Friday, October 11, 2013

HIJAZ RAILWAY, MRT JAKARTA, DAN AMANAH

Entah kenapa, ketika kemarin sore saya membaca kabar “groundbreaking” proyek MRT Jakarta, benak saya justru “melayang-layang” ke Madinah, Arab Saudi. Selepas “berputar-putar” dan “melayang-layang” di sekitar Kota Suci itu, tiba-tiba benak saya menukik ke sebuah museum stasiun kereta api yang tegak di samping Masjid Al-‘Anbariyyah. Bila kita dari Masjid Nabawi menuju Masjid Dzulhulaifah, kita dapat menyaksikan museum itu, Museum Hijaz Railway, tegak di tengah perjalanan antara dua masjid itu.

Apa kaitan antara Hijaz Railway dan MRT Jakarta yang sedang mulai dibangun?

Jika kita tahu sejarah pembangunan Hijaz Railway, segera kita akan menyadari: rakyat dan masyarakat di mana pun sejatinya mudah digerakkan untuk membantu pembangunan suatu proyek yang bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi, bila pembangunan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Dalam situasi dan kondisi demikian, biasanya masyarakat mudah digerakkan untuk membangun pembangunan dan perampungan proyek tersebut. Sebagai contoh adalah proyek Hijaz Railway. Sejarah menorehkan, masyarakat begitu bersemangat membantu pembangunan proyek kereta api yang menghubungkan antara Madinah dan Damaskus itu. Sehingga, ketika proyek itu rampung, ternyata proyek itu tidak meninggalkan utang sama sekali. Malah, proyek itu untung besar: meninggalkan kelebihan dana sebesar 1.75 juta dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, Hijaz Railway adalah satu-satu proyek perkeretaapian di dunia yang telah lunas sebelum karcis pertama dijual!

Kini, mari sejenak kita kembali ke masa silam, untuk mengikuti dan “menguak” sejarah Hijaz Railway tersebut. Menurut catatan sejarah,  ide “si Unta Besi” (demikian sebutan yang diberikan orang-orang Badui kala kereta api itu masih berfungsi)  itu mulai timbul pada 1280 H/1864 M. Ide itu pertama kali dikemukakan seorang keturunan Jerman-Amerika, Dr. O. Zimple, selepas melihat jalur-jalur kereta api yang mulai dibangun di pelbagai penjuru dunia. Atas masukan seorang Izzet Pasya Al-Abed, ide itu kemudian direalisasikan atas perintah Sultan‘Abdul Hamid II, seorang penguasa dari Dinasti Usmaniyyah di Turki. Untuk itu, dibentuklah Hijaz Railway Commission, di bawah pimpinan Izzet Pasya Al-Abed.

Jelas, kala itu pembangunan Hijaz Railway itu merupakan tantangan yang berat. Baik dari segi pembiayaan maupun dari segi teknis. Biaya yang diperlukan untuk mewujudkan proyek itu sebesar 16 juta dolar Amerika Serikat. Sumbangan pertama diberikan sang sultan (sebesar 250.000 dolar Amerika Serikat), khedive Mesir kala itu, Syah Iran, para pegawai negeri dan angkatan bersenjata Turki kala itu. Melihat kemanfaatan jalur itu bagi jamaah umrah dan haji dari beberapa negara, kaum Muslim pun kemudian dengan penuh semangat ikut menyumbang pembangunan proyek itu. Tidak aneh manakala proyek itu rampung, ternyata proyek itu tidak meninggalkan utang sama sekali. Malah, proyek itu untung besar: meninggalkan kelebihan dana sebesar 1.75 juta dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, Hijaz Railway adalah satu-satu proyek perkeretaapian di dunia yang telah lunas sebelum karcis pertama dijual!

Pembangunan proyek Hijaz Railway yang dilaksanakan oleh sebuah tim internasional: 17 orang Turki, 12 orang Jerman, 5 orang Italia, 5 orang Perancis, 2 orang Austria, 1 orang Belgia, 1 orang Yunani, dan ditopang oleh 5.630 tentara Turki itu ternyata menghadapi pelbagai kendala sosial dan teknis. Para syaikh dan orang-orang yang merasa akan dirugikan dengan kehadiran “si Unta Besi” itu, merasa tidak senang dengan adanya proyek itu. Karena itu, mereka kerap mengganggu dan menghalangi proses pembangunan proyek itu.

Penolakan yang demikian itu dapat dimengerti. Karena dengan adanya jalur kereta api itu, membuat pendapatan dan penghasilan mereka sirna. Hal itu terbukti selepas proyek itu rampung. Jika sebelumnya, perjalanan antara Damaskus-Madinah memerlukan biaya paling sedikit 40 poundsterling, nah dengan dengan naik kereta api  itu biaya yang mereka keluarkan menurun tajam menjadi sekitar empat setengah poundsterling. Apalagi, lama perjalanan pun menjadi sangat pendek. Bila sebelumnya perjalanan antara Damaskus-Madinah, dengan naik unta, memerlukan masa sekitar dua bulan, dengan kehadiran kereta api itu masa perjalanan yang diperlukan tinggal menjadi 55 jam. Di sisi lain, tantangan dan hambatan teknis penyelesaian dan pelaksanaan proyek Hijaz Railway juga tidak ringan. Misalnya, hambatan geografis di Jordania selatan. Belum lagi masalah cuaca, air minum, air untuk lokomotif, jembatan, dan rel yang tertimbun pasir akibat “ulah” badai gurun pasir.

Semenjak Ahad, 17 Jumada Al-Awwal 1329 H/1 September 1901 M jalur Damaskus-Dir‘ah mulai dioperasikan. Tahun berikut, jalur Dar‘a-Al-Zarqa’ mulai dibuka. Tahun-tahun berikutnya jalur itu telah tersambung hingga Amman (1321 H/1903 M), Ma‘an (1322 H/1904 M), Tabuk (1324 H/1906 M), Mada’in Shalih (1325 H/1907 M), dan Madinah (1326 H/1908 M). Jalur yang ini sendiri memiliki 48 stasiun, dengan jarak rata-rata antara satu stasiun dengan stasiun berikut sekitar 11 kilometer. Yang menarik, rancang bangun stasiun-stasiun itu mirip benteng. Malah, pada setiap stasiun dilengkapi dengan sebuah sumur dan tempat perlindungan dari tembakan senjata dari luar stasiun.

Kereta api dari Damaskus pertama kali tiba di Madinah Al-Munawwarah pada Jumat, 14 Rajab 1325 H/23 Agustus 1908 M. Setahun kemudian, tepatnya pada Selasa, 4 Sya‘ban 1326 H/1 September 1908 M, proyek Hijaz Railway diresmikan. Semula, belum banyak jamaah umrah maupun haji yang berminat naik kereta api itu. Pada 1330 H/1912 M, misalnya, selama tahun itu, kereta api hanya mengangkut sekitar 30.000 jamaah. Tetapi, dua tahun kemudian, peminat kereta api itu naik luar biasa. Selama tahun itu, kereta api mengangkut tidak kurang dari 300.000 penumpang. Bagi penumpang non-Muslim, kecuali mereka yang mendapatkan izin khusus, hanya diperkenankan naik kereta api itu hingga Ma‘an saja.

Ternyata, kemudian, tidak hanya para jamaah umrah dan haji yang memanfaatkan kereta api itu. Malah, Angkatan bersenjata Turki pun memanfaatkan kereta api itu untuk mengangkat pasukan Turki dan perbekalan mereka. Akibatnya, ketika Perang Dunia I meletus dan Turki mendukung Jerman, Inggris memprovokasi orang-orang Badui dan orang-orang yang tak senang untuk melakukan sabotase atas Hijaz Railway, dengan menghancurkan 80 jembatan dari sekitar 2.000 jembatan yang membentang di jalur kereta api itu, 17 lokomotif, dan berpuluh-puluh kilometer rel di jalur itu. “Proyek sabotase” yang digalang Inggris itu di bawah pimpinan T.E. Lawrence yang lebih terkenal dengan sebutan Lawrence of Arabia. Akibatnya, selepas sekitar sepuluh tahun beroperasi, jalur kereta api itu pun menjadi mangkrak.

Pada awal 1357 H/1938 M muncul upaya untuk menghidupkan jalur Hijaz Railway itu yang kini hanya beroperasi antara Damaskus-Amman saja. Tapi, upaya itu kemudian meredup. Pada 1375 H/1955 M, Raja Ibn Saud juga berusaha menghidupkan jalur itu. Tetapi, lagi-lagi usaha itu tidak berhasil. Kemudian, pada 1386 H/1966 M, usaha itu mencuat kembali. Sayang, terjadinya Perang 6 Juni 1967 M, antara negara-negara Arab dan Israel, membuat upaya itu meredup. Usaha itu kian melemah selepas terbangunnya moda-moda transportasi lainnya: bus dan pesawat terbang. Meski demikian, kini  timbul kembali upaya untuk menghidupkan jalur kereta api itu. Misalnya, pameran foto-foto Hijaz Railway yang diadakan di Turki pada 1429 H/2008 M. Dalam pameran itu, ditampilkan 80 foto eksklusif Hijaz Railway yang dimiliki Sultan ‘Abdul Hamid II.

Sebuah pelajaran indah tertoreh lewat proyek Hijaz Railway: manakala suatu proyek dilaksanakan  penuh amanah, rakyat biasanya tidak akan segan-segan mengulurkan tangan untuk membantu terealisasikannya proyek tersebut. Semoga, Proyek MRT Jakarta juga dilaksanakan dengan sikap yang sama. Sehingga, tidak hanya satu jalur saja yang segera terbangun. Tetapi, dengan dukungan rakyat, pelbagai jalur segera pula terbangun. Kiranya demikian, amin. 

No comments: