HIJAZ RAILWAY, MRT JAKARTA, DAN AMANAH
Entah kenapa, ketika kemarin sore saya membaca kabar “groundbreaking”
proyek MRT Jakarta, benak saya justru “melayang-layang” ke Madinah, Arab Saudi.
Selepas “berputar-putar” dan “melayang-layang” di sekitar Kota Suci itu,
tiba-tiba benak saya menukik ke sebuah museum stasiun kereta api yang tegak di samping
Masjid Al-‘Anbariyyah. Bila kita dari Masjid Nabawi menuju Masjid Dzulhulaifah,
kita dapat menyaksikan museum itu, Museum Hijaz Railway, tegak di tengah perjalanan antara dua masjid
itu.
Apa kaitan antara Hijaz Railway dan MRT Jakarta yang sedang mulai
dibangun?
Jika kita tahu sejarah pembangunan Hijaz Railway, segera kita akan
menyadari: rakyat dan masyarakat di mana pun sejatinya mudah digerakkan untuk
membantu pembangunan suatu proyek yang bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi,
bila pembangunan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Dalam
situasi dan kondisi demikian, biasanya masyarakat mudah digerakkan untuk membangun
pembangunan dan perampungan proyek tersebut. Sebagai contoh adalah proyek Hijaz
Railway. Sejarah menorehkan, masyarakat begitu bersemangat membantu pembangunan
proyek kereta api yang menghubungkan antara Madinah dan Damaskus itu. Sehingga,
ketika proyek itu
rampung, ternyata proyek itu tidak meninggalkan utang sama sekali. Malah, proyek itu untung besar: meninggalkan
kelebihan dana sebesar 1.75 juta dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, Hijaz
Railway adalah satu-satu proyek perkeretaapian di dunia yang telah lunas
sebelum karcis pertama dijual!
Kini, mari sejenak kita kembali ke masa silam, untuk mengikuti dan “menguak”
sejarah Hijaz Railway tersebut. Menurut catatan sejarah, ide “si Unta
Besi” (demikian sebutan yang diberikan orang-orang Badui kala kereta api itu
masih berfungsi) itu mulai timbul pada 1280
H/1864 M. Ide itu pertama kali dikemukakan seorang keturunan Jerman-Amerika,
Dr. O. Zimple, selepas melihat jalur-jalur kereta api yang mulai dibangun di
pelbagai penjuru dunia. Atas masukan seorang Izzet Pasya Al-Abed, ide itu kemudian
direalisasikan atas perintah Sultan‘Abdul Hamid II, seorang penguasa
dari Dinasti Usmaniyyah di Turki. Untuk itu, dibentuklah Hijaz Railway
Commission, di bawah pimpinan Izzet Pasya Al-Abed.
Jelas,
kala itu pembangunan Hijaz Railway itu merupakan tantangan yang berat. Baik
dari segi pembiayaan maupun dari segi teknis. Biaya yang diperlukan untuk
mewujudkan proyek itu sebesar 16 juta dolar Amerika Serikat. Sumbangan pertama
diberikan sang sultan (sebesar 250.000 dolar Amerika Serikat), khedive Mesir
kala itu, Syah Iran, para pegawai negeri dan angkatan bersenjata Turki kala
itu. Melihat kemanfaatan jalur itu bagi jamaah umrah dan haji dari beberapa
negara, kaum Muslim pun kemudian dengan penuh semangat ikut menyumbang
pembangunan proyek itu. Tidak aneh manakala proyek itu rampung, ternyata proyek itu tidak meninggalkan utang sama sekali.
Malah, proyek itu untung besar: meninggalkan kelebihan dana sebesar 1.75 juta
dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, Hijaz Railway adalah satu-satu
proyek perkeretaapian di dunia yang telah lunas sebelum karcis pertama dijual!
Pembangunan
proyek Hijaz Railway yang dilaksanakan oleh sebuah tim internasional: 17
orang Turki, 12 orang Jerman, 5 orang Italia, 5 orang Perancis, 2 orang
Austria, 1 orang Belgia, 1 orang Yunani, dan ditopang oleh 5.630 tentara Turki
itu ternyata menghadapi pelbagai kendala sosial dan teknis. Para syaikh dan orang-orang
yang merasa akan dirugikan dengan kehadiran “si Unta Besi” itu, merasa tidak senang dengan adanya proyek itu.
Karena itu, mereka kerap mengganggu dan menghalangi proses pembangunan proyek
itu.
Penolakan
yang demikian itu dapat dimengerti. Karena dengan adanya jalur kereta api itu,
membuat pendapatan dan penghasilan mereka sirna. Hal itu terbukti selepas proyek itu rampung. Jika sebelumnya,
perjalanan antara Damaskus-Madinah memerlukan biaya paling sedikit 40
poundsterling, nah dengan dengan naik kereta api itu biaya yang mereka keluarkan menurun tajam
menjadi sekitar empat setengah poundsterling. Apalagi, lama perjalanan pun
menjadi sangat pendek. Bila sebelumnya perjalanan antara Damaskus-Madinah,
dengan naik unta, memerlukan masa sekitar dua bulan, dengan kehadiran kereta
api itu masa perjalanan yang diperlukan tinggal menjadi 55 jam. Di sisi lain,
tantangan dan hambatan teknis penyelesaian dan pelaksanaan proyek Hijaz
Railway juga tidak ringan. Misalnya, hambatan geografis di Jordania selatan. Belum
lagi masalah cuaca, air minum, air untuk lokomotif, jembatan, dan rel yang
tertimbun pasir akibat “ulah” badai gurun pasir.
Semenjak
Ahad, 17 Jumada Al-Awwal 1329 H/1 September 1901 M jalur Damaskus-Dir‘ah
mulai dioperasikan. Tahun berikut, jalur Dar‘a-Al-Zarqa’ mulai dibuka.
Tahun-tahun berikutnya jalur itu telah tersambung hingga Amman (1321 H/1903 M),
Ma‘an (1322 H/1904 M), Tabuk (1324 H/1906 M), Mada’in Shalih (1325 H/1907
M), dan Madinah (1326 H/1908 M). Jalur yang ini sendiri memiliki 48 stasiun,
dengan jarak rata-rata antara satu stasiun dengan stasiun berikut sekitar 11
kilometer. Yang menarik, rancang bangun stasiun-stasiun itu mirip benteng.
Malah, pada setiap stasiun dilengkapi dengan sebuah sumur dan tempat perlindungan
dari tembakan senjata dari luar stasiun.
Kereta
api dari Damaskus pertama kali tiba di Madinah Al-Munawwarah pada Jumat, 14
Rajab 1325 H/23 Agustus 1908 M. Setahun kemudian, tepatnya pada Selasa, 4
Sya‘ban 1326 H/1 September 1908 M, proyek Hijaz Railway diresmikan. Semula,
belum banyak jamaah umrah maupun haji yang berminat naik kereta api itu. Pada 1330
H/1912 M, misalnya, selama tahun itu, kereta api hanya mengangkut sekitar
30.000 jamaah. Tetapi, dua tahun
kemudian, peminat kereta api itu naik luar biasa. Selama tahun itu, kereta api
mengangkut tidak kurang dari 300.000 penumpang. Bagi penumpang non-Muslim, kecuali
mereka yang mendapatkan izin khusus, hanya diperkenankan naik kereta api itu
hingga Ma‘an saja.
Ternyata,
kemudian, tidak hanya para jamaah
umrah dan haji yang memanfaatkan kereta api itu. Malah, Angkatan bersenjata
Turki pun memanfaatkan kereta api itu untuk mengangkat pasukan Turki dan
perbekalan mereka. Akibatnya, ketika Perang Dunia I meletus dan Turki mendukung
Jerman, Inggris memprovokasi orang-orang Badui dan orang-orang yang tak senang
untuk melakukan sabotase atas Hijaz Railway, dengan menghancurkan 80
jembatan dari sekitar 2.000 jembatan yang membentang di jalur kereta api itu,
17 lokomotif, dan berpuluh-puluh kilometer rel di jalur itu. “Proyek sabotase”
yang digalang Inggris itu di bawah pimpinan T.E. Lawrence yang lebih terkenal
dengan sebutan Lawrence of Arabia. Akibatnya, selepas sekitar sepuluh tahun
beroperasi, jalur kereta api itu pun menjadi mangkrak.
Pada
awal 1357 H/1938 M muncul upaya untuk menghidupkan jalur Hijaz Railway
itu yang kini hanya beroperasi antara Damaskus-Amman saja. Tapi, upaya itu kemudian
meredup. Pada 1375 H/1955 M, Raja Ibn Saud juga berusaha menghidupkan jalur
itu. Tetapi, lagi-lagi usaha itu tidak berhasil. Kemudian, pada 1386 H/1966
M, usaha itu mencuat kembali. Sayang, terjadinya Perang 6 Juni 1967 M, antara
negara-negara Arab dan Israel, membuat upaya itu meredup. Usaha itu kian
melemah selepas terbangunnya moda-moda transportasi lainnya: bus dan pesawat
terbang. Meski demikian, kini timbul
kembali upaya untuk menghidupkan jalur kereta api itu. Misalnya, pameran
foto-foto Hijaz Railway yang diadakan di Turki pada 1429 H/2008 M. Dalam
pameran itu, ditampilkan 80 foto eksklusif Hijaz Railway yang dimiliki
Sultan ‘Abdul Hamid II.
Sebuah pelajaran
indah tertoreh lewat proyek Hijaz Railway: manakala suatu proyek dilaksanakan penuh amanah, rakyat biasanya tidak akan segan-segan mengulurkan
tangan untuk membantu terealisasikannya proyek tersebut. Semoga, Proyek MRT
Jakarta juga dilaksanakan dengan sikap yang sama. Sehingga, tidak hanya satu
jalur saja yang segera terbangun. Tetapi, dengan dukungan rakyat, pelbagai
jalur segera pula terbangun. Kiranya demikian, amin.
No comments:
Post a Comment