Wednesday, October 9, 2013

KITA TIDAK SENDIRIAN

Pak Rofi’, mohon doakan saya! Saya gak ingin gagal lagi, Pak. Tapi, masalahnya ada saja, gak selesai-selesai. Saya capek, Pak.”

Itulah bunyi sebuah pesan singkat dari seorang sahabat yang masuk ke telpon genggam saya, beberapa hari yang lalu. Gelisah, resah, dan tidak berdaya, malah, kadang, disertai amarah karena merasa semua orang menjauh, itulah suasana hati dan pikiran yang kerap menyergap diri kita kala kita sedang menghadapi suatu persoalan yang berat dan seakan tiada jalan keluar baginya. Malah, kadang, kita merasa tiada siapa pun yang menyertai dan mendampingi kita. Ketika kita dalam suasana hati yang demikian, mungkin ada baiknya kita menyimak sejenak keresahan, kegelisahan, dan rasa tidak berdaya yang pernah dialami Rasulullah Saw. menjelang beliau berhijrah ke Yatsrib yang kini disebut Madinah.

Kala itu, meerasa Makkah bukan tempat yang baik bagi perkembangan Islam, Rasulullah Saw. mulai berpikir untuk mencari lingkungan lain yang dapat menerima agama Islam tanpa penentang yang terlalu keras. Salah satu kabilah yang paling penting di Semenanjung Arab setelah kaum Quraisy adalah Bani Tsaqif di Thaif. Selain itu, mereka  juga memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan kaum Quraisy. Beliau berpikir, barangkali dakwah Islam akan disambut dengan baik di kota yang menjadi pusat penyembahan berhala Al-Lat itu. Karena itu, di suatu hari di akhir bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, sekitar sebulan selepas Khadijah wafat, beliau berangkat ke Thaif. Meski tidak seramai Makkah, Thaif terletak di daerah yang lebih subur dan berudara sejuk. Ketika mendekati kota yang terkenal dengan buah anggurnya yang manis itu, beliau harus melintasi kebun-kebun luas. Beberapa anggota Bani ‘Abd Syams dan Bani Hasyim memiliki tempat peristirahatan di sana.

Di  Thaif, Rasulullah Saw. menghubungi pemuka-pemuka Bani Tsaqif, yaitu putra-putra ‘Amr bin ‘Umair: ‘Abd Yalil, Mas‘ud, dan Habib, dan menyeru mereka agar memeluk Islam dan bersedia melindungi kaum Muslim dari musuh-musuh mereka. Selama sepuluh hari di sana, tidak seorang pun pemuka Bani Tsaqif yang terlewatkan oleh beliau. Tapi, hasilnya nihil. Para pemuka Thaif  mencemooh pernyataan beliau sebagai Nabi. Mereka mempertanyakan, jika beliau benar-benar seorang Nabi, mengapa Tuhan membiarkan Utusan-Nya mengemis dukungan dari kabilah-kabilah asing! Tiga bersaudara dari Bani Tsaqif itu tidak saja menolak risalah beliau. Tetapi, mereka juga menggerakkan masyarakat untuk menentang beliau.

Rasulullah Saw. pun pergi dengan diiringi hinaan dan anak-anak yang melempari beliau dengan batu. Kian lama kian banyak orang yang mengerubungi dan mencibir beliau. Akhirnya, beliau yang dalam keadaan terluka parah berlindung di dalam sebuah kebun milik ‘Utbah bin Rabi‘ah dan saudaranya, Syaibah, untuk menghindari kejaran orang-orang itu. Di tengah kesendirian, di bawah naungan pohon anggur, tanpa perlindungan dari sesamanya, beliau berpaling kepada Allah Swt. dan hanyut dalam doa yang berisi pengaduan:

Ya Allah, hanya kepada-Mu kuadukan kelemahan dan kekurangan diriku serta ketidakberdayaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Penyayang di atas para penyayang, Engkau, Tuhanku, adalah Tuhan orang-orang yang lemah. Ke tangan siapakah Engkau menggiring diriku? Ke tangan orang-orang asing yang akan mencelakai diriku? Atau kepada musuh yang telah Engkau berikan kekuasaan atas urusanku? Aku tidak menyimpan rasa takut selama Engkau tidak murka kepadaku. Namun, dukungan-Mu dapat membukakan jalan yang lebih lapang dan cakrawala yang lebih luas untuk diriku. Aku mencari perlindungan di bawah sinar wajah-Mu, yang dapat memendari kekelaman dan menyelesaikan segala urusan di dunia dan di akhirat kelak, sehingga aku tidak mengundang amarah-Mu dan tidak tersentuh murka-Mu. Sungguh, tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Ya, adakah tempat  mengadu yang lebih baik dan lebih layak dari Yang Maha Esa dan Pemberi Keyakinan? Tentang doa yang dipanjatkan Rasulullah Saw. yang dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat tertekan itu, Tariq Ramadan, dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammand, menulis, “Pertanyaan dalam doa beliau itu tidak mengisyaratkan keraguan terhadap risalah yang diembannya. Tetapi, hal itu dengan jelas menyuarakan ketidakberdayaan beliau sebagai manusia. Juga,  ketidaktahuan beliau akan maksud dan tujuan Allah. Di saat seperti itu, ketika jauh dari orang lain, dalam kebeningan iman dan keyakinannya kepada Yang Maha Penyayang, beliau benar-benar meletakkan diri sepenuhnya dalam genggaman Allah. Dalam hal ini, doa beliau mengungkap semua kepercayaan diri dan ketenangan jiwa yang beliau peroleh dari hubungan beliau dengan Yang Mahadekat. Doa yang sangat terkenal itu melukiskan kelemahan manusia dan kekuatan ruhaniah Rasulullah Saw. yang luar biasa. Dalam kesepian dan tanpa pertolongan, Nabi tahu beliau tidak sendirian.”

“Dalam kesepian dan tanpa pertolongan, Nabi tahu beliau tidak sendirian,” sejatinya merupakan ungkapan yang juga berlaku bagi kita. Dengan kata lain, pada saat dalam kondisi apa pun, termasuk dalam kondisi dan suasana hati yang paling menyedihkan sekali pun, sejatinya kita tidaklah sendirian: sejatinya Allah Swt. Yang Mahadekat senantiasa mendampingi kita. Hanya, kita saja yang kerap tidak menyadari kehadiran-Nya bersama kita!


No comments: