi untuk menyiapkan sebuah kapal, “Buatlah
sebuah kapal, dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami. Janganlah kamu
kemukakan lagi persoalan orang-orang yang zalim itu kepada-Ku. Sungguh, mereka
akan ditenggelamkan.” (QS Hûd [11]: 37).
Menerima perintah demikian, Nabi Nuh
a.s. pun segera menyiapkan sebuah kapal. Meski sejatinya sang Nabi pun tidak
mengerti, mengapa dia diperintahkan membuat kapal. Menyaksikan “kelakuan dan
perbuatan” sang Nabi yang aneh dan tidak lazim dilakukan dalam masyarakatnya,
tentu saja cercaan dan malah hinaan kepada sang Nabi dan para pengikutnya kian
membara. Memang, “kelakuan dan perbuatan” sang Nabi tampak aneh dan tidak
lazim: membuat kapal di kawasan yang jauh dari laut, sungai, maupun danau.
Menghadapi cercaan dan hinaan yang demikian,
sang Nabi tetap patuh melaksanakan perintah Tuhannya. Dan, dia hanya kuasa
menjawab dengan suara pelan, “Sungguh, suatu saat, kelak, balik kami yang
akan mengejek kalian. Kelak, kalian akan menyaksikan, siapa yang bakal tertimpa
azab yang menghinakan. Bukan hanya itu, kalian juga akan merasakan azab yang
abadi.” (QS Hûd [11]: 38-39).
Selepas kapal yang
diperintahkan Allah Swt. untuk dibuat telah siap, Sang Khalik pun memenuhi
janji-Nya: segera akan menurunkan azab atas diri para pembangkang pada masa
Nabi Nuh a.s. Sebelumnya, Allah Swt. memerintahkan sang Nabi dan para
pengikutnya untuk segera naik ke dalam kapal. Sang Nabi pun segera
memerintahkan para pengikutnya, yang dapat dihitung dengan jari itu, untuk
segera berkemas dan naik ke dalam kapal. Sebelum mereka naik ke dalam kapal,
sang Nabi pun berpesan kepada mereka (QS Hûd [11]: 41), “Naiklah kalian
semua ke dalam kapal dengan senantiasa menyebut nama Allah. Baik ketika kapal
sedang berlayar maupun ketika telah berlabuh nanti. Sungguh, Tuhanku
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
“Senantiasa menyebut
nama Allah.” Betapa indah pesan itu.
Selepas mengajak para
pengikutnya untuk naik ke dalam kapal, Nabi Nuh a.s. kemudian mengajak
keluarganya untuk masuk ke dalam kapal yang sama. Duh, ternyata istri dan
putranya pun menolak keras ajakan itu. Betapa perih hati sang Nabi menyaksikan
pembangkangan terang-terangan yang dilakukan istrinya dan putranya. Ternyata,
sang istri dan sang putra lebih memilih bergabung dengan masyarakat yang
menolak risalah yang ditebarkan sang Nabi, ketimbang menerima ajaran indah itu.
Karena itu, Allah Swt. pun menggolongkan istri sang Nabi termasuk dalam
kelompok para pembangkang, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth
sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan
dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami. Lalu, kedua istri itu
berkhianat kepada suaminya (masing-masing). Karena itu, suaminya tidak dapat
membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah dan (akan) dikatakan (kepada
keduanya), ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk
(Jahannam).” (QS Al-Tahrîm [66]: 10).
Suatu pelajaran
indah, lewat kisah Nabi Nuh a.s. dan istrinya, kembali diajarkan:
pembangkangan terhadap ajaran mulia dapat saja berasal dari dalam keluarga
sendiri.
Dengan hati yang
sedih dan perih, akhirnya Nabi Nuh a.s. masuk ke dalam kapal. Kali ini
dengan iringan doa (QS Al-Mu’minûn [23]: 29), “Ya Allah, Tuhanku. Tempatkanlah
aku di tempat yang diberkahi. Dan, sungguh, Engkau adalah Pemberi terbaik
tempat itu.”
Tidak lama kemudian,
langit “yang diwarnai mendung tebal” pun mulai menumpahkan hujan ke permukaan
bumi. Sangat lebat dan berhari-hari tanpa henti. Sedangkan dari bumi sendiri
air memancar kencang. Di mana-mana. Perpaduan antara hujan yang sangat lebat
dan air yang memancar kencang di mana-mana menghasilkan banjir dahsyat disertai
badai yang menggilas dan melibas segala sesuatu yang menghadang. Segera, kapal
yang disiapkan Nabi Nuh a.s. dan para pengikutnya pun berlayar dengan
menerjang “gelombang-gelombang yang laksana gunung” (QS Hûd [11]: 42). Banjir
besar dengan gelombang-gelombang raksasa itu pun segera menenggelamkan
masyarakat yang enggan diajak bersama sang Nabi menuju “jalan yang lurus”.
Ketika kapal itu
sedang “sibuk” menghadapi hajaran gelombang-gelombang raksasa, Nabi Nuh a.s. melihat putranya sedang
berjuang untuk menyelamatkan dirinya. Sang putra kala itu sedang melarikan
diri, dari gelombang-gelombang raksasa, menuju ke puncak sebuah gunung. Dan,
ketika menyaksikan gelombang banjir kian ganas dan mendekati sang putra, hati
ayah manakah yang tidak luluh meski dia seorang Nabi. Karena itu, sang Nabi pun
memanggil putranya yang nyaris “digulung” air bah yang datang menyergapnya (QS
Hûd [11]: 42-43), “Putraku! Naiklah ke kapal bersama ayah. Jangan kau turutkan
kata hatimu sendiri.”
“Tidak! Aku dapat
menyelamatkan diriku sendiri. Tanpa pertolongan ayah,” jawab sang putra. Keras
kepala. Dan, dia tetap berusaha menaklukkan gelombang bah yang kian ganas
menghajar dirinya.
“Nak! Naiklah ke
kapal bersamaku. Aku akan memaafkanmu,” seru sang ayah. Tetap bersikap kasih
kepada putranya yang membuat hatinya perih.
“Tidak! Tolong,”
teriak sang putra meminta tolong. Tetapi, nyawanya tidak dapat diselamatkan
lagi. Gelombang bah melahapnya dan menghempaskannya entah ke mana.
Menyaksikan goresan
nasib buruk sang putra yang malang itu, hati ayah manakah yang tidak menangis,
meski dia seorang Nabi. Dia pun, kemudian, mengeluh kepada Tuhannya, “Tuhan,
bukankah dia keluargaku. Bukankah Engkau akan menepati janji-Mu dan Engkau
adalah Hakim Yang Paling Agung?” (QS Hûd [11]: 45).
“Bukan! Dia bukan
keluargamu. Perilakunya buruk sekali. Karena itu, janganlah engkau memohon
kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui hakikatnya. Aku peringatkan engkau
supaya tidak termasuk orang-orang yang bodoh,” jawab Tuhan memperingatkan sang
Nabi.
“Tuhan, aku
berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu dari memohon sesuatu yang tidak aku
ketahui hakikatnya,” ucap Nabi Nuh a.s. seraya memohon ampun kepada
Tuhannya.
Suatu pelajaran indah
diajarkan lewat kisah indah dalam sebuah peristiwa yang terjadi antara sang
Nabi dengan putranya: kisah hubungan antara dua generasi yang bertolak
pandangan dan gaya hidup mereka. Kisah itu memberikan pelajaran: peristiwa
serupa itu dapat saja terjadi pada setiap keluarga. Seorang ayah, misalnya,
ingin membantu anaknya, tapi sang anak menolak bantuan itu. Bila sang ayah
seorang jenderal, sang anak tidak ingin mengikuti jejaknya. Bila sang ayah
seorang pengusaha, sang anak ingin menjadi pelukis. Biasanya sang ayah ingin
membantu. Namun, sang anak ingin mandiri dan menjadi pribadi yang lain serta
memiliki jalan hidup sendiri tanpa mau menengok pengalaman hidup sang ayah. Hal
itu dapat terjadi karena sang anak tidak mau dikatakan bahwa dia berhasil
karena orang tuanya dan dia tidak layak menerima keberhasilan itu.
Kisah antara Nabi Nuh
a.s. dan putranya itu juga menyajikan suatu suri teladan: sang Nabi tidak
memaksakan kehendaknya kepada putranya. Dia hanya memberikan saran yang
semestinya dilakukan sang putra. Meski dia tahu, sang putra tidak akan selamat.
Sedangkan sang putra mempunyai kebebasan menentukan sikapnya sendiri, dengan pertanggungjawaban
penuh atas tindakannya.
Kemudian, ketika
banjir telah meluluhlantakkan semua orang yang menyembah selain Allah Swt., dan
banjir telah surut dan badai telah mereda, Allah Swt. pun memerintahkan Nabi Nuh
a.s. dan para pengikutnya turun dari kapal, untuk menikmati kehidupan baru yang
sarat dengan kesejahteraan dan keberkahan dari-Nya, “Hai Nuh,
turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan
atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu. Dan (kelak) ada
(pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan
dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (QS Hûd
[11]: 48).
Selepas turun dari
kapal, Al-Quran tidak menuturkan kisah kehidupan Nabi Nuh a.s. selanjutnya.
Demikian halnya, Kitab Suci itu juga tidak menuturkan apakah setelah turun dari
kapal itu sang Nabi tinggal di Kota Cizre, Turki dan juga tidak menuturkan
bahwa ketika berpulang (menurut sebagian sumber) sang Nabi dikebumikan di
Makkah. Juga, Al-Quran tidak meneguhkan pandangan yang menyatakan bahwa setelah
berpulang, sang Nabi dimakamkan di sebuah daerah di Lebanon, tepatnya di Karak,
seperti dikemukakan Dominique dan Janine Sourdel dalam sebuah karya berjudul Dictionnaire
historique de l’Islam.
No comments:
Post a Comment