Saturday, April 7, 2007

TKW Indonesia dan Ibn Khaldun

Sang waktu kala itu menunjukkan pukul 01.30 waktu Indonesia barat, sedangkan tanggal di jam tangan saya menunjukkan tanggal 22 Maret 2007. Dengan mata yang agak terkantuk-kantuk, saya dan istri tercinta dengan langkah pelan menuju gate 3 Bandara Sukarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Tidak lama kemudian para penumpang pesawat terbang Kuwait Airways dengan no penerbangan KU 416 dengan tujuan Kuwait segera dipersilakan masuk ke dalam pesawat terbang. Begitu berada di dalam perut pesawat terbang, di kelas ekonomi tentu saja, ternyata hanya saya dan beberapa pria lain yang berjenis kelamin pria. Sedangkan para penumpang lainnya berjenis perempuan. Dapat dikatakan sebagian besar mereka adalah para tenaga kerja wanita Indonesia yang akan bekerja di negara-negara Arab.

Melihat “pemandangan” yang demikian, entah kenapa hati saya tersayat perih dan pedih. Betapa hati saya sedih dan perih melihat saudara-saudara saya senegeri tersebut meninggalkan Indonesia dengan tujuan untuk menjadi “para pahlawan tak dikenal” bagi keluarganya dan juga negerinya tercinta yang belum lagi mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada mereka. “Indra keenam” saya mengatakan bahwa mereka adalah saudara-saudara saya yang kurang bernasib baik di bidang pendidikan dan ekonomi. Tak terasa mata saya berlinang melihat pemandangan yang senantiasa terulang setiap kali saya melakukan perjalanan ke kawasan Timur Tengah.

Kami pun segera terlibat dalam perbincangan dengan mereka seraya menikmati perjalanan “menguak” jarak sekitar 5.500 kilometer antara Jakarta-Kuwait. Dari perbincangan tersebut di atas ketinggian sekitar 32.000 feet di atas permukaan bumi dan dengan kecepatan rata-rata sekitar 750 kilometer per jam itu mereka mengemukakan, sebagian besar mereka menerima “uang lelah” sekitar 1.5 juta hingga 2 juta. Betapa beda jauh “uang lelah” tersebut dengan salary seorang anak muda lulusan Politeknik Siemens Batam, yang diterima sebagai karyawan Rasgas, Qatar, yang saya temui di Bandara Sukarno-Hatta sebelum dia bertolak menuju Doha, Qatar. Menurut pengakuannya, ia menerima salary sebesar 1.800 USD. Itu pun masih ditambah dengan pelbagai fasilitas lain. Sebuah “guratan nasib” yang sangat berbeda di antara saudara-saudara saya yang ber”juang” di negeri seberang.

Tak lama selepas pesawat terbang terbang Airbus-300 Kuwait Airways tersebut mendaratkan tubuhnya di Kuwait International Airport pada pukul 09.00 waktu setempat, sebagian besar saudara-saudara saya tersebut segera antri di depan otoritas imigrasi Kuwait. Sekitar 15 orang di antara mereka bersama kami menuju ruang transit, karena 14 orang di antara mereka akan meneruskan perjalanan menuju Jeddah, Arab Saudi, dan satu orang menuju Doha, Qatar. Entah kenapa begitu memandangi saudara-saudara saya setanah air tersebut, tiba-tiba bayang-bayang pikiran Ibn Khaldun, seorang sejarawan Muslim terkemuka yang lahir di Tunis pada awal Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M, menyergap benak saya. Segera saja saya teringat dengan teorinya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan sejarah dan perkembangannya:

“Untuk mencukupi keperluannya, mereka yang berusaha di bidang pertanian dan peternakan terpaksa pergi ke tempat-tempat lain yang masih terbuka luas dan tidak terdapat di kota-kota, mencari lahan sawah, penggembalaan, perkebunan, dan lain sebagainya. Karena itu, orang-orang semacam itu terpaksa memilih kehidupan mengembara, bersatu, bekerja sama dalam soal-soal ekonomi. Mereka memiliki makanan, tempat tinggal, dan tempat berteduh sekadar untuk memenuhi keperluan hidup yang pokok saja tanpa berlebihan. Manakala taraf hidup mereka telah meningkat, sehingga mereka mula menikmati lebih dari keperluan hidup, maka akan timbul keinginan untuk ketenangan dan ketenteraman. Karena itu, mereka akan bekerja sama untuk mendapatkan barang-barang yang berlebihan tersebut. Makanan dan pakaian mereka akan bertambah banyak dan bagus. Mereka akan memperbesar rumah mereka dan merencakanan kota mereka untuk pertahanan.

Keadaan yang semakin baik akan membuat mereka terdorong pada kehidupan bermewah-mewah. Kehidupan yang demikian itu akan menyebabkan terjadinya penyempurnaan yang luar biasa dalam cara memasak dan menyiapkan makanan; dalam memilih pakaian yang indah dari sutra yang paling menawan; dan membangun gedung-gedung megah dan istana-istana yang indah dan menghiasi semuanya itu serba mewah dan sebagainya. Pada peringkat ini industri pun berkembang dan sampai pada puncaknya. Istana-istana dan bangunan-bangunan nan megah didirikan dan dihiasi serba indah dan mewah, air disalurkan ke gedung-gedung dan istana-istana. Di sisi lain, muncul pelbagai ragam mode pakaian, perabotan rumah tangga, kendaraan, dan alat-alat keperluan rumah tangga lainnya. Inilah orang-orang kota yang hidup dari industri dan perdagangan.”

Akankah teori Ibn Khaldun tersebut akan berlaku atas diri saudara-saudara saya setanah air tersebut? Saya sendiri merasa yakin, teori Ibn Khaldun tersebut juga berlaku atas diri mereka. Sang waktu akan membuktikan kebenaran teori Ibn Khaldun tersebut!

No comments: