Selepas beristirahat sekitar lima jam di Kuwait International Airport, saya dan istri tercinta dengan langkah agak berat dan mata sangat mengantuk menuju gate 1 bandara tersebut untuk meneruskan perjalanan ke Mesir. Hari di jam tangan saya masih menampilkan tanggal 22 Maret 2007. Begitu masuk ke bording lounge yang terletak di lantai dua bandara yang tidak terlalu besar tersebut, “warna” para penumpang kali ini lebih banyak didominasi oleh para warga Mesir di perantauan. Wajah dan bahasa harian khas mereka segera membuat saya seakan tersadar dari mimpi bahwa saya tidak lagi berada di negeri tercinta: Indonesia. Saya dan istri pun menjadi kelompok minoritas di antara kelompok mayoritas warga Mesir dan Arab. Ini berbeda dengan pesawat terbang Kuwait Airways dengan no penerbangan KU 416 yang kami naiki sebelumnya yang lebih didominasi oleh para tenaga kerja wanita Indonesia.
Tepat jam 14.00 waktu Kuwait City, pesawat terbang Airbus-300 dengan no penerbangan KU 541 itu pun meninggalkan bumi Kuwait menuju ke arah Mesir. Perjalanan sekitar dua jam antara Kuwait-Kairo pun kami manfaatkan untuk memejamkan mata yang terasa sangat berat. Dan, ketika setengah jam menjelang pesawat buatan Eropa tersebut hendak mendarat di Cairo International Airport, kami pun menikmati pemandangan yang agak menyilaukan mata: padang pasir membentang luas seakan tiada akhir. Namun, ketika pesawat terbang tersebut semakin mendekati Kairo, kehijauan di sepanjang Sungai Nil tampak mulai mewarnai bumi di bawah pesawat. Sayang, di sana-sini terdapat cerobong-cerobong yang memuntahkan asap pekat.
Sekitar jam 15.45 pesawat terbang Kuwait Airways tersebut menjejakkan kaki di bumi Kota Seribu Menara. Hati saya pun teraduk-aduk begitu menapakkan kaki di bandara yang telah 12 tahun tidak pernah saya kunjungi. Perasaan bahagia, gembira, dan ingin segera menatap kota yang banyak meninggalkan kenangan khusus bagi saya itu bercampur aduk menjadi satu. Keasyikan melamun membuat saya tidak menyadari, ketika kami sedang melangkah menuju konter imigrasi Mesir, ada seseorang berwajah Mesir mendekati kami dan kemudian menyapa istri saya dengan ramah dan santun, “Madame! I am from the Indonesian Embassy. My name is Hafiz!”
Istri saya pun berpaling ke arah saya yang termenung mendengar ucapan Mr Hafiz tersebut. Beberapa saat saya kebingungan, kenapa ada seseorang menjemput kami di “wilayah khusus” tersebut. Kami toh bukan pejabat, apalagi pejabat penting Indonesia, yang mengharapkan penjemputan. Kami hanyalah datang untuk menghadiri Pan Arab Conference on Diabetes dan beberapa hari berkunjung ke negeri yang memiliki warisan budaya kaya berusia ribuan tahun itu serta memburu “harta karun” di negeri ini: buku. Ketika urusan imigrasi dan bagasi beres, kami pun melangkah menuju pintu keluar. Seraya melangkah lebar, Mr. Hafiz menjelaskan kepada kami bahwa Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, memerintahkannya menjemput dan mengurus kami. Dan, begitu tiba di pintu keluar, ternyata kami telah ditunggu Mas Anwar, staf KBRI, dan Mas Muhyiddin, seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar. Mereka telah beberapa lama menanti kedatangan kami.“Masya Allah, kenapa harus dijemput segala begini,” ucap saya memrotes seraya menaiki mobil mercy berplat CD milik KBRI Kairo. Saya dan istri tercinta sejatinya termasuk orang-orang yang tidak suka penghormatan yang demikian.
Mas Anwar kemudian menjelaskan, mereka datang menjemput karena tahu kedatangan kami lewat email yang saya kirimkan kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan yang memberitahukan kedatangan kami. Segera saya teringat email yang saya kirimkan beberapa hari sebelumnya. Email tersebut sejatinya hanya berisi pemberitahuan (saja) yang mengabarkan rencana kedatangan kami dan saya tidak meminta penjemputan. Merupakan kebiasaan saya, setiap kali saya mau ke Kairo, saya senantiasa memberitahu pihak KBRI Kairo. Ini adalah keistimewaan dan pengistimewaan yang saya berikan kepada KBRI Kairo. Entah kenapa, setiap kali hendak ke Kairo, saya merasa KBRI adalah “orang tua” saya. Dan, hal ini hanya saya lakukan terhadap KBRI Kairo saja. Meski telah mengunjungi banyak negara, saya tidak pernah melakukan hal yang sama terhadap KBRI di negara-negara lain.
Sejatinya, saya senantiasa merasa ada ikatan khusus antara diri saya dengan KBRI Kairo. Ini karena pelbagai hal. Pertama, KBRI Kairo adalah “rumah” pertama yang menyambut saya ketika pertama kali saya datang ke kota itu pada 12 Desember 1978 (lihat tulisan saya di blog ini dengan judul Fasîru fi Al-Ardh). Kedua, KBRI ini, selama sekitar enam tahun, antara 1978-1984, menjadi salah satu tempat perburuan ilmu yang saya lakukan karena perpustakaan yang dimilikinya. Entah berapa banyak buku yang dimiliki perpustakaan KBRI ini yang telah saya baca. Ketiga, inilah tempat yang menjadi salah satu obat ketika saya saat itu sedang diterpa home-sick berat. Dengan datang ke KBRI ini, kala itu, entah mengapa perasaan rindu keluarga dan Tanah Air terobati. Keempat, pihak KBRI Kairo, pada Januari 1995, telah membebaskan saya yang bermaksud menghadiri Cairo International Bookfair dari “penjara karantina selama tiga hari” di Cairo International Airport akibat kesalahan prosedur visa.
Apa pun halnya, atas penghormatan yang diberikan kepada kami tersebut, kami dengan hati yang tulus mengucapkan banyak terima kasih kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., dan Ibu khususnya, juga kepada Mr. Hafiz, Mas Anwar, dan Mas Oyik. Jazâkumullâh Ahsanal Jazâ’!
Tepat jam 14.00 waktu Kuwait City, pesawat terbang Airbus-300 dengan no penerbangan KU 541 itu pun meninggalkan bumi Kuwait menuju ke arah Mesir. Perjalanan sekitar dua jam antara Kuwait-Kairo pun kami manfaatkan untuk memejamkan mata yang terasa sangat berat. Dan, ketika setengah jam menjelang pesawat buatan Eropa tersebut hendak mendarat di Cairo International Airport, kami pun menikmati pemandangan yang agak menyilaukan mata: padang pasir membentang luas seakan tiada akhir. Namun, ketika pesawat terbang tersebut semakin mendekati Kairo, kehijauan di sepanjang Sungai Nil tampak mulai mewarnai bumi di bawah pesawat. Sayang, di sana-sini terdapat cerobong-cerobong yang memuntahkan asap pekat.
Sekitar jam 15.45 pesawat terbang Kuwait Airways tersebut menjejakkan kaki di bumi Kota Seribu Menara. Hati saya pun teraduk-aduk begitu menapakkan kaki di bandara yang telah 12 tahun tidak pernah saya kunjungi. Perasaan bahagia, gembira, dan ingin segera menatap kota yang banyak meninggalkan kenangan khusus bagi saya itu bercampur aduk menjadi satu. Keasyikan melamun membuat saya tidak menyadari, ketika kami sedang melangkah menuju konter imigrasi Mesir, ada seseorang berwajah Mesir mendekati kami dan kemudian menyapa istri saya dengan ramah dan santun, “Madame! I am from the Indonesian Embassy. My name is Hafiz!”
Istri saya pun berpaling ke arah saya yang termenung mendengar ucapan Mr Hafiz tersebut. Beberapa saat saya kebingungan, kenapa ada seseorang menjemput kami di “wilayah khusus” tersebut. Kami toh bukan pejabat, apalagi pejabat penting Indonesia, yang mengharapkan penjemputan. Kami hanyalah datang untuk menghadiri Pan Arab Conference on Diabetes dan beberapa hari berkunjung ke negeri yang memiliki warisan budaya kaya berusia ribuan tahun itu serta memburu “harta karun” di negeri ini: buku. Ketika urusan imigrasi dan bagasi beres, kami pun melangkah menuju pintu keluar. Seraya melangkah lebar, Mr. Hafiz menjelaskan kepada kami bahwa Bapak Drs. Slamet Sholeh M.Ed., Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, memerintahkannya menjemput dan mengurus kami. Dan, begitu tiba di pintu keluar, ternyata kami telah ditunggu Mas Anwar, staf KBRI, dan Mas Muhyiddin, seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar. Mereka telah beberapa lama menanti kedatangan kami.“Masya Allah, kenapa harus dijemput segala begini,” ucap saya memrotes seraya menaiki mobil mercy berplat CD milik KBRI Kairo. Saya dan istri tercinta sejatinya termasuk orang-orang yang tidak suka penghormatan yang demikian.
Mas Anwar kemudian menjelaskan, mereka datang menjemput karena tahu kedatangan kami lewat email yang saya kirimkan kepada Atase Pendidikan dan Kebudayaan yang memberitahukan kedatangan kami. Segera saya teringat email yang saya kirimkan beberapa hari sebelumnya. Email tersebut sejatinya hanya berisi pemberitahuan (saja) yang mengabarkan rencana kedatangan kami dan saya tidak meminta penjemputan. Merupakan kebiasaan saya, setiap kali saya mau ke Kairo, saya senantiasa memberitahu pihak KBRI Kairo. Ini adalah keistimewaan dan pengistimewaan yang saya berikan kepada KBRI Kairo. Entah kenapa, setiap kali hendak ke Kairo, saya merasa KBRI adalah “orang tua” saya. Dan, hal ini hanya saya lakukan terhadap KBRI Kairo saja. Meski telah mengunjungi banyak negara, saya tidak pernah melakukan hal yang sama terhadap KBRI di negara-negara lain.
Sejatinya, saya senantiasa merasa ada ikatan khusus antara diri saya dengan KBRI Kairo. Ini karena pelbagai hal. Pertama, KBRI Kairo adalah “rumah” pertama yang menyambut saya ketika pertama kali saya datang ke kota itu pada 12 Desember 1978 (lihat tulisan saya di blog ini dengan judul Fasîru fi Al-Ardh). Kedua, KBRI ini, selama sekitar enam tahun, antara 1978-1984, menjadi salah satu tempat perburuan ilmu yang saya lakukan karena perpustakaan yang dimilikinya. Entah berapa banyak buku yang dimiliki perpustakaan KBRI ini yang telah saya baca. Ketiga, inilah tempat yang menjadi salah satu obat ketika saya saat itu sedang diterpa home-sick berat. Dengan datang ke KBRI ini, kala itu, entah mengapa perasaan rindu keluarga dan Tanah Air terobati. Keempat, pihak KBRI Kairo, pada Januari 1995, telah membebaskan saya yang bermaksud menghadiri Cairo International Bookfair dari “penjara karantina selama tiga hari” di Cairo International Airport akibat kesalahan prosedur visa.
No comments:
Post a Comment