Dari nisbat “Al-Mursi”, kita sebenarnya dengan segera dapat tahu, sufi itu tentu ada kaitannya dengan Kota Murcia, sebuah kota di Andalusia (dh Spanyol). Memang, sufi yang satu ini lahir di kota yang terletak di Semenanjung Iberia tersebut. Meski tahun kelahirannya tidak jelas, tapi jika melihat perjalanan hidupnya yang pernah bersama pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili, dengan mudah ditebak sang sufi hidup ketika tanah kelahirannya mulai tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal selamanya. Suasana Andalusia kala itu mulai mengkhawatirkan bagi kaum Muslim Andalusia kala itu. Mengapa demikian? Ini karena pada 634 H/1236 M Kota Cordoba, dan pada 646 H/1248 M Kota Sevilla, jatuh ke tangan pasukan Kristen serta tinggal Granada yang masih bertahan hingga 898 H/1492 M. Dari sini dapat dimengerti pula bila selepas meninggalkan negeri kelahirannya Abu Al-‘Abbas Al-Mursi tak pernah kembali ke negerinya.
Bagaimana kisah hidup sang sufi asal Andalusia ini akhirnya memilih Kota Alexandria sebagai tempat dia menyebarluaskan ajaran-ajaran tarikat yang dianutnya? Setelah menimba ilmu di Andalusia, sufi yang satu ini lantas menapakkan kakinya ke Ceuta. Langkah-langkahnya selanjutnya mengantarkannya ke Tunisia. Di situlah ia bertemu dengan pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili. Mereka berdua selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Kairo dan Alexandria. Di kota terakhir inilah mereka menetap. Pada 656 H/1258 M guru dan murid ini bertolak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dengan melintasi Gurun ‘Aidzab. Ketika mereka berada di suatu tempat bernama Humaitsarah, sang guru jatuh sakit dan berpulang ke hadirat Allah. Sebelum meninggal dunia, sang guru berpesan kepada murid-muridnya bahwa ia menunjukkan Al-Mursi sebagai penggantinya dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Tarikat Al-Syadziliyyah.
Al-Mursi, selain sebagai seorang sufi, juga seorang ahli hukum Islam. Tak aneh bila ia mengikuti jejak sang guru dalam persyaratan penerimaan para murid. Dalam hal ini para calon murid disyaratkan harus benar-benar menguasai ilmu syariah Islam, sebelum mereka diperkenankan meniti jalan para sufi. Demikian halnya, seperti halnya Al-Syadzili, sufi yang menghadap Allah di Kota Alexandria pada 686 H/1287 M, di masa pemerintahan Sultan Qalawun, ini juga tidak meninggalkan karya tulis. Para murid merekalah yang mencatat dan menyusun ajaran-ajaran mereka berdua.
No comments:
Post a Comment