Saturday, April 14, 2007

Mengapa ‘Amr bin Al-‘Ash "Jatuh Cinta" kepada Alexandria?

Begitu mobil yang kami naiki memasuki Kota Alexandria, udara segar dan angin laut semilir datang menjemput kami. Udara dan angin Alexandria di minggu terakhir bulan Maret 2007 benar-benar bersahabat. Segera kenangan sekitar 27 tahun lalu pun merangkak keluar dari alam bawah sadar, membangkitkan sederet kenangan ketika saya dan teman-teman berliburan selama beberapa hari di kota ini untuk menghindari udara panas yang menghajar Kota Kairo. Begitu memasuki jantung kota yang telah berusia ribuan tahun dan pernah menjadi pusat budaya dunia ini, Mas Oyik pun membawa kami mengitari pelbagai sudut kota. Menikmati pemandangan nan indah sepanjang kota, saya pun merasa seakan sedang berada di Eropa, ketika menikmati pemandangan sangat indah sepanjang Sungai Danube di Wina, Austria dan Sungai Seine di Paris, Perancis. Gaya arsitektural bangunan-bangunan kota ini memang banyak mengadaptasi gaya arsitektural bangunan-bangunan di Eropa.

Selain bangunan-bangunan memikat di tepi Laut Tengah yang membentang sekitar 15 kilometer, ada suatu pemandangan yang memikat perhatian saya. Segera saya tersadarkan, ternyata bangunan-bangunan beragam tersebut ternyata tiada satu pun yang berada di garis sempadan laut yang dibatasi oleh jalan berjalur empat dan trotoar lebar. Semua bangunan tersebut tiada satu pun yang menghalangi siapa pun yang ingin menikmati laut dengan pemandangannya yang memikat. Betapa hal ini beda dengan kondisi yang terjadi di pelbagai kawasan Indonesia, sampai pun di Pulau Bali yang menjadi salah satu puncak tempat wisata di Indonesia. Saya merasa (walau bukan seorang ahli tata kota) inilah tatakota dan tatalaut yang benar tidak. Pemandangan indah laut harus dapat dinikmati semua orang dan tidak dikapling-kapling oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki dana finansial besar, sehingga hanya orang-orang yang berduit saja yang dapat menikmati laut dan indahnya pemandangan yang dihadirkannya. Sayang, kenapa hal yang demikian itu terjadi. Siapakah yang salah?

Ketika saya sedang asyik menikmati indahnya pemandangan indah di sepanjang Kota Alexandria, tiba-tiba dalam benak timbul pertanyaan: mengapakah ‘Amr bin Al-‘Ash terpikat untuk menundukkan Alexandria?

Seperti tercatat dalam lembaran sejarah Islam, memang jenderal yang memeluk Islam menjelang Penaklukan Makkah itulah yang semula memiliki ide untuk menundukkan Kota Alexandria. Jenderal yang satu ini, sebelum memeluk Islam, adalah seorang pedagang dan Kota Alexandria merupakan pusat niaganya. Kemudian, selepas dia memeluk Islam dan ‘Umar bin Al-Khaththab melakukan perjalanan terakhirnya ke Suriah, ‘Amr bin Al-‘Ash pun menunggu kedatangan sang khalifah yang juga mertua Rasulullah Saw. tersebut dan membicarakan idenya tersebut. Menurutnya, Alexandria harus ditundukkan untuk melindungi posisi pasukan Muslim yang telah berhasil menundukkan Suriah dan Yordania. Sebab Kota Alexandria, kala itu, merupakan salah satu pangkalan terkuat angkatan laut Romawi yang merajalela di Laut Tengah. Karena itu, pangkalan itu harus direbut dan ditundukkan. Kalau hal tersebut tidak dilakukan, posisi pasukan kaum Muslim akan terus menerus dalam posisi jadi bulan-bulanan angkatan laut Romawi yang menguasai Laut Tengah.

Semula khalifah kedua dalam sejarah Islam itu enggan memenuhi permintaan sang jenderal, karena merasa belum saatnya hal itu dilakukan. Namun, karena ‘Amr mengemukakan idenya itu berulang kali, akhirnya sang khalifah yang terkenal hidup sederhana dan tegas itu mengizinkannya. Tapi, izin itu dengan syarat ‘Amr hanya boleh membawa 4.000 serdadu. Betapa gembira sang jenderal yang terkenal piawai di medan pertempuran itu menerima izin sang khalifah. Dia pun segera membawa pasukan tersebut dari Al-‘Arisy, Sinai menuju Farma yang terletak di tepi Laut Tengah. Setelah berhasil memporakporandakan pasukan Romawi yang mencoba menghadangnya, sang jenderal pun menggerakkan pasukannya menuju Fusthath (perlu diingat, kala itu Terusan Suez belum ada, sehingga pasukan itu tidak terhalang oleh laut sama sekali), menundukkan Balbis, dan menaklukkan Umm Danin. Keberhasilan sang jenderal ini tidak lepas dari bantuan warga Mesir, di bawah pimpinan Muqauqis, yang kala itu ingin melepaskan diri dari cengkeraman pasukan Romawi yang penindas.

Selepas beberapa hari beristirahat di Fusthath, ‘Amr bin Al-‘Ash kemudian meminta izin lagi untuk menundukkan Kota Alexandria. Begitu izin sang khalifah diterimanya, pasukan kaum Muslim segera bergerak ke arah kota itu dan mengepungnya. Selepas pengepungan itu berlangsung beberapa lama, akhirnya pasukan terdepan yang berada di bawah komando Al-Zubair bin Al-‘Awwam dan Maslamah bin Mukhallad berhasil menjebol pertahanan kota ini. Jatuhlah Si Alexandria nan cantik itu ke pelukan pasukan kaum Muslim pada 21 H/641 M. Dengan kata lain, hingga dewasa ini, kota ini telah berada di pelukan kaum Muslim selama sekitar 1407 tahun. Lama juga. Dan, selepas menundukkan Alexandria, ‘Amr bin Al-‘Ash kemudian balik ke Fusthath dan memerintahkan pendirian sebuah kota dengan dilengkapi sebuah masjid, sebagai masjid pertama di Mesir, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash.

“Pak Rofi’, kita berhenti di sini ya,” ucap Mas M. Norman Muttaqin membuyarkan lamunan saya. Ternyata, mobil yang dikendarai Mas Oyik sudah berhenti tidak jauh dari situs Teater Romawi yang terletak tidak jauh dari pusat Kota Alexandria.“Silakan,” jawab saya agap tergagap, tersadarkan kembali dari lamunan dan segera turun dari mobil untuk mengunjungi salah satu saksi bahwa kota ini pernah di bawah penjajahan pasukan Romawi yang ganas dan kejam (dan mengingatkan saya pada film Cleopatra dan kisah cintanya)!

1 comment:

ikeow said...

huuuuu pakde jalan-jalan mlulu!!! sirik akyuu...