KITA TIDAK SENDIRIAN
“Pak Rofi’, mohon
doakan saya! Saya gak ingin gagal lagi, Pak. Tapi, masalahnya ada saja, gak
selesai-selesai. Saya capek, Pak.”
Itulah bunyi sebuah
pesan singkat dari seorang sahabat yang masuk ke telpon genggam saya, beberapa
hari yang lalu. Gelisah, resah, dan tidak berdaya, malah, kadang, disertai
amarah karena merasa semua orang menjauh, itulah suasana hati dan pikiran yang
kerap menyergap diri kita kala kita sedang menghadapi suatu persoalan yang
berat dan seakan tiada jalan keluar baginya. Malah, kadang, kita merasa tiada
siapa pun yang menyertai dan mendampingi kita. Ketika kita dalam suasana hati
yang demikian, mungkin ada baiknya kita menyimak sejenak keresahan,
kegelisahan, dan rasa tidak berdaya yang pernah dialami Rasulullah Saw.
menjelang beliau berhijrah ke Yatsrib yang kini disebut Madinah.
Kala itu, meerasa Makkah bukan tempat yang baik bagi perkembangan Islam, Rasulullah
Saw. mulai berpikir untuk mencari lingkungan lain yang dapat menerima agama
Islam tanpa penentang yang terlalu keras. Salah satu kabilah yang paling
penting di Semenanjung Arab setelah kaum Quraisy adalah Bani Tsaqif di Thaif.
Selain itu, mereka juga memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat dengan kaum Quraisy. Beliau berpikir,
barangkali dakwah Islam akan disambut dengan baik di kota yang menjadi pusat
penyembahan berhala Al-Lat itu. Karena itu, di suatu hari di akhir bulan
Syawwal tahun kesepuluh kenabian, sekitar sebulan selepas Khadijah wafat, beliau
berangkat ke Thaif. Meski tidak
seramai Makkah, Thaif terletak di daerah yang lebih subur dan berudara sejuk.
Ketika mendekati kota yang terkenal dengan buah anggurnya yang manis itu,
beliau harus melintasi kebun-kebun luas. Beberapa anggota Bani ‘Abd Syams dan Bani
Hasyim memiliki tempat peristirahatan di sana.
Di
Thaif, Rasulullah Saw. menghubungi pemuka-pemuka Bani Tsaqif, yaitu
putra-putra ‘Amr bin ‘Umair: ‘Abd Yalil, Mas‘ud, dan Habib, dan menyeru
mereka agar memeluk Islam dan bersedia melindungi kaum Muslim dari musuh-musuh
mereka. Selama sepuluh hari di sana, tidak seorang pun pemuka Bani Tsaqif yang
terlewatkan oleh beliau. Tapi, hasilnya nihil. Para pemuka Thaif mencemooh pernyataan beliau sebagai Nabi.
Mereka mempertanyakan, jika beliau benar-benar seorang Nabi, mengapa Tuhan
membiarkan Utusan-Nya mengemis dukungan dari kabilah-kabilah asing! Tiga bersaudara
dari Bani Tsaqif itu tidak saja menolak risalah beliau. Tetapi, mereka juga menggerakkan masyarakat untuk
menentang beliau.
Rasulullah Saw. pun pergi dengan diiringi
hinaan dan anak-anak yang melempari beliau dengan batu. Kian lama kian banyak
orang yang mengerubungi dan mencibir beliau. Akhirnya, beliau yang dalam
keadaan terluka parah berlindung di dalam sebuah kebun milik ‘Utbah bin Rabi‘ah
dan saudaranya, Syaibah, untuk menghindari kejaran orang-orang itu. Di tengah
kesendirian, di bawah naungan pohon anggur, tanpa perlindungan dari sesamanya,
beliau berpaling kepada Allah Swt. dan hanyut dalam doa yang berisi pengaduan:
“Ya
Allah, hanya kepada-Mu kuadukan kelemahan dan kekurangan diriku serta
ketidakberdayaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Penyayang di atas para
penyayang, Engkau, Tuhanku, adalah Tuhan orang-orang yang lemah. Ke tangan
siapakah Engkau menggiring diriku? Ke tangan orang-orang asing yang akan
mencelakai diriku? Atau kepada musuh yang telah Engkau berikan kekuasaan atas
urusanku? Aku tidak menyimpan rasa takut
selama Engkau tidak murka kepadaku.
Namun, dukungan-Mu dapat membukakan jalan yang lebih lapang dan cakrawala yang
lebih luas untuk diriku. Aku mencari perlindungan di bawah sinar wajah-Mu, yang
dapat memendari kekelaman dan menyelesaikan segala urusan di dunia dan di
akhirat kelak, sehingga aku tidak mengundang amarah-Mu
dan tidak tersentuh murka-Mu. Sungguh, tiada daya dan
kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Ya, adakah tempat mengadu yang lebih baik dan lebih layak dari
Yang Maha Esa dan Pemberi Keyakinan? Tentang doa yang dipanjatkan Rasulullah
Saw. yang dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat tertekan itu, Tariq Ramadan, dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet: Lessons
from the Life of Muhammand, menulis, “Pertanyaan dalam doa beliau itu tidak mengisyaratkan
keraguan terhadap risalah yang diembannya. Tetapi, hal itu dengan jelas menyuarakan
ketidakberdayaan beliau sebagai manusia. Juga,
ketidaktahuan beliau akan maksud dan tujuan Allah. Di saat seperti itu, ketika
jauh dari orang lain, dalam kebeningan iman dan keyakinannya kepada Yang Maha
Penyayang, beliau benar-benar meletakkan diri sepenuhnya dalam genggaman Allah.
Dalam hal ini, doa beliau mengungkap semua kepercayaan diri dan ketenangan jiwa
yang beliau peroleh dari hubungan beliau dengan Yang Mahadekat. Doa yang sangat
terkenal itu melukiskan kelemahan manusia dan kekuatan ruhaniah Rasulullah Saw.
yang luar biasa. Dalam kesepian dan tanpa pertolongan, Nabi tahu beliau tidak sendirian.”
“Dalam kesepian dan
tanpa pertolongan, Nabi tahu beliau tidak sendirian,” sejatinya merupakan
ungkapan yang juga berlaku bagi kita. Dengan kata lain, pada saat dalam kondisi
apa pun, termasuk dalam kondisi dan suasana hati yang paling menyedihkan sekali
pun, sejatinya kita tidaklah sendirian: sejatinya Allah Swt. Yang Mahadekat
senantiasa mendampingi kita. Hanya, kita saja yang kerap tidak menyadari
kehadiran-Nya bersama kita!
No comments:
Post a Comment