“Semakin cantik saja masjid ini,” gumam saya begitu mobil yang kini dikendarai Mas Norman Muttaqin, menggantikan Mas Oyik, parkir di depan sebuah masjid megah dan cantik di tengah-tengah Kota Alexandria. Bentuk kota yang satu ini, lebih mudahnya, dapat dikatakan seperti bentuk lengkung hurup D besar. Di ujung atas hurup itu terdapat Istana Montazah, sedangkan di ujung bawah hurup D terdapat Benteng Qait Bey. Kota Alexandria sendiri berbentuk melengkung, dengan beberapa penanda utama di tengah-tengahnya, antara lain masjid yang sedang kami kunjungi ini: Masjid Abu Al-‘Abbas Al-Mursi. Sebenarnya, nama lengkap sang sufi yang menjadi nama masjid tersebut adalah Syihab Al-Din Abu Al-‘Abbas Ahmad bin ‘Umar bin Muhammad Al-Mursi.
Dari nisbat “Al-Mursi”, kita sebenarnya dengan segera dapat tahu, sufi itu tentu ada kaitannya dengan Kota Murcia, sebuah kota di Andalusia (dh Spanyol). Memang, sufi yang satu ini lahir di kota yang terletak di Semenanjung Iberia tersebut. Meski tahun kelahirannya tidak jelas, tapi jika melihat perjalanan hidupnya yang pernah bersama pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili, dengan mudah ditebak sang sufi hidup ketika tanah kelahirannya mulai tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal selamanya. Suasana Andalusia kala itu mulai mengkhawatirkan bagi kaum Muslim Andalusia kala itu. Mengapa demikian? Ini karena pada 634 H/1236 M Kota Cordoba, dan pada 646 H/1248 M Kota Sevilla, jatuh ke tangan pasukan Kristen serta tinggal Granada yang masih bertahan hingga 898 H/1492 M. Dari sini dapat dimengerti pula bila selepas meninggalkan negeri kelahirannya Abu Al-‘Abbas Al-Mursi tak pernah kembali ke negerinya.
Bagaimana kisah hidup sang sufi asal Andalusia ini akhirnya memilih Kota Alexandria sebagai tempat dia menyebarluaskan ajaran-ajaran tarikat yang dianutnya? Setelah menimba ilmu di Andalusia, sufi yang satu ini lantas menapakkan kakinya ke Ceuta. Langkah-langkahnya selanjutnya mengantarkannya ke Tunisia. Di situlah ia bertemu dengan pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili. Mereka berdua selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Kairo dan Alexandria. Di kota terakhir inilah mereka menetap. Pada 656 H/1258 M guru dan murid ini bertolak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dengan melintasi Gurun ‘Aidzab. Ketika mereka berada di suatu tempat bernama Humaitsarah, sang guru jatuh sakit dan berpulang ke hadirat Allah. Sebelum meninggal dunia, sang guru berpesan kepada murid-muridnya bahwa ia menunjukkan Al-Mursi sebagai penggantinya dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Tarikat Al-Syadziliyyah.
Al-Mursi, selain sebagai seorang sufi, juga seorang ahli hukum Islam. Tak aneh bila ia mengikuti jejak sang guru dalam persyaratan penerimaan para murid. Dalam hal ini para calon murid disyaratkan harus benar-benar menguasai ilmu syariah Islam, sebelum mereka diperkenankan meniti jalan para sufi. Demikian halnya, seperti halnya Al-Syadzili, sufi yang menghadap Allah di Kota Alexandria pada 686 H/1287 M, di masa pemerintahan Sultan Qalawun, ini juga tidak meninggalkan karya tulis. Para murid merekalah yang mencatat dan menyusun ajaran-ajaran mereka berdua.
Memandangi masjid megah dan indah yang satu ini (sayang kebersihan lingkungannya kurang diperhatikan), “indra keenam” saya segera menyatakan, para pengikut Tarikat Syadziliyyah masih aktif hingga dewasa ini. “Sayang, saya tidak banyak memiliki data (bila di antara para pembaca ada yang memiliki data sejarah masjid ini, saya akan sangat berterimakasih bila data tersebut dapat diemailkan ke saya) tentang sejarah masjid ini,” gumam saya memandangi masjid yang banyak dikunjungi orang itu, selain kami, termasuk dua pramugari asal Indonesia yang bekerja di Saudi Airlines. Namun, dari pandangan sekilas terhadap masjid tersebut, dapat dikatakan masjid ini memiliki gaya arsitektural seperti halnya kebanyakan masjid-masjid yang banyak bertebaran di Mesir. Bagaimana gaya arsitektural masjid-masjid ala Mesir? Insya Allah akan saya hadirkan dalam tulisan berikut di blog ini.
Dari nisbat “Al-Mursi”, kita sebenarnya dengan segera dapat tahu, sufi itu tentu ada kaitannya dengan Kota Murcia, sebuah kota di Andalusia (dh Spanyol). Memang, sufi yang satu ini lahir di kota yang terletak di Semenanjung Iberia tersebut. Meski tahun kelahirannya tidak jelas, tapi jika melihat perjalanan hidupnya yang pernah bersama pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili, dengan mudah ditebak sang sufi hidup ketika tanah kelahirannya mulai tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal selamanya. Suasana Andalusia kala itu mulai mengkhawatirkan bagi kaum Muslim Andalusia kala itu. Mengapa demikian? Ini karena pada 634 H/1236 M Kota Cordoba, dan pada 646 H/1248 M Kota Sevilla, jatuh ke tangan pasukan Kristen serta tinggal Granada yang masih bertahan hingga 898 H/1492 M. Dari sini dapat dimengerti pula bila selepas meninggalkan negeri kelahirannya Abu Al-‘Abbas Al-Mursi tak pernah kembali ke negerinya.
Bagaimana kisah hidup sang sufi asal Andalusia ini akhirnya memilih Kota Alexandria sebagai tempat dia menyebarluaskan ajaran-ajaran tarikat yang dianutnya? Setelah menimba ilmu di Andalusia, sufi yang satu ini lantas menapakkan kakinya ke Ceuta. Langkah-langkahnya selanjutnya mengantarkannya ke Tunisia. Di situlah ia bertemu dengan pendiri Tarikat Syadziliyyah, Abu Al-Hasan Al-Syadzili. Mereka berdua selanjutnya meneruskan perjalanan menuju Kairo dan Alexandria. Di kota terakhir inilah mereka menetap. Pada 656 H/1258 M guru dan murid ini bertolak ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dengan melintasi Gurun ‘Aidzab. Ketika mereka berada di suatu tempat bernama Humaitsarah, sang guru jatuh sakit dan berpulang ke hadirat Allah. Sebelum meninggal dunia, sang guru berpesan kepada murid-muridnya bahwa ia menunjukkan Al-Mursi sebagai penggantinya dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Tarikat Al-Syadziliyyah.
Al-Mursi, selain sebagai seorang sufi, juga seorang ahli hukum Islam. Tak aneh bila ia mengikuti jejak sang guru dalam persyaratan penerimaan para murid. Dalam hal ini para calon murid disyaratkan harus benar-benar menguasai ilmu syariah Islam, sebelum mereka diperkenankan meniti jalan para sufi. Demikian halnya, seperti halnya Al-Syadzili, sufi yang menghadap Allah di Kota Alexandria pada 686 H/1287 M, di masa pemerintahan Sultan Qalawun, ini juga tidak meninggalkan karya tulis. Para murid merekalah yang mencatat dan menyusun ajaran-ajaran mereka berdua.
Memandangi masjid megah dan indah yang satu ini (sayang kebersihan lingkungannya kurang diperhatikan), “indra keenam” saya segera menyatakan, para pengikut Tarikat Syadziliyyah masih aktif hingga dewasa ini. “Sayang, saya tidak banyak memiliki data (bila di antara para pembaca ada yang memiliki data sejarah masjid ini, saya akan sangat berterimakasih bila data tersebut dapat diemailkan ke saya) tentang sejarah masjid ini,” gumam saya memandangi masjid yang banyak dikunjungi orang itu, selain kami, termasuk dua pramugari asal Indonesia yang bekerja di Saudi Airlines. Namun, dari pandangan sekilas terhadap masjid tersebut, dapat dikatakan masjid ini memiliki gaya arsitektural seperti halnya kebanyakan masjid-masjid yang banyak bertebaran di Mesir. Bagaimana gaya arsitektural masjid-masjid ala Mesir? Insya Allah akan saya hadirkan dalam tulisan berikut di blog ini.
No comments:
Post a Comment